Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Ekstradisi
pertama kali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis
pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari Mesir dengan Hattusili
dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga kerja sama dalam
menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara asal
kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan dibuatnya
perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya tahap-tahap permulaan
dari lahirnya perjanjian ekstardisi.
Kemajuan-kemajuan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan berkembangnya
pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan
kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap perkembangan lembaga
ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang kita akui bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat
manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek negatifnya. Misalnya
timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan, perbankan, kejahatan
komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat yang cukup meresahkan
masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga berpengaruh pada
negara-negara lain.
Dengan demikian
untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang berkembang tersebut sangat
diperlukan adanya kerja sama antara negara-negara dalam menanggulanginya. Hal
ini dapat diwujudkan misalnya, dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan
diri dan menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili
dan menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut. Dengan demikian kita
dapat melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuh untuk
memberantas kejahatan. Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga
atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat
diwujudkan jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia,
sehingga dapat lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian.
Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara
negara sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling
bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian.
Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat
pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya.
Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan
bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan
perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang bersangkutan patut untuk
dilindungi.
Apabila
hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka
kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling
melindungi penjahat tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula
praktek-pratek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan
untuk kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
Dalam
merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi, negara-negara yang
bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek pemberantasan
kejahatan dimana individu sipelaku kejahatan tetap diberikan hak dan kewajiban.
Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang
modern memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia. Apalagi masalah hak asasi manusia adalah
merupakan masalah yang cukup aktual dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan
pelaku kejahatan politik adalah merupakan wujud dari pengakuan hak asasi
manusia untuk menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang.
Pada masa
sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam melakukan penyerahan
penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya perjanjian antara
negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut tidak mempunyai
perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan penjahat-penjahat pelarian
untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatan
belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara negara-negara yang
mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berarti bahwa adanya
perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam melaksanakan penyerahan penjahat
tersebut.
Bab 2
Pembahasan
Ekstradisi
Ekstradisi
berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris)
yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti
memberikan maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi biasanya digunakan
dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.
Pada umumnya,
ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan sarana untuk mencapai
tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus
batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan
terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan
pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat
dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada
perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata
krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar
aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan
baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal
balik maupun sepihak.
Praktek
ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut adalah ”Handing
Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi
terselubung). Handing Over atau Disguished Extradition diartikan
sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata
lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan
prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi.
Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan
beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana
termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi
sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.
Definisi Ekstradisi Menurut
Para Sarjana
L. Oppenheim
menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused or confited
individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or
to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged
criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah; ekstradisi
adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu
waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau
telah dihukum karena perbuatan kejahatan.
J. G. Starke
mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term extradition
denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one
state surrenders to another state at its request a person accused or convicted
of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state
competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan
ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas
permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya
terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku
kejahatan tersebut.
Agar
dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah
diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri. ada
beberapa unsur dari ekstradisi yakni:
Unsur Subjek
Yang
dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara
yang terkait yakni:
- Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan.
- Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.
Negara
yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat
berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau
dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang
memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan
kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan
permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini
disebut negara peminta (the resqusthing state).
Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi
diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan
orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan
singkat disebut negara diminta (the resquithing State).
Unsur objek
Yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka,
tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta
supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”.
Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai
subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar
oleh siapapun.
Unsur Tata cara dan Prosedur
Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni
bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara
untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada
hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan
permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta.
Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada
sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga
bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati.
Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara
peminta, maka si tersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali
penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara
tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang
dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang
bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum
kebiasan internasional.
Unsur Tujuan
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk
tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal
ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu
kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta.
Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk
mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti
bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan
kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang
mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku
kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara
hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan
serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan
internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara
didunia ini.
Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik
Philippina (10 Pebruari 1976)
Untuk mengembangkan kerja sama yang efektif dalam penegakan
hukum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama
dalam masalah ekstradisi, perlu diadakan kerja sama dengan negara tetangga,
agar orang-orang yang dicari atau yang telah dipidana dan melarikan diri ke
luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari hukuman yang seharusnya diterima.
Kerja sama yang efektif itu hanya dapat dilakukan dengan
mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu
perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration
of justice) yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa pembangunan nasional
dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya dengan ekonomi dan keuangan,
maka akibat dari kejahatan tersebut besar pengaruhnya terhadap pembangunan
nasional tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah
Indonesia telah
mengadakan
Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah Malaysia, yang merupakan perjanjian
yang pertama bagi Indonesia.
Disamping itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan
dengan beberapa negara, khususnya negara-negara ASEAN mengenai kemungkinan
untuk mengadakan perjanjian ekstradisi. Selain dengan Negara-negara ASEAN juga
akan diadakan Perjanjian Ekstradisi dengan negara-negara lain.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi
dengan Philipina ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas-azas umum yang
sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional
mengenai
ekstradisi seperti:
- Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana, baik menurut sistem hukum Indonesia maupun sistem hukum Philipina (Double Criminality);
- Kejahatan politik tidak diserahkan;
- Hak untuk tidak menyerahkan warga negara sendiri, dan lain-lainnya.
Disamping itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat
diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak
pidana yang dapat diekstradisikan. Prosedur penangkapan, penahanan, dan
penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional masing-masing negara.
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini disertai dengan
Protokol dimana ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah pemilik tunggal dari
pulau yang dikenal sebagai Las Palmas (P.Miangas) sebagai hasil dari putusan
perwasitan tertanggal 4 April 1928 yang menyelesaikan sengketa antara Amerika
Serikat dan Negeri Belanda. Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran
yang berlainan atas bagian dan Perjanjian Ekstradisi ini yang mengenai hal
wilayah.
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI
ANTARA REPUBLIKINDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
Pasal
1
Mengesahkan
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Philippina serta
Protokol
tertanggal 10 Pebruari 1976, yang salinan naskahnya dilampirkan pada
undang-undang
ini.
Pasal
2
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang
ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 26 Juli1976
PRESIDEN
REPUBLIKINDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
REPUBLIK
INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
Berhasrat
untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam
memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara
mereka dalam masalah ekstradisi.
Telah
mencapai Persetujuan sebagai berikut:
Pasal I
KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI
Masing-masing pihak yang mengadakan Perjanjian bersepakat
untuk saling menyerahkan dalam hal-hal dan sesuai dengan syarat-syarat yang
tercantum dalam Perjanjian ini, orang-orang yang diketemukan dalam wilayahnya
yang didakwa, dituntut atau dinyatakan bersalah atau dihukum karena melakukan
salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal II Perjanjian ini yang
dilakukan dalam wilayah Pihak lainnya atau diluar wilayah tersebut menurut
syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal IV.
Pasal II
KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN
1. Orang-orang
yang diserahkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian ini adalah mereka
yang didakwa, dituntut atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang
tersebut dibawah ini, dengan ketentuan bahwa kejahatan itu menurut hukum kedua
pihak yang mengadakan perjannjian dapat dihukum dengan hukuman mati atau
perampasan kemerdekaan dengan jangka waktu diatas satu tahun:
- Pembunuhan berencana, pembunuhan bapak atau ibu sendiri, pembunuhan anak, dan pembunuhan lainnya.
- Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan, persetubuhan yang tidak sah dengan atau terhadap wanita dibawah umur yang ditentukan oleh hukum pidana dari masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian.
- Penculikan, penculikan anak.
- Penganiayaan berat yang mengakibatkan cacat badan, penganiayaan, pembunuhan berencana yang gagal atau pembunuhan yang gagal.
- Penahanan secara melawan hukum atau sewenang-wenang
- Perbudakan, perhambaan
- Perampokan, pencurian
- Penggelapan, penipuan
- Pemerasan, ancaman, paksaan
- Penyuapan, korupsi
- Pemalsuan dokumen, sumpah palsu
- Pemalsuan barang, pemalsuan uang
- Penyelundupan
- Menimbulkan kebakaran, pengrusakan barang
- Pembajakan udara, pembajakan laut, pemberontakan di kapal
- kejahatan yang bersangkutan dengan narkotika, obat-obat berbahaya atau terlarang atau bahan-bahan kimia terlarang
- Kejahatan yang bersangkutan dengan senjata api, bahan-bahan peledak atau bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.
2. Penyerahan
juga akan dilakukan untuk penyertaan dalam salah satu kejahatan yang disebutkan
dalam Pasal ini, tidak saja sebagai pelaku utama atau peserta, melainkan juga
sebagai pembantu, demikian juga halnya dengan percobaan atau pemufakatan jahat
untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut diatas, bila penyertaan,
percobaan atau permufakatan jahat itu dapat dihukum menurut hukum kedua pihak
yang mengadakan perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan diatas satu
tahun.
3. Penyerahan
dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan Pihak yang diminta terhadap sesuatu
kejahatan lainnya, yang dapat diserahkan sesuai dengan hukum Kedua Pihak yang
mengadakan perjanjian.
4. Jika
penyerahan diminta untuk suatu kejahatan yang tercantum dalam ayat A, B atau C
Pasal ini dan kejahatan itu dapat dihukum menurut hukum kedua pihak yang
mengadakan Perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan diatas satu tahun,
kejahatan tersebut dapat diserahkan menurut ketentuan-ketentuan Perjanjian ini
tidak perduli apakah hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian menempatkan
kejahatan itu dalam penggolongan kejahatan yang sama atau menamakannya dengan
istilah yang sama, asal saja unsur-unsurnya sesuai dengan salah satu
kejahatan-kejahatan atau lebih yang disebutkan dalam Pasal ini menurut hukum
kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian ini.
Pasal III
TEMPAT DILAKUKANNYA KEJAHATAN
Pihak
yang diminta dapat menolak penyerahan orang yang diminta untuk kejahatan yang
menurut hukum Pihak yang diminta dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam
wilayahnya atau ditempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya.
Pasal IV
WILAYAH
1. Didalam
Perjanjian ini, yang dimaksud wilayah dari Pihak yang mengadakan Perjanjian,
ialah semua wilayah dibawah yurisdiksi Pihak yang mengadakan Perjanjian itu,
meliputi ruang angkasa, wilayah perairan dan landas kontinen dan kendaraan-kendaraan
air dan pesawat udara yang terdaftar di negara Pihak yang mengadakan
Perjanjian, bila pesawat udara itu sedang dalam penerbangan atau bila kendaraan
air itu berada di laut bebas waktu kejahatan itu dilakukan. Menurut Perjanjian
ini, sebuah pesawat udara akan dianggap berada dalam penerbangan pada saat
ketika pintunya ditutup untuk embarkasi sampai saat ketika pintu itu dibuka
untuk disembarkasi.
2. Bila
kejahatan yang dimintakan penyerahannya itu dilakukan diluar wilayah Negara
Peminta, pejabat pelaksana dari Negara yang Diminta berwenang untuk melakukan
penyerahan jika menurut hukum dari negara yang diminta kejahatan itu dilakukan
itu dalam keadaan yang sama juga diancam dengan hukuman.
3. Penentuan
wilayah Pihak yang diminta diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya.
Pasal V
KEJAHATAN POLITIK
1. Penyerahan
tidak akan dilakukan jika kejahatan yang dimintakan penyerahan itu dianggap
oleh Pihak yang diminta sebagai kejahatan politik.
2. Jika
timbul persoalan apakah suatu perkara merupakan suatu kejahatan politik, maka
keputusan para pejabat dari negara yang diminta akan menentukan.
3. Menghilangkan
atau percobaan menghilangkan nyawa Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dari
masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian atau anggota keluarganya tidak
akan dianggap sebagai kejahatan politik sebagaimana dimaksud oleh Perjanjian
ini.
Pasal VI
PENYERAHAN WARGA NEGARA
1.
masing-masing pihak mempunyai hak untuk menolak penyerahan warga negaranya.
2.
Jika Pihak yang Diminta tidak menyerahkan warga negaranya, Pihak itu atas
permintaan Pihak Peminta wajib menyerahkan perkara bersangkutan kepada pejabat
yang berwenang dari pihak yag diminta untuk penuntutan. Untuk maksud ini berkas
perkara-berkas perkara, keterangan-keterangan dan bukti-bukti mengenai
kejahatan itu wajib diserahkan oleh Pihak Peminta kepada Pihak yang diminta.
3. Dengan
tidak mengurangi ketentuan dalam ayat B pasal ini, Pihak yang diminta tidak
akan diwajibkan untuk menyerahkan perkara itu kepada pejabat yang berwenang
untuk melakukan penuntutan jika pejabat yang berwenang itu tidak mempunyai
yurisdiksi.
Pasal VII
PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN UNTUK MENYERAHKAN
Penyerahan
tidak akan dilakukan dalam salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
1. Bila
orang yang dimintakan penyerahannya telah diadili dan dibebaskan atau telah
menjalani hukumannya di negara ketiga untuk kejahatan yang dimintakan
penyerahannya.
2. Bila
penuntutan atau pelaksanaan hukuman untuk kejahatan telah gugur karena
kadaluarsa menurut salah satu dari Pihak yang mengadakan Perjanjian.
3. Bila
kejahatan merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum atau peraturan-peraturan
militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum
Pasal VIII
LARANGAN PENGULANGAN PENUNTUTAN ATAU PERADILAN
1. Penyerahan
juga tidak akan dilakukan dalam salah satu hal berikut ini : Bila putusan
terakhir pengadilan sudah dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang dari Pihak
yang diminta terhadap orang yang diminta bertalian dengan kejahatan atau
kejahatan-kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
2. Bila
orang yang dimintakan penyerahannya sedang atau telah dituntut atau telah
diadili dan dibebaskan atau dihukum oleh Negara yang diminta untuk kejahatan
yang dimintakan penyerahannya.
Pasal IX
AZAS KEKHUSUSAN
Seseorang
yang diserahkan tidak akan dituntut, dihukum atau ditahan untuk kejahatan
apapun yang dilakukan sebelum penyerahannya, selain daripada kejahatan untuk
mana ia diserahkan, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Bila
Pihak yang diminta menyerahkan orang itu menyetujuinya, permohonan persetujuan
disampaikan kepada Pihak yang diminta, disertai dengan dokumen-dokumen yang
disebut dalam Pasal XVII. Persetujuan akan diberikan jika kejahatan itu
termasuk kejahatan yang dapat dimintakan penyerahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam Pasal II Perjanjian ini; dan
2. Bila
orang itu setelah mempunyai kesepakatan untuk meninggalkan wilayah Pihak kepada
siapa ia diserahkan, tidak menggunakan kesempatan itu dalam waktu 45 hari
setelah pembebasannya, atau kembali lagi ke wilayah itu sesudah ia
meninggalkannya.
Pasal X
HUKUMAN MATI
Jika
kejahatan yang dimintakan penyerahannya dapat dihukum dengan hukuman mati
menurut hukum Pihak Peminta, tetapi jika untuk kejahatan itu tidak ditentukan
hukuman mati oleh hukuman Pihak yang diminta atau jika hukuman mati biasanya
tidak dilaksanakan, maka penyerahan dapat ditolak kecuali apabila pihak peminta
dapat memberikan jaminan yang oleh Pihak yang diminta dipandang cukup bahwa
hukuman mati tidak akan dilaksanakan.
Pasal XI
PENAHANAN SEMENTARA
1. Dalam
keadaan mendesak pejabat yang berwenang dari Pihak Peminta dapat meminta
penahanan sementara terhadap seseorang yang dicari Pejabat-pejabat yang
berwenang dari Pihak yang diminta akan mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
hukumnya.
2. Dalam
permintaan untuk penahanan sementara diterangkan bahwa dokumen-dokumen yang
disebut dalam Pasal XVII tersedia dan bahwa ada maksud untuk menyampaikan
pemintaan penyerahan. Diterangkan juga untnuk kejahatan apa penyerahan itu akan
diminta, bila dan dimana kejahatan itu dilakukan dan sedapat mungkin wajib
memuat uraian tentang orang yang dicari.
3. Permintaan
untuk penahanan sementara disampaikan di Indonesia kepada National Central
Bureau (NCB) Indonesia/ Interpol dan di Philipina kepada National Bureau of
Investigation atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau
telegram atau melalui international Criminal Police Organization (Interpol).
4. Pejabat
Pihak Peminta akan diberitahukan dengan segera keputusan atas permintaannya.
5. Penahanan
sementara dapat diakhiri, jika dalam waktu 20 hari setelah penahanan Pihak yang
diminta tidak menerima permintaan penyerahan dan dokumen-dokumen yang disebut
dalam Pasal XVII.
6. Pembebasan
seseorang dari penahanan sementara tidak menghalangi penahanan kembali dan
penyerahan jika permintaan untuk penyerahan diterima sesudah itu.
Pasal XII
PENYERAHAN ORANG YANG AKAN DISERAHKAN
1. Pihak
yang diminta akan memberitahukan keputusannya tentang permintaan penyerahan
kepada pihak peminta melalui saluran diplomatik.
2. Untuk
setiap permintaan yang ditolak wajib diberikan alasan-alasannya.
3. Jika
permintaan disetujui, Pihak peminta wajib diberitahu tentang tempat dan tanggal
penyerahan dan lamanya orang yang bersangkutan ditahan untuk maksud penyerahan.
4. Jika
orang yang diminta penyerahannya tidak diambil pada tanggal yang ditentukan,
maka dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam ayat (5) pasal ini ia
dapat dilepaskan sesuai melampaui 15 hari dan bagaimanapun juga wajib
dilepaskan sesuah melampaui 30 hari dan pihak yang diminta dapat menolak
penyerahannya untuk kejahatan yang sama.
5. Jika
keadaan diluar kekuasaannya tidak memungkinkan suatu Pihak untuk menyerahkan
atau mengambil orang yang bersangkutan, maka pihak itu wajib memberitahukan
Pihak lainnya. Kedua Pihak akan menetapkan bersama tanggal lain untuk
penyerahan. Dalam hal demikian akan berlaku ketentuan-ketentuan dari ayat (4)
Pasal ini.
Pasal XIII
PENYERAHAN YANG DITUNDA
Pihak
yang diminta, sesudah mengambil keputusan tentang permintaan penyerahan dapat
menunda penyerahan orang yang diminta, supaya orang itu dapat diperiksanya,
atau jika ia sudah dijatuhi hukuman, supaya orang itu dapat menjalani
hukumannya dalam wilayah Pihak itu untuk kejahatan lain dari pada kejahatan
yang dimintakan penyerahannya.
Pasal XIV
PENYERAHAN BARANG
1. Pihak
yang diminta, sepanjang hukumannya memperbolehkan dan atas permintaan dari
Pihak peminta wajib menyita dan menyerahkan barang:
1. yang
mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian, atau
2. yang
diperbolehkan sebagai hasil dari kejahatan itu dan yang terdapat pada orang
yang dituntut pada waktu penahanan dilakukan atau yang diketemukan sesudah itu.
2. Barang
yang disebut dalam ayat (1) Pasal ini wajib diserahkan, sekalipun ekstradisi
yang telah disetujui tidak dapat dilakukan karena kematian orang yang diminta
penyerahannya atau karena ia melarikan diri.
3. Apabila
barang tersebut dapat disita atau dirampas dalam wilayah dari Pihak yang
diminta, maka dalam hubungan dengan proses pemeriksaan perkara yang sedang
berjalan, pihak ini dapat menahannya untuk sementara atau menterahkannya sengan
syarat bahwa barang itu akan dikembalikan.
4. Setiap
hak yang mungkin diperoleh Pihak yang diminta atau negara lain atas barang
tersebut wajib dijamin. Dalam hal demikian, barang tersebut wajib dikembalikan
tanpa biaya kepada pihak yang diminta secepat mungkin sesudah pemeriksaan
pengadilan selesai.
Pasal XV
TATA CARA
Tata
cara mengenai penyerahan dan penahanan sementara dari orang yang diminta
penyerahannya, akan tunduk semata-mata pada hukum Pihak yang diminta.
Pasal XVI
BIAYA-BIAYA
Biaya-biaya
yang dikeluarkan dalam wilayah pihak yang diminta berkenaan dengan penyerahan
akan ditanggung oleh Pihak itu.
Pasal XVII
SURAT PERMINTAAN DAN DOKUMEN-DOKUMEN YANG DIPERLUKAN
1. Permintaan
penyerahan wajib dinyatakan secara tertulis dan dikirim di Indonesia kepada
Menteri Kehakiman dan di Philipina kepada Secretary of Justice, melalui saluran
diplomatik.
2. Permintaan
penyerahan wajib disertai:
1.
Lembaran asli atau salinan yang disahkan dari penghukuman dan pidana yang dapat
segera dilaksanakan atau surat perintah penahanan atau surat perintah lainnya
yang mempunyai akibat yang sama dan dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang
ditetapkan dalam hukum Pihak Peminta
2.
Keterangan dari kejahatan yang dimintakan penyerahannya, waktu dan tempat
kejahatan dilakukan, uraian yuridis dan penunjukkan pada ketentuan-ketentuan
hukum yang bersangkutan diuraikan secermat mungkin, dan
3.
Salinan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau jika ini tidak mungkin
suatu keterangan tentang hukum yang bersangkutan dan uraian secermat mungkin
dari orang yang diminta penyerahannya bersama-sama dengan keterangan lain
apapun juga yang dapat membantu menentukan identitas dan kebangsaannya.
3. Dokumen-dokumen
yang digunakan dalam proses penyerahan akan dibuat dalam Bahasa Inggris.
Pasal XVIII
PERMINTAAN LEBIH DARI SATU
Pihak
yang mengadakan perjanjian yang menerima dua permintaan atau lebih untuk
penyerahan orang yang sama baik untuk kejahatan yang sama maupun untuk
kejahatan yang berbeda, akan menentukan Negara-negara Peminta mana Pihak
tersebut akan menyerahkan orang yang dicari, dengan mempertimbangkan keadaan
dan terutama kemungkinan penyerahan kemudian diantara Negara-negara peminta,
sifat beratnya setiap kejahatan, tempat dilakukannya kejahatan, kewarganegaraan
orang yang dicari, tanggal diterimanya permintaan, dan ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian ekstradisi antara Pihak itu dengan Negara atau Negara-negara
peminta lainnya.
Pasal XIX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Setiap
perselisihan yang timbul antara kedua Pihak karena penafsiran dan pelaksanaan
dari Perjanjian ini akan diselesaikan secara damai dengan musyawarah atau perundingan.
Pasal XX
KETENTUAN PERALIHAN
Suatu
kejahatan yang telah dimulai sebelum tanggal Perjanjian ini mulai berlaku akan
tetapi diselesaikan setelah tanggal perjanjian ini mulai berlaku akan
diserahkan sesuai dengan Perjanjian ini.
Pasal XXI
MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN
Perjanjian
ini mulai berlaku pada tanggal penukaran Piagam Ratifikasi.
Pasal XXII
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Perjanjian
ini dapat diakhiri setiap waktu oleh salah satu Pihak dengan memberitahukan
maksud untuk melakukan itu 6 (enM0 bulan sebelumnya. Pengakhiran Perjanjian
yang demikian itu tidak akan menghalangi statu proses yang telah dimulai
sebelum pemberitahuan demikian dilakukan.
UNTUK
MENYAKSIKANNYA, yang bertanda tangan di bawah ini yang dikuasakan secara sah
oleh masing-masing Pemerintahnya telah menandatangani Perjanjian ini.
Dibuat
dalam rangkap dua di Yakarta pada tanggal sepuluh Februari 1976, dalam bahasa
Indonesia, Philipina dan Bahasa Inggris, semua naskah adalah sama-sama sahnya.
Dalam hal terjadi perbedaan tafsiran, maka nazca bahasa Inggris yang
menentukan.
Bab 3
Penutup
Kesimpulan
Untuk mengembangkan kerjasama
yang efektif dalam penegakkan hukum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka
pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi, perlu diadakan
kerjasama dengan negara tetangga, agar orang-orang yang dicari atau yang telah
dipidana dan melarikan diri ke luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari
hukuman yang seharusnya diterima.
Kerjasama yang efektif itu hanya dapat dilakukan dengan mengadakan
perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian
ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration of justice)
yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa pembangunan nasional dewasa ini,
karena kejahatan itu ada hubungannya dengan ekonomi dan keuangan, maka akibat
dari kejahatan tersebut besar pengaruhnya terhadap pembangunan nasional
tersebut.
Implementasi
ekstradisi di Indonesia
Perjanjian
ekstradisi di Indonesia muncul sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan hukum
maupun politis. Kepentingan hukum yang dimaksud adalah untuk menjamin kepastian
hukum bagi para pelaku kejahatan yang melarikan diri ke wilayah yuridiksi
negara lain. Selain itu untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dari
tindakan kejahatan yang dimaksud. Adapun kepentingan politisnya antara lain
untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara lain agar tercipta
komunikasi politik yang lebih baik.
Munculnya
perjanjian ekstradisi ini juga tentunya tidak terlepas dari implementasi asas
hukum internasional sebagaimana yang disampaikan oleh Hugo Grotius, yakni asas
au dedere au punere. Artinya, pengadilan terhadap pelaku kejahatan dapat
dilakukan oleh negara tempat kejahatan itu terjadi (locus delicti) atau
diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yuridiksi untuk mengadili
pelaku tersebut (Abdussalam, 2006:28).
Daftar Pustaka
Greig,
D.W, International law, Butterworths, London, 1970
I
Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990.
I
Wayan Parthiana, hukum pidana Internasional dan ekstradisi, yrama widya,
bandung 2003
Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta 2005
Siswanto
Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2009
Lain-lain
http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/perjanjian-ekstradisi/271-perjanjian-ekstradisi-antara-pemerintah-republik-indonesia-dan-malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar