Makalah Antropologi
Kebudayaan Toraja
Disusun oleh : Cahya
Intan Purnama
Farid
Hikmatullah
Indra
Yusuf Maulana
Laela
Istiqomah
Mulyati
Karabombang
Shafarudin
Kelas : 1PA08
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
DEPOK
2012
Kata
Pengantar
Makalah ini disusun
dengan metode penelitian dengan langsung mengunjungi anjungan Toraja, Sulawesi
Selatan.
Dengan dibuatnya
makalah ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami dan mengenal lebih lanjut
tentang suku dan budaya yang ada di Indonesia khususnya di tanah Toraja. Dan
tentunya, kami selaku pihak yang membuat makalah ini mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yng telah ikut membantu, terutama dosen pembimbing.
Pada akhirnya, kami
membutuhkan segala saran dan masukan agar makalah ini dapat di jadikan pedoman
untuk mahasiswa yang lebih baik dan juga teriring ucapan terima kasih.
Jakarta, November 2012
Daftar Isi
KATA
PENGANTAR................................................................................2
BAB 1
LATAR BELAKANG SUKU TORAJA..................................................5
PENDAHULUAN......................................................................................9
BAB 2
SISTEM
KEKERABATAN.....................................................................15
PERNIKAHAN DAN PEMBATASAN
JODOH...................................16
RUMAH TANGGA DAN KELUARGA
INTI......................................17
KELOMPOK – KELOMPOK
KEKERABATAN...............................17
AKTIVITAS TOLONG – MENOLONG
PERTANIAN.................................................................................19
PESTA
PERNIKAHAN...............................................................19
UPACARA
PERNIKAHAN........................................................19
PERISTIWA
BENCANA ATAU KEMATIAN........................20
SISTEM
RELIGI....................................................................................20
UNSUR – INSUR RELIGI
UPACARA
KEAGAMAAN........................................................20
PEREALATAN
UPACARA KEAGAMAAN...........................27
UMAT
KEAGAMAAN ..................................................28
BAB 3
KESIMPULAN DAN
SARAN..................................................29
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................30
BAB I
LATAR BELAKANG
Latar Belakang Kebudayaan Suku Toraja
Berbicara
mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik suku yang
memiliki rumah panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan upacara
adatnya yang melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari
ini telah mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah
kebudayaannya, arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan
keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai
tersendiri yang pada hari ini banyak diminati oleh wisatawan untuk mengunjungi
daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal yang nilai-nilainya
masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja. Suku Tana Toraja yang
pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan masih mempertahankan gaya hidup
Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada
di Nias.
Melihat
Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal
pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya,
Suku Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan
kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama
Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607
jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan
Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa.
Berada
pada zona waktu indonesia tengah, Secara klimatologi Kabupaten Tana Toraja
termasuk kedalam daerah yang beriklim Tropis Basah. Hal ini secara kasar bisa
kita ketahui melihat letak keberadaan tempat yang berada di daerah pegunungan.
Dalam segi temperatur udara, suhu di Tana Toraja berkisar antara 150c
– 280 c dengan kelembaban udara yang berkisar antara 82 – 86 %.
Curah hujan rata-rata di Tana Toraja berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai
lebih dari 3500 mm/thn.
Jika
pembaca sekiranya ingin mengunjungi Tana Toraja ada baiknya melihat masa-masa
pembagian musim hujan dan musim kemarau yang umumnya ada di Kabupaten Tana
Toraja. Untuk musim kemarau periode bulan april sampai dengan september
merupakan rentang waktu datangnya kemarau tiba di Tana Toraja. Sedangkan musim
penghujan biasanya tiba pada periode bulan Oktober sanpai dengan Maret. Menurut
Oldement, tipe iklim di Kabupaten Tana Toraja adalah tipe C2 yaitu bulan basah
(200 mm) selama 2 – 3 bulan berturut-turut dan bulan kering (100 mm) selama 2-3
bulan berturut-turut. Kondisi riil ini dianggap sangat mendukung sektor agraria
daerah kabupaten Toraja.
Pada
hari ini diperkirakan populasi masyarakat suku toraja telah mencapai sekitar
satu juta jiwa. Sekitar 50% dari total jumlah masyarakat Suku Toraja masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten tetangga seperti Kabupaten
Toraja Utara dan Kabupaten Mamasa sisanya banyak masyarakat yang berasal dari
Suku Toraja yang kini telah menetap di kota-kota lainnya di Sulawesi dan tidak
sedikit juga yang merantau keluar Sulawesi. Kepercayaan yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Toraja adalah Kristen. Sementara sebagian ada yang
menganut agama Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal dengan Aluk
To Dolo.
Berbicara
mengenai kepercayaan animisme yang dimiliki Suku Toraja. Aluk To Dolo memiliki
makna sebagai kesadaran bahwasannya keberadaan manusia hidup di bumi pada
hakikatnya hanyalah untuk sementara. Prinsip ini ditanamkan sedemikian kuatnya
yang mana pada akhirnya menjadi pondasi utama kepercayaan asli masyarakat
Toraja. Sebagai penguat pemahamannya bahwasannya selama tidak ada orang yang
bisa menahan matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun mutlak keberadaannya
dan tidak bisa ditunda kedatangannya.
Secara
historis banyak yang meyakini bahwa Suku Toraja berasal dari Teluk Tongkin yang
berada di daratan cina. Seorang Anthtropolog bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa
masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal
Sulawesi Selatan atau pribumi dengan pendatang dari teluk tongkin tersebut.
Berawalnya akulturasi antara masyarakat pribumi dengan pendatang ini dari
berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah yang dapat dikatakan cukup banyak
di sekitar hulu sungai yang pada hari ini diperkirakan letak lokasinya berada
di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina yang memang dikenal akan kebiasaannya
bermigrasi segera membangun pemukiman di daerah tersebut untuk kemudian
membangun sebuah peradaban baru.
Nama
Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to
riaja yang mana berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas
mereka yang pada hari ini kita ketahui bernama Toraja merupakan pemberian dari
perintah kolonial belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909. Versi lain
menyebutkan bahwasannya kata Toraja awal mulanya bernama toraya. Kata tersebut
merupakan gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang dan “raya” yang
berasal dari kata maraya yang berarti besar. Artinya jika digabungkan menjadi
suatu padanan makna orang-orang besar atau bangsawan. Seiring dengan
berputarnya roda kehidupan lama-lama penyebutan nama Toraya berubah menjadi
Toraja. Sementara itu kata Tana yang berada di depan kata Toraja memiliki arti
sebuah negeri. Sehingga pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana
Toraja atau negeri tempat orang-orang besar berada.
Sebelum
masuknya pengaruh kolonial Belanda dan kristenisasi, di Tana Toraja memiliki
sebuah pakem yang cukup jelas mengenai identitas diri mereka sebagai sebuah
kelompok. Suku Toraja yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki sebuah
identitas pengenalan diri yang diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan
satu sama lain tidak merasa sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa
yang sama. Meskipun ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan
menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi
dialek, hierarki sosial, dan macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.
Pemberian
nama Toraja banyak diduga mulanya merupakan pemberian oleh suku bugis
Sindengreng dan Luwu. Orang dari Suku Sindengreng menamakan penduduk daerah
yang bermukim di daerah dataran tinggi dengan sebutan to riaja yang
berarti “orang yang berdiam di pegunungan” sementara orang-orang yang berasal
dari suku bugis luwu menyebutnya dengan to riajang yang
memiliki arti “orang yang berdiam di sebelah barat”.
Suku
bangsa cina yang datang dari teluk tonkin ini sebenarnya terletak antara
vietnam utara dan cina selatan. Pada awal kedatangannya mereka menempati
wilayah di pesisir Sulawesi hingga akhirnya karena merasa membutuhkan situasi
iklim yang sedikit banyak mirip dengan daerah asalnya, maka para pendatang ini
memilih untuk bermukim di daerah dataran tinggi. Proses adaptasi yang cukup
ekstrim diterima para pendatang memang membuat mereka secara rasional memilih
untuk pindah dari pesisir menuju dataran tinggi itu.
Secara
historis pemerintah kolonial belanda masuk dan menancapkan kekuasaan
perdagangan dan politik di Sulawesi pada abad ke-17. Melalui perusahaan
dagangnya yang bernama vereenigde Oost-Indische Compagnie atau
yang familiar di telinga kita bernama VOC selama dua abad mereka berkuasa di
sulawesi dan memonopoli segala bentuk perdagangan dan kekuasaan politik. Namun hal
ini justru relatif tidak terlalu berpengaruh banyak dalam beberapa hal bagi
keberlangsungan eksistensi masyarakat Suku Toraja. Pemerintah kollonial belanda
mengacuhkan daerah Tana Toraja karena dinilai sulit untuk dicapai dan hanya
memiliki sedikit lahan produktif. Letaknya yang berada pada dataran tinggi
memang menjadi salah satu alasan utama mengapa belanda tidak begitu
mengeksploitasi sumber daya di daerah Tana Toraja.
Pada
akhir abad ke-19 pemerintah kolonial belanda yang mulai khawatir akan pesatnya
perkembangan ajaran agama islam di Sulawesi Selatan terutama pada komunitas
Suku Bugis. Belanda yang melihat bahwa keberadaan Suku Toraja yang relatif
terisolir dari pengaruh luar akhirnya memutuskan untuk memusatkan proses
kristenisasi di daerah Tana Toraja. Hal ini juga diperkuat karena masyarakat
Tana Toraja masih menganut ajaran animisme mereka. Misionaris Belanda yang pada
masa itu berusaha untuk menyebarkan ajarannya ternyata mendapat perlawanan kuat
dari para masyarakat Suku Toraja. Hal ini dikarenakan penghapusan jalur
perdagangan yang pada hakikatnya menguntungkan masyarakat Toraja. Beberapa
orang asli Suku Toraja dipindah paksa ke dataran rendah oleh pemerintah
kolonial Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak pada masa itu juga ditetapkan
pada tingkatan yang amat tinggi dengan tujuan untuk mengikis kekayaan para elit
masyarakat Suku Toraja. Pun begitu usaha-usaha belanda tersebut nyatanya tidak
dapat merusak kebudayaan Toraja dan pada waktu itu hanya sedikit sekali
terdapat populasi orang toraja yang menganut ajaran kristen.
Pada
tahun 1930-an. Konflik pun tidak luput menyelimuti tana toraja yang mana kali
ini melibatkan penduduk muslim yang bertempat tinggal di daerah dataran rendah
dengan para penduduk toraja. Akibat dari insiden ini banyak orang toraja yang
memilih untuk beraliansi dengan pemerintah kolonial belanda guna meraih
kemenangan atas penduduk muslim yang notabenenya juga merupakan terhitung
sebagai musuh belanda pada masa itu. akibat aliansi ini banyak penduduk toraja
yang akhirnya memilih untuk mengganti kepercayaan mereka menjadi kristen dalam
rangka meraih aliansi dengan belanda serta mendapat perlindungan politik supaya
bisa melakukan perlawanan balik terhadap orang-orang bugis dari Makassar yang
bergama Islam.
Pada
periode antara tahun 1951 sampai 1965 setelah kemerdekaan indonesia Sulawesi
Selatan mengalami kekacauan yang dipicu oleh pemberontakan Daarul Islam yang
bertujuan untuk mendirikan negara islam di tanah Sulawesi. Perang gerilya yang
berlangsung selama 15 tahun tersebut memiliki andil yang cukup besar mengapa
perkembangan agama kristen di toraja semakin menunjukan peningkatan yang cukup
signifikan.
Dekrit
President yang diterbitkan pada tahun 1965 yang mengharuskan seluruh
penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui:
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja
(aluk to dolo) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya
menentang dekrit tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus
diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To
Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.I.
PENDAHULUAN
Pengertian
Asal-usul tentang
pengertian Toraja, ada dua versi. Versi pertama mengatakan bahwa kata Toraja
berasal dari kata “to” yang artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja.
Jadi Toraja artinya orang-orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa
Toraja berasal dari dua kata yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa
Bugis) yang artinya orang-orang gunung. Jadi Toraja artinya orang-orang gunung.
Latar Belakang Masalah
Saya memilih kebudayaan Toraja karena beberapa
hal, yaitu :
- Kebudayaannya yang unik mendorong kami untuk mengenal lebih jauh tentang adat-istiadat suku Toraja,
- Merupakan salah satu bagian wilayah di Indonesia yang kurang dikenal, maka dari itu dengan makalah ini, saya berharap dapat memberitahu sekilas tentang Toraja, mengenai suku, objek wisata, dan makanan khas yang unik yang belum diketahui oleh masyarakat banyak.
- Kebudayaannya yang unik mendorong kami untuk mengenal lebih jauh tentang adat-istiadat suku Toraja,
- Merupakan salah satu bagian wilayah di Indonesia yang kurang dikenal, maka dari itu dengan makalah ini, saya berharap dapat memberitahu sekilas tentang Toraja, mengenai suku, objek wisata, dan makanan khas yang unik yang belum diketahui oleh masyarakat banyak.
Metode
Pencarian data
melalui internet,
Dari buku “Ragam Budaya Daerah”,
Melakukan observasi.
Dari buku “Ragam Budaya Daerah”,
Melakukan observasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
Asal-Usul
Menurut legenda,
nenek moyang orang Toraja berasal dari Hindia Belakang (Siam). Mereka
ber-imigrasi ke daerah selatan untuk mencari daerah baru. Mereka menggunakan
kapal yang menyerupai rumah adat orang Toraja sekarang ini.
Asal-usul tentang
pengertian Toraja, ada dua versi. Versi pertama mengatakan bahwa kata Toraja
berasal dari kata “to” yang artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja.
Jadi Toraja artinya orang-orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa
Toraja berasal dari dua kata yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa
Bugis) yang artinya orang-orang gunung. Jadi Toraja artinya orang-orang gunung.
Kedua versi tersebut memiliki alasan yang berbeda-beda dan masuk akal.
Sejarah
1) Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self
bestur Luwu.
2) Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri berdasarkan
Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946.
3) Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarkan UU
Darurat Nomor 3 tahun 1957.
4) UU Nomor 22 tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah menjadi
Kabupaten Tana Toraja.
1) Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self
bestur Luwu.
2) Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri berdasarkan
Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946.
3) Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarkan UU
Darurat Nomor 3 tahun 1957.
4) UU Nomor 22 tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah menjadi
Kabupaten Tana Toraja.
Nama Toraja mulanya
diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari Luwu. Orang Sidendereng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti
“orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu
menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah
barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asalnya To= Tau (orang), Raya=
dari kata Maraya (besar), artinya orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan
penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga
tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan nama Tana Toraja.
Ciri Khas Suku
Toraja
Salah satu ciri khas
suku Toraja adalah tempat pemakamannya. Rante, yaitu tempat upacara pemakaman
secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit, yang dalam bahasa
Toraja disebut Simbuang batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah
terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang, dan 54 buah ukuran
kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut
hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan
batu.
Kesenian dan
Kebudayaan
Lagu-Lagu khas
Toraja
Ø Siulu’
Ø Lembang Sura’
Ø Marendeng Marampa’
Ø Siulu’ Umba Muola
Ø Passukaranku
Ø Katuoan Mala’bi’
Ø Susi Angin Mamiri
Ø Kelalambunmi Allo
Ø Tontong Kukilalai
Ø Siulu’
Ø Lembang Sura’
Ø Marendeng Marampa’
Ø Siulu’ Umba Muola
Ø Passukaranku
Ø Katuoan Mala’bi’
Ø Susi Angin Mamiri
Ø Kelalambunmi Allo
Ø Tontong Kukilalai
Tarian Tradisional
- Tari Pa’gellu
Tarian ini biasanya dibawakan oleh remaja (biasanya gadis), selama perayaan ucapan syukur, seperti pernikahan, panen, dan untuk menyambut tamu-tamu pada upacara formal. Para gadis menggunakan aksesoris yang terbuat dari emas dan perak dan terdapat dua atau empat remaja laki-laki yang memainkan genderang untuk mengiringi tarian.
- Tari Pa’gellu
Tarian ini biasanya dibawakan oleh remaja (biasanya gadis), selama perayaan ucapan syukur, seperti pernikahan, panen, dan untuk menyambut tamu-tamu pada upacara formal. Para gadis menggunakan aksesoris yang terbuat dari emas dan perak dan terdapat dua atau empat remaja laki-laki yang memainkan genderang untuk mengiringi tarian.
-
Bone Balla’ or Ondo Samalele
Para wanita dan remaja perempuan dari sebuah keluarga besar, yang baru saja menyelesaikan pembangunan Tongkonan mereka, menyajikan tarian ini untuk menunjukan rasa syukur mereka. Tarian ini diiringi oleh lagu yang disebut “Passengo”, sebuah musik untuk memuji Tuhan. Pada bagian akhir tarian, semua anggota keluarga ikut ambil bagian dalam tarian.
Musik Tradisional
- Passuling
Ini merupakan seruling tradisional Toraja, yang juga dikenal dengan nama “Suling Lembang”. Seruling dimainkan oleh kelompok laki-laki untuk mengiringi “Pa’Marakka” atau lagu duka yang dinyanyikan oleh para wanita. Mereka membawakan seni tradisional ini untuk menyambut tamu, yang hadir untuk menyampaikan rasa duka mereka kepada keluarga yang sedang berduka.
- Pa’pelle/Pa’barrung
Sebuah alat musik yang terlihat seperti terompet, terbuat dari jerami yang dirakit dengan daun kelapa. Biasanya dimainkan selama upacara pengucapan syukur setelah menyelesaikan pembangunan rumah Tongkonan.
- Pa’pompang/Pa’bas
Pa’pompang merupakan sebuah orkestra bambu yang dimainkan oleh murid yunior selama upacara nasional, seperti Hari Kemerdekaan, ulang tahun kota, dan festival nasional. Para murid memainkan lagu-lagu kontemporer, lagu daerah, dan lagu gereja.
- Pa’tulali
Para wanita dan remaja perempuan dari sebuah keluarga besar, yang baru saja menyelesaikan pembangunan Tongkonan mereka, menyajikan tarian ini untuk menunjukan rasa syukur mereka. Tarian ini diiringi oleh lagu yang disebut “Passengo”, sebuah musik untuk memuji Tuhan. Pada bagian akhir tarian, semua anggota keluarga ikut ambil bagian dalam tarian.
Musik Tradisional
- Passuling
Ini merupakan seruling tradisional Toraja, yang juga dikenal dengan nama “Suling Lembang”. Seruling dimainkan oleh kelompok laki-laki untuk mengiringi “Pa’Marakka” atau lagu duka yang dinyanyikan oleh para wanita. Mereka membawakan seni tradisional ini untuk menyambut tamu, yang hadir untuk menyampaikan rasa duka mereka kepada keluarga yang sedang berduka.
- Pa’pelle/Pa’barrung
Sebuah alat musik yang terlihat seperti terompet, terbuat dari jerami yang dirakit dengan daun kelapa. Biasanya dimainkan selama upacara pengucapan syukur setelah menyelesaikan pembangunan rumah Tongkonan.
- Pa’pompang/Pa’bas
Pa’pompang merupakan sebuah orkestra bambu yang dimainkan oleh murid yunior selama upacara nasional, seperti Hari Kemerdekaan, ulang tahun kota, dan festival nasional. Para murid memainkan lagu-lagu kontemporer, lagu daerah, dan lagu gereja.
- Pa’tulali
Sebuah alat musik
bambu berukuran kecil yang dimainkan dengan cara ditiup untuk menghasilkan
suara yang indah.
- Pa’geso’geso’
Sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan batok kelapa dengan senar.
- Pa’geso’geso’
Sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan batok kelapa dengan senar.
Ukiran dan Pahatan Asal Toraja
Suku Toraja
menggunakan ukiran untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial. Ukiran kayu
ini juga merupakan wadah berkomunikasi orang Toraja. Ukiran kayu yang disebut
Pa’ssura (tulisan) merupakan perwujudan budaya Tana Toraja.
Ada sekitar 67 jenis ukiran dengan
aneka corak dan warna pada kebudayaan Tana Toraja. Setiap ukiran memiliki nama
khusus, motif hewan dan tanaman melambangkan kebijakan. Motif tanaman seperti
gulma, air, serta hewan seperti kepiting dan kecebong melambangkan kesuburan.
Selain seni ukir, dikenal seni
pahat. Seni ini dapat dilihat dalam rumah tongkonan. Salah satu hasil seni
pahat dalam kebudayaan Tana Toraja adalah Kabongo’, yaitu kepala kerbau yang
dipahat dari kayu cendana atau kayu nangka dan dilengkapi tanduk kerbau asli.
Obyek Wisata di Tana Toraja
KE’TE’ KESU’
KE’TE’ KESU’
Ke’te’ kesu’ adalah
obyek wisata yang sudah populer diantara turis domestik dan asing sejak tahun
1979 terletak dikampung Bonoran yang berjarak 4 km dari kota Rantepao, telah
ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya dengan nomor registrasi 290 yang
perlu dilestarikan/dilindungi. Obyek wisata ini sangat menarik, karena memilki
suatu kompleks perumahan adat Toraja yang masih asli, yang terdiri dari
beberapa Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura’ (lumpung padinya).
Tongkonan tersebut dari leluhur Puang ri Kesu’ difungsikan sebagai tempat bermustawarah, mengelola, menetapkan, dan melaksanakan aturan-aturan adat, baik aluk maupun pemali yang digunakan sebagai aturan hidup dan bermasyarakat di daerah Kesu’.
LONDA
Tongkonan tersebut dari leluhur Puang ri Kesu’ difungsikan sebagai tempat bermustawarah, mengelola, menetapkan, dan melaksanakan aturan-aturan adat, baik aluk maupun pemali yang digunakan sebagai aturan hidup dan bermasyarakat di daerah Kesu’.
LONDA
Londa adalah salah
satu dari sekian banyaknya obyek wisata yang menarik di Tana Toraja, yang
letaknya di desa Tikunna Malenong. Londa merupakan sebuah kuburan alam berupa
gua-gua batu di kaki gunung.
Di dalam gua itulah
diletakkan jenazah-jenazah dalam sebuah peti yang disebut erong atau duni.erong
adalah semacam peti mati yang terbuat kayu yang keras dan kuat. Bagian luar
erong ditatah dengan ukiran yang indah.
Sebelum memasuki
gua-gua alam, sedikit di atas gua terdapat jajaran patung yang disebut tau-tau
yang dibuat dari kayu nangka agar dapat bertahan lama. Tau-tau ini merupakan
duplikat dari jenazah yang dimakamkan. Dengan menghitung berapa jumlah tau-tau
yang ada, dapat diketahui berapa jenazah yang dimakamkan dalam liang.
Untuk membedakan
erong mana yang telah tua, dapat dilihat dari warnanya. Erong yang berwarna
hitam adalah erong yang diletakkan ketika mereka masih menganut animisme dan
erong yang berwarna kecoklatan adalah erong yang dimasukkan setelah masuknya
agama Kristen. Jadi umurnya setua erong yang berwarna hitam. Tapi ada erong
yang telah hancur sehingga kerangka-kerangka manusia berserakan di dalam gua
itu.
BATU TOMANGA
BATU TOMANGA
Berlokasi di daerah
Sesean yang beriklim dingin, sekitar 1300 m di atas permukaan laut. Di daerah
ini terdapat 56 menhir batu dalam sebuah lingkaran dengan lima pohon kayu
ditengahnya. Kebanyakan dari batu menhir itu berukuran dua sampai tiga m
tingginya. Pemandangan yang sangat mempesona di atas rantepao dan lembah
disekitarnya, dapat dilihat dari tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi.
Potensi Alam Toraja
Lampako Mampie
adalah sebuah taman suaka margasatwa yang berada di Pulau Sulawesi dengan luas
hampir 2000 ha. Suaka margasatwa ini tepatnya berada di bagian barat Provinsi
Sulawesi Selatan yang berlokasi pada kabupaten Polewali Mamasa. Kondisi
lapangan dari taman suka margasatwa tersebut terdiri atas daerah wet land yang
terdiri dari daerah berawa-rawa dengan secondary forest seluas 300 ha swamp
forest dan beberapa daerah isolasi mangrove. Daerah suka margasatwa ini
merupakan daerah yang sangat penting bagi tumbuhan dan hewan. Hewan utamanya
adalah burung Mandar Sulawesi atau Ballidae atau Celebes Rails (Aramidopsis
plateni) yang merupakan burung endemis yang hidup pada kawasan tersebut.
Disamping itu, kawasan ini juga merupakan daerah untuk berkembang biak beberapa
hewan lainnya, bahkan menjadi tempat persinggahan burung-burung yang
bermigrasi.
Dengan melihat dari
berbagai pengertian ekowisata, potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut,
pengelolaan kawasan suaka yang mulai ditangani daerah dan keinginan masyarakat
lokal untuk dapat membangun sebuah kawasan yang berasaskan lingkungan hidup,
sehingga timbulah keinginan masyarakat daerah tersebut untuk dapat mengelola
langsung kawasan suaka ini dengan tetap memperhatikan alam, disamping mereka
juga mendapatkan insentif secara ekonomis untuk kelangsungan anak.
Sistem Kekerabatan
Siulu (keluarga batih) merupakan
unsur terkecil dalam sistem kekerabatan masyarakat Toraja. Di samping itu di
kenal pula keluarga luas extended yang terdiri dari beberapa keluarga batih,
yang masih seketurunan. Hubungan kekerabatan dapat terbentuk berdasarkan dua
hal, yaitu:
1. Adanya pertalian darah (kandappi)
2. Melalui perkawinan (rampean)
Untuk menjaga kelangsungan hubungan kekerabatan dilakukan dengan cara menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Misalnya hak penguasaan atas tanah, harta, kedudukan, dan sebagainya. Di samping itu kewajiban-kewajiban dari setiap kelompok kekearabatan harus dilaksanakan, misalnya yang dapat diketahui pada saat pembuatan rumah tongkonan secara bergotong royong, saling bantu dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat terutama upacara rambu solo’, mengerjakan sawah, panen, dan lain-lain. Dalam hal ini fungsi utama suatu keluarga adalah menanamkan nilai-nilai budaya yang berlaku kepada para anggotanya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya.
1. Adanya pertalian darah (kandappi)
2. Melalui perkawinan (rampean)
Untuk menjaga kelangsungan hubungan kekerabatan dilakukan dengan cara menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Misalnya hak penguasaan atas tanah, harta, kedudukan, dan sebagainya. Di samping itu kewajiban-kewajiban dari setiap kelompok kekearabatan harus dilaksanakan, misalnya yang dapat diketahui pada saat pembuatan rumah tongkonan secara bergotong royong, saling bantu dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat terutama upacara rambu solo’, mengerjakan sawah, panen, dan lain-lain. Dalam hal ini fungsi utama suatu keluarga adalah menanamkan nilai-nilai budaya yang berlaku kepada para anggotanya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya.
Sifat kekerabatan
orang Toraja adalah parental. Kalau terjadi perceraian, anak – anak dapat ikut
ayah atau ibu untuk menjamin kelangsungan hidup anak – anak sampai dewasa.
Mengadopsi anak dibenarkan oleh hukum adat dan anak tersebut berhak warisan
dari yang mengangkat anak tersebut.
Tanah milik usaha
keluarga atau tanah milik TONGKONAN tidak boleh diwariskan, dan siapa yang
membangun TONGKONAN, dialah yang menguasai tanah itu. Anggota keluarga yang
lain dapat menggarap tanah tongkonan. Pada mulanya, orang toraja memakai nama
diri sendiri. Tidak memakai nama keluarga, akan tetapi orang Toraja terutama
golongan bangsawan memakai nama keluarga dan kebanyakan mengambil nama dari
keluarga ayah. Namun, dari nama keluarga ibu dapat juga diambil sebagai nama
keluarga. Misalnya, banyak orang Toraja bernama SAMPE, dan kalau nama keluarga
ayah misalnya LANGI’ jadi bernama SAMPE LANGI’. Kalau nama ibu misalnya LINO
dapat juga dipakai SAMPE LINO. Orang Toraja termasuk bagian ras suku proto
Malaya seperti misalnya orang TOLOTANG, orang batak di Sumatera Utara, orang
dayak di Kalimantan.
Pernikahan dan Perbatasan Jodoh
Pada prinsipnya pesta
perkawainan orang pelajar adalah sederhana. Mengingat bahwa hanya upacara
penguburan yang dapat di adakan sebesar kemampuan seseorang. Pada upacara pesta
perkawainan jarang orang memotong kerbau, ada yang menganggap tabu tapi ada
pulana yng di bolehkan oleh adat.
Perkawinan di padang sebagai
batu ujian pertama untuk mengarungi penghidupan rumah tangga. Karna itu,
prinsip berdikari pada pesta perkawinan tetap di hargai. Kehidupan baru tidak
di mulai dengan kemewahan menikmati serba hadia hasil kringat kawan dan handai taulan
tetapi kedua pengantin harus belajar
memutar otak untuk brusaha hidup dan mengidupi rumah tangganya sendiri. Hadiah
perkawinan dari handai taulan hanyalah restu belaka atau untuk dimakan sendiri.
Hal ini berlaku pula bagi yang ingin mengadakan haru ulang tahun. Sumbangan hanya
diberikan kepada yang berduka dan tidak membantu pada orang yang mengundang
untuk bergembira atau yang mengadakan pesta.
Biaya perkawinan di tanggung
oleh yang bersangkutan kalau sudah ada mata pencarian sendiri. tetapi kalau
belum mampu biaya tersebut dipikul bersama oleh kedua belah pihak orang tua
laki-laki dan orang tua perempuan dengan asas musyawarah tanpa memberatkan satu
sama lain. Keluarga terdekat pun dapat memberikan sumbangan ke keluarga yang
terbatas. Biaya perkawinan tidak boleh diberatkan pada pengantin laki-laki
karna kalau terjadi demikian akan timbul penilaian negatif terhadap pihak
permpuan.
Tempat perkawinan di adakan di
rumah orang tua perempuan dan setelah perkawinan di resmikan, mereka dapat
tinggal untuk sementara di rumah orang tua perempuan atau pindah dan tinggal
untuk sementara di rumah orang tua laki-laki. Hidup dengan mertua adalah
sesuatu yang tidak terpuji, karena itu sedapat mungkin pengantin baru
mengusahakan tempat baru untuk dapat berusaha sendiri dan dapat mengatur rumah
tangga sendiri.
Perkawinan
pada umumnya didahului dengan pihak laki – laki mengadakan lamaran setelah
dapat yakin lamaran akan diterima oleh pihak perempuan. Menurut adat, seorang
anak bangsawan kawin dengan anak golongan terendah seperti anak turunan hamba.
Perkawinan tidak dapat diadakan antara tosisallang. Yaitu ada diantara keluarga
laki – laki atau keluarga perempuan pernah saling membunuh.
Umur kawin,
umumnya antara 17 dan 18 sampai 20 tahun. Prinsip monogami adalah yang terbaik
namun poligami sering juga terjadi pada golongan bangsawan yang kaya.
Perkawinan selalu didahului dengan ikatan sanksi adat yang
disebut :
TANA’ dalam bahasa Toraja. Ada 4 tingkatan Tana’ (ikatan
perjanjian) :
1.
Tana’
kua – kua untuk keluarga terendah, tingkat sosial atau golongan hamba. Ikatan
perjanjian adat satu ekor babi.
2.
Tana’
karurung untuk golongan biasa dengan dua ekor kerbau.
3.
Tana’
bassi untuk golongan bangsawan dengan enam ekor kerbau.
4.
Tana’
bulaan untuk golongan bangsawan tinggi dengan 24 ekor kerbau.
Kalau pihak laki – laki yang menjadi penyebab perceraian
maka dialah yang membayar Ikatan Tana’ sebesar yang telah ditentukan tingkat
sosial masyarakatnya. Kalau pihak wanita yang menjadi penyebab perceraian maka
dialah yang harus membayar ikatan Tana’ kepada pihak laki – laki.
Rumah Tangga dan
Keluarga Inti
Rumah
tangga dan keluarga Inti (nuclear family) masyarakat Toraja adalah Monogami,
yaitu terdiri dari seorang suami, seorang isteri dan anak-anak yang belum
menikah.
Kelompok – kelompok Kekerabatan
Orang
Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya baik dalam aktivitas
pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap, maupun tutur bahasa
masing-masing mempunyai disiplin sendiri.
Tingkatan pertama TOKAPUA
(TANA’ BULAAN). Tingkatan ini adalah golongan rulling class dalam masyarakat
Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat, dan pemuka
masyarakat. Banyak istilah dalam bahasa Toraja untuk menyebutkan golongan ini.
Istilah itu seperti: ANAK PATALO, KAYU KALANDONA TONDOK, TODI BULLE ULUNNA, dan
lain sebagainya. Semua istilah tidak lazim dipergunakan dalam bahasa
sehari-hari tetapi dipakai dalam acara resmi atau pertemuan formil lainnya.
Kata TOKAPUA juga tidak dipakai dalam bahasa sehari-hari, biasa diganti dengan
kata TOSUGI’ kalau golongan bangsawan itu termasuk kaya. Bahasa sehari-hari
untuk golongan TOKAPUA ini berlainan di tiap tempat di Toraja. Di daerah bagian
selatan yang dikenal dengan nama TALLU LEMBANGNA yang mencakup Makale, Sangalla
dan Mengkendek, golongan Tokapua disebut PUANG misalnya PUANG MAKALE, PUANG
SANGALLA, dan PUANG MENGKENDEK. Di daerah barat Toraja, golongan Tokapua
disebut MA’DIKA seperti MA’DIKA ULUSALU. Di daerah bagian Tengah Toraja,
golongan Tokapua disebut SIAMBE’ untuk laki-laki dan SINDO’ untuk perempuan,
misalnya SIAMBE’ DO BUNTUPUNE, SIAMBE’ lan TANDUNG LA’BO, SINDO’ lan NANGGALA,
SINDO’ dio KE’TE’, dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut adalah pusat keluarga
bangsawan. Di Daerah bagian Utara, golongan Tokapua disebut PUANG seperti PUANG
SA’DAN, PUANG BALUSU. Ada juga bagian daerah yang menyebut golongan bangsawan
ini dengan PONG, seperti PONG TIKU di Pangala’, PONG MASANGKA di Bori’. Pada
umumnya, golongan bangsawan ini memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak
dahulu dan mereka pula yang menguasai tanah persawahan di Tana Toraja 10%.
Golongan menengah masyarakat
Toraja disebut TOMAKAKA (TANA’ BASSI). Golongan ini erat hubungannya dengan
golongan TOKAPUA. Mereka adalah golongan bebas, mereka juga memiliki tanah
persawahan namun tidak sebanyak yang dimiliki golongan bangsawan. TOMAKAKA yang
tidak memiliki harta benda disebut TOMAKAKA KANDIAN. Persentase TOMAKAKA dalam
masyarakat sekitar 20%.
Golongan terbanyak yang menjadi
tulang punggung masyarakat Toraja adalah TOBUDA (TANA’ KARURUNG – TANA’
KUA-KUA). Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka
adalah penggarap tanah bangsawan, kaum tani dan pekerja yang ulet, tekun dan
hidup sangat sederhana. Mereka adalah golongan termasuk golongan KAUNAN atau
golongan budak dahulu. Semua kaum bangsawan mempunyai lusinan budak. Golongan
hamba ini adalah yang paling dipercaya atasannya karena nenek mereka telah
bersumpah setia turun temurun, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban
membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Mereka ada sekitar 70% dari
masyarakat. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi
seperti TOKAPUA dan TOMAKAKA.
Pertanian
Pada
umumnya, sumber mata pencaharian orang Toraja ialah bercocok tanam, memelihara
binatang ternak seperti ayam, itik, babi, kerbau, ikan mas dan mengusahakan
kerajinan tangan seperti mengukir, menganyam, membuat sepatu, membuat kursi
rotan dan menenun kain. Hasil utama pertanian daerah ini adalah padi, kopi, jagung,
kentang, kacang-kacangan dan cengkeh.
Areal
pertanian tidak begitu luas disbanding jumlah penduduknya. Hasil pertanian yang
berarti ialah padi, jagung, ubi – ubian, kacang – kacangan, kentang dan sayur –
sayuran. Tanaman komoditi yang berarti ialah kopi, kentang, kacang ijo dan
kedele, juga cengkeh mulai membawa harapan.
Peternakan
Peternakan
babi merupakan Home Industri di Toraja. Kebutuhan daging untuk kota Ujung
Pandang dan Pare – Pare hampir seluruhnya disuplai dari Tana Toraja. Peternakan
kerbau sudah agak terdesak dengan perkebunan rakyat menanam cengkeh. Peternakan
itik dan ayam juga cukup lumayan. Kambing dan sapi jarang dipelihara, demikian
halnya dengan kuda. Orang Toraja tidak suka makan daging kambing dan kuda.
Pesta Pernikahan
Perkawinan Adat
Toraja yang disebut Rampanan Kapa' merupakan prosesi adat yang sangat
dimuliakan masyarakat Toraja, karena merupakan bagian terbentuknya susunan
pondasi kebudayaan suku Toraja. Tampak perbedaan yang jelas antara prosesi adat
perkawinan Toraja dengan perkawinan di daerah lain. Karena bukanlah penghulu
agama yang mensyahkan perkawinan itu ,tetapi dilaksanakan oleh Pemerintah Adat
yang dinamakan Ada’ dan perkawinan itu diatur oleh peraturan dari ajaran adat
Aluk Todolo yang disebut Aluk Rampanan Kapa’. Prosesi perkawinan di Toraja
terlaksana karena adanya persetujuan kedua belah pihak, kemudian disyahkan
dalam perjanjian disaksikan oleh pemerintah adat dan seluruh keluarga.
Dari jauh sudah
tampak Mobil Pendoloan, yaitu mobil khusus yang berjalan didepan Mobil
Pengantin, memasuki lokasi pesta. Mobil Pendoloan itu diikuti oleh Mobil
Pengantin dibelakangnya kemudian berhenti tidak jauh dari pusat pesta, untuk
menurunkan pengantin dan rombongan yang menyertainya.
Pengantin lelaki
kemudian membawa pengantin perempuan menuju Gereja untuk disyahkan secara agama
, kemudian kembali ke lokasi pesta. Pada saat menuju lokasi pesta, di depan ada
pasukan yang membawa Doke semacam Tombak, kemudian disusul dengan barisan pagar
ayu yang berbaju adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan
Manik-manik yang menjadi penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang.
Ada dua warna baju para pagar ayu, yaitu merah dan putih, kemudian di belakang
mereka berjalanlah pasangan pengantin dengan diiringi oleh Payung Kebesaran,
selanjutnya menyusullah para keluarga dari keluarga kedua mempelai. Kedua
mempelai itu berjalan menuju kursi pelaminan yang telah disediakan.
Peristiwa Bencana
Alam atau Kematian
Masyarakat Toraja
gotong royong dalam membantu masyarakat lain yang terkena musibah. Tanpa
pemberitahuan atau permintaan bantuan, masyarakat Toraja memiliki inisiatif
tersendiri untuk saling membantu. Masyarakat Toraja memiliki rasa kepedulian
yang sangat tinggi.
Sistem Religi
Kepercayaan Orang Toraja
Orang
Toraja mempunyai agama sendiri dan mereka mempertahankan sampai sekarang.
Kepercayaan ini disebut ALUK TODOLO, penganutnya masih banyak dibagian pelosok
Tana Toraja. Pada saat sekarang ini
sudah sebagian besar orang Toraja yang menganut agama Kristen dan Islam.
Orang Toraja Kristen yang tinggal di Toraja masih tetap menghargai tradisi dan
adat istiadat Toraja sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama yang
dianutnya. Penganut agama Kristen jumlahnya sekitar 55% dan penganut ALUK
TODOLO sekitar 40% dari orang Toraja.
Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan
aluk todolo umumnya selalu diadakan di Tana Toraja adalah berhubungan erat
dengan upacara keagamaan atau acara adat dengan memotong ayam, babi, atau
kerbau. Kehidupan masyarakat Toraja sepanjang tahun terlibat dalam upacara
keagamaan seperti pesta panen padi, pesta rumah adat dan pemakaman orang mati.
Upacara keagamaan itu terbagi dua :
1.
Upacara Rambu Tuka atau Aluk Rampe Matallo.
Upacara rambu tuka
ialah menyembah kepada Dewata dan Puang Matua dengan memotong ayam, babi, atau
kerbau dibawah pimpinan Tominaa. Upacara ini disebut rambu tuka sebagai bahasa
sastra yang mengidentikkan sebagai upacara syukur yang mennggembirakan atau
yang baik – baik. Upacara rambu tuka sering disebut juga aluk rampe matallo
atau upacara keagamaan yang dilaksanakan pada pagi hari di bagian timur dari
letak rumah. Pemimpin agama selalu menghadap ke timur, mempersembahkan korban
yang dibawakan.
Upacara Rambu Tuka’ antara lain :
a.
Mangrara Bauna
Pembangunan rumah Tongkonan yang dibiayai oleh biaya bersama atas
nama keluarga, diadakan pesta yang dihadiri oleh seluruh keluarga yang masing –
masing anggota memotong seekor babi besar. Pada upacara ini, diadakan macam –
macam tarian adat seperti Ma’gellu tarian daobulan dan lain – lain.
b.
Ma’bugi’
Upacara syukuran dalam kampung sesudah panen disebut Ma’Bugi’.
Ma’Bugi’ juga diadakan untuk syukuran kampung sesudah terjadi wabah penyakit
agar tidak terulang lagi. Kalau ada orang mati dalam kampung yang belum
dikuburkan, tidak boleh diadakan Ma’bughi’. Orang kampung memotong ayam, dan
memasak nasi ketan dalam bamboo kemudian dimakan bersama dengan minum tuak
(nira).
c.
Maro
Pesta maro diadakan untuk menyembuhkan orang sakit yang diganggu
roh halus. Maro dapat juga diadakan pada saat acara mangrara banua. Uniknya,
cara menyembuhkan orang sakit pada upacara ini yaitu dengan setiap malam
dikelilingi oleh orang yang mengadakan tarian maro. Ditengah kerumunan massa
yang menari pada malam hari, setelah orang sakit sudah mendapat keringat dan
sudah beberapa orang dukun kemasukan roh halus, maka pengobatan diadakan dengan
darah yang menetes dari dahi dukun dan darah yang diambil dari lidah dukun yang
dilukai. Luka – luka dukun akan segera sembuh sesudah mengadakan kontak dengan
“Dewata” dengan mempergunakan daun pohon “tabang”. Proses ini berlangsung tiap
malam selama acara maro berlangsung sampai orang sakit sembuh.
Contoh lagu Maro :
Padu’ku lalongmi api, patibarrakmi ruaya
Soyananmi tanduk balo, tendengmi ma ‘lana – lana
Tiromi a ‘ganna londong, pasiruanna muane
To aluk misa – misanna
Deatai randan langi, puangri lelean uran
Tia’ langkan moko mai, laying kaluppini’ moko
Rorak manuk manuk moko
Anmu sumare book ‘ku, anmu tulak tingayona
Ullangda’ pa ‘pioanku.
Mupatumbang pia ona’, mulangi’ balaiona
Lungsu’ sala – sala ona’
Angku dido ‘domo tumbang, anku dipakaulemo
Lele tangdi tongananamo’
Artinya
:
Minta
api dinyalakan pada malam gelap gulita ini
Untuk menerangi kegelapan
malam
Lihatlah ia laki – laki
jantan
Dengan gaya ajaib yang
tidak ada bandingannya
Dewata yang bersemayam di
upuk timur
Tuhan yang bertahta di
kawasan sana
Datanglah kemari terbang
bagaikan burung elang
Melayang kearibaanku
bagaikan burung merpati
Bantu dan kuatkanlah aku,
dalam kewajiban baktiku
d.
Merok
Suatu pesta besar
yang diadakan sebagai kelengkapan dari pesta upacara kematian seorang bangsawan
yang diadakan kalau keluarga yang bersangkutan sudah merasa mampu. Acara merok
brelangsung beberapa hari dan setiap malam para pemimpin agama aluk todolo
berkumpul menginpentarisir segala atribut dan seluk beluk adat untuk diperbarui
dalam pikiran. Seekor kerbau dipotong sebagai persembahan kepada Puang Matua
dan malam hari sebelum hari terakhir, kerbau ini ditingga’ / disomba mengenai
asal mula makhluk diciptakan oleh Puang Matua melalui sauna sibarrung dimana
nenek manusia, nenek kerbau dan aluk diadakan. Untuk itulah kerbau dipelihara
untuk dikembalikan pada fungsinya sebagai hewan korban.
Pesta morok dapat juga diadakan sebagai syukuran besar dari satu
keluarga bahagia karena kaya. Pesta morok diadakan di beberapa tempat untuk
acara rumah tongkonan.
e.
Ma’sassiri
Pesta panen sebagai
penutup dari upacara orang mati yang tergolong menengah, upacara pemakaman
golongan menengah diakhiri dengan ma’sassiri yaitu 2 atau 4 ekor babi dipotong.
f.
Ma’bua
Ini adalah pesta
adat rambu tuka yang paling menarik dan paling besar, tetapi tidak semua daerah
lingkungan adat adat mengadakan pesta ma’bua ini. Pesta ma’bua hampir tiap
tahun diadakan oleh keluarga yang mampu. Anak gadis diberi pakaian lengkap dan
menjadi tontonan yang menarik. Yang lebih menarik pada upacara ini adalah saat
membawa obor api pada malam hari.
g.
Ma’bate
Sebagai lanjutan
dari pesta marok dan pesta ma’bua, pada hari terakhir penutupan acara, semua
orang kampung pergi ke tempat terbuka berpesta ria dengan memotong babi dan
ayam. Di tempat terbuka ini, didirikan menara tinggi yang dihiasi dengan kain
MAA’, semacam kain ikat antic dan parang antic yang khusus, yakni parang yang
dulu digunakan untuk peperangan. Baik kain MAA’ maupun parang antic (La’bo’
Todolo) sudah jarang ditemukan karena hampir punah di Toraja. Kain dan parang
ini dibeli turis asing untuk benda souvenir, diboyong pulang ke Eropa atau
Jepang. Setelah selesai acara makan di arena terbuka, diadakan tarian adat
seperti tarian Ma’dandan, tarian Ma’gellu dan tarian Maro.
h.
Sisemba’
Pesta panen, suatu
atraksi massal, perkelahian antar kampung yang mempergunakan kaki, tidak boleh
mempergunakan tangan dan senjata lain. Tiap kampung menurunkan jago – jago
sembak di arena terbuka. Sisemba mempunyai pula syarat – syarat lain : Tidak
boleh menyepak lawan yang jatuh atau yang sudah menyerah. Kalau lawan pingsan
atau patah tulang harus segera diberi pertolongan.
1.
Upacara Rambu Solo atau Aluk Rampe Matampu’
Upacara ini adalah
semua upacara keagamaan yang mempersembahkan babi dan kerbau untuk arwah
leluhur atau untuk orang yang meninggal dunia seperti upacara pemakaman secara
adat, upacara ma’nene’. Upacara ma’nene’ adalah upacara memotong babi atau
kerbau untuk orang yang sudah dikuburkan bertempat di pemakaman liang batu.
Kematian membawa
malapetaka, penderitaan batin keluarga yang ditinggalkan dan bukan itu saja,
tetapi membwa konsekuensi tanggung jawab solider seluruh anggota keluarga dan
persyaratan agama dan adat yang harus dipenuhi agar jiwa seseorang akan damai
dan selamat meninggalkan dunia yang fana ini menuju ke dunia yang tentram di
Puya.
Dengan memberikan
segala pengorbanan materi yangs anggup disediakan, anggota keluarga merasa
menunaikan kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dapat dielakkan selama
anggota keluarga itu masih bersedia mengikuti tradisi adat, agama, dan
persentase keluarga di mata orang di kampung.
Hampir seluruh
kehidupan masyarakat Toraja difokuskan untuk upacara sesudah meninggal dunia,
namun dalam melaksanakan upacara pemakaman secara adat dan terbuka, bergantung
dengan kedudukan dalam masyarakat dan kemampuan seseorang.
Tingkat – tingkat
upacara pemakaman dalam aluk todolo :
a.
Disilli : upacara pemakaman yang paling sederhana. Dulu, orang
miskin dari tingkatan budak sering dikuburkan dengan cara yang menyedihkan,
misalnya dengan hanya membekali mayat dengan
telur ayam, tetapi sekarang rata – rata keluarga menguburkan orang mati
dengan memotong seekor babi. Upacara penguburan disilli adalah aluk golongan
masyarakat budak, terutama untuk menguburkan anak yang belum dewasa.
Anak yang lahir dan
meninggal ditanam bersama urihnya tanpa upacara keagamaan. Sedangkan, anak yang
meninggal sebelum giginya tumbuh, dimasukkan ke dalam pohon kayu besar dengan
upacara sederhana dan tanpa pembalut kain.Pohon tempat penguburan ini disebut
LIANG PIA atau PASSILLIRAN. Kedua cara penguburan ini, berlaku bagi semua
golonga, baik golongan bangsawan maupun golongan rendahan.
b.
Dipasangi Bongi
Upacara penguburan
orang mati yang acaranya hanya satu malam di rumah dan hanya seekor kerbau
dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini bagi orang tua dari golongan
terendah atau golongan menengah yang tidak mampu ekonominya.
c.
Dipatallung Bongi
Upacara penguburan
ini berlangsung selama tiga malam di rumah. Empat ekor kerbau dipotong dan babi
sekitar sepuluh ekor. Hari kedua, tamu datang membawa sumbangan berupa babi,
tuak, dan umbi – umbian. Beberapa tempat nasi tidak boleh dimakan di tempat itu
dan semua keluarga terdekat mempunyai kewajiban untuk pantang makan nasi selama
berlangsungnya upacara dan beberapa hari sesudah upacara. Selama tiga malam
berturut – turut diadakan acara ma’badong.
d.
Dipalimang Bongi
Upacara pemakaman
yang berlangsung selama lima hari lima malam. Hari ketiga adalah hari
penerimaan tamu. Tamu atau kenalan mendapat kesempatan membawakan sumbangan
berupa minuman tuak, buah – buahan, umbi – umbian, kerbau, rokok ataupun gula pasir.
Sembilan ekor kerbau
dan puluhan ekor babi dipotong. Patung orang yang meninggal itu dibuat dari
bamboo. Patung itu disebut TAU – TAU LAMPA. Tau – tau ini dihiasi dengan
pakaian adat tetapi pada waktu hari penguburan, pakaian dan perhiasan diambil
kembali.
Tidak semua kampung
mengadakan pemakaman seperti ini. Upacara pemakaman ini merupakan upacara
tingkat yang paling tinggi.
Pada malam terakhir
diadakan persiapan untuk satu acara khusus yang disebut acara MA’PARANDO,
dimana semua cucu almarhum yang sudah gadis, diarak pada malam hari, duduk
diatas bahu laki – laki dengan perhiasan semacam pakaian penari yang terdiri
dari perhiasan emas goyang dan kandaure. Mereka dibawa keliling rumah tiga kali
dengan memakai obor. Para penonton memuji kecantikan gadis, namun adapula yang
mencemoohnya. Orang yang mencemooh tidak dimarahi selama masih dalam batas –
batas norma kesusilaan. Sepanjang lima malam selalu dilakukan ma’badong.
Seluruh anggota keluarga berpantang tidak makan nasi sampai seluruh embel –
embel acara selesai.
e.
Dipapitung Bongi
Upacaranya 7 hari 7
malam. Setiap malam dan setiap hari ada acara pemotongan kerbau dan babi.
Keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Acara hari
penerimaan tamu lebih meriah banyak babi dipotong, kerbau 9 sampai 20 ekor.
Kepala kerbau diperuntukkan bagi rumah tongkonan dan daging kerbau diberikan
kepada tamu dan penduduk desa.
f.
Dirapai
Upacara penguburan
orang mati yang paling mahal ialah mangrapai karena dua kali diupacarakan
sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah tongkonan dan kemudian
diistirahatkan satu tahun, baru upacara kedua diadakan. Upacara pertama dalam
bahasa daerah disebut dialuk pia. Pada upacara kedua, orang mati diarak dengan
pikulan ratusan orang dari rumah tongkonan ke rante (tempat upacara kedua).
Upacara ini disebut ma’paolo / ma’pasonglo’. Orang mati dibungkus kain merah
dilapisi emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan yang
dihiasai emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang berhias yang
siap untuk diadu satu lawan satu. Setelah tiba dir ante, mayat dinaikkan ke
satu bangunan tinggi khusus tempat orang mati itu (lakkian). Acara – acara lain
menyusul, seperti acara adu kerbau, acara sisemba, dan acara tari – tarian.
Dirapai dibagi
menjadi tiga :
1.
Rapasan dilayu-layu dengan target terendah dua belas ekor kerbau.
2.
Rapasan sundun dengan target minimum 24 ekor kerbau yang dipotong.
3.
Rapasan sapurandanan dengan jumlah kerbau yang dipotong paling
rendah 30 ekor.
Ketiga type rapasan
ini memotong babi ratusan ekor dan puluhan kerbau belang yang mahal harganya.
Pada rapasan
sapurandanan, kerbau yang dipotong terdiri dari semua warna bulu kecuali warna
kerbau putih (tedong bulan). Jenis kerbau dan tingkatan nilanya :
1.
Tedong bulan (kerbau putih), tidak termasuk penilaian.
2.
Tedong sambao’ (kerbau abu - abu), dinilai paling rendah.
3.
Tedong todi’, berwarna putih sediikit di antara dahi dan tanduk.
4.
Tedong pangloli, berwarna putih pada ujung ekor.
5.
Tedong pudu’, berwarna hitam.
6.
Tedo bonga sori dan kapila, berwarna belang pada bagian kepala.
7.
Tedong bonga dan saleko, berwarna belang, bernilai paling tinggi.
Selain itu, kerbau dinilai dari bagusnya tenduk dan
kegemukan badannya. Kerbau belian dan kerbau sambo ra’tuk termasuk yang mahal
harganya. Balian ialah kerbau yang dikebiri dan panjang tanduknya. Sedangkan
kerbau sambo’ ratuk berwarna putih bintik – bintik di seluruh badan.
Peralatan Upacara
Keagamaan
Suku Toraja percaya bahwa
kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah
proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai
kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal
di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan
perjalanan ke Puya. Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau, Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang,
menunggu pemiliknya,
Sedangkan penggunaan musiknya
yaitu Musik suling, nyanyian, lagu, puisi, tangisan dan ratapan merupakan
ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak
berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman dalam "masa tertidur"
Kelompok / Umat
Keagamaan
Pada awalnya, masyarakat Toraja menganut
kepercayaan Aluk Todolo. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat Toraja
sudah mulai menganut agama, seperti agama Kristen, Hindu, bahkan Islam. Hingga
kini, pada umumnya masyarakat Toraja menganut agama Kristen. Penganut Aluk
Todolo sekitar 55% dan penganut agama Kristen sekitar 40%.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebenarnya Indonesia
memiliki ragam kebudayaan dan suku-suku didalamnya, tetapi banyak masyarakat
yang tidak mengenal kebudayaan apa saja yang ada dinegerinya. Salah satu
contohnya adalah Toraja, suku yang berdiam di provinsi Sulawesi Selatan ini
memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan yang unik. Dari mulai suku-suku, bahasa,
adat perkawinan, upacara adat kematian, makanan khas, dan objek wisata yang
beragam dan unik.
Saran/info
Saran/info
Kebudayaan Indonesia
yang beragam seharusnya tidak kita sia-siakan begitu saja, sebagai bangsa yang
mencintai tanah air, kita harus mampu melestarikan kebudayaan-kebudayaan
bangsa. Jika kita tidak mampu melestarikannya, kebudayaan yang kita miliki
semakin lama akan semakin punah. Oleh sebab itu, kita harus dapat mempelajari
sedikit banyaknya tentang kebudayaan-kebudayaan daerah, biarpun kebudayaan
tersebut bukan berasal dari daerah kita.
Daftar
Pustaka
Anjungan Toraja – Taman Mini Indonesia Indah
Ragam Budaya Daerah
Lampiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar