Religiusitas dan Psychological Well‐Being Pada Korban Gempa
Penulis : Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati Utami
JURNAL PSIKOLOGI FAKULTAS
PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA VOLUME 34, NO. 2, 164 – 176
Abstract
Tujuan dari studi ini yaitu untuk
meneliti korelasi antara religiusitas dan psikologi well-being dari korban
gempabumi yang selamat dijogjakarta. Beberapa riset menunjukan religiusitas
memberikan beberapa keuntungan untuuk mencapai well-being.ukuran variable
keduanya yaitu baik dari skala psikologi wellbeing dan skala religiusitas.
Hasilnya menunjukan bahwa ada korelasi positif antara religiusitas dan
psikologi wellbeing (r=0, 505; p<0,05). Religiusitas
berkontribusi efektif 25,5% (R2=0,255) ke psikologi well‐being.
Analisis test menunjukan tidak
ada perbedaan psikologi well-being oleh perbedaan jenis kelamin dan tidak ada
psikologi well-being yang disebabkan oleh tingkat pendidikan dan status
pernikahan.
Keyword : psikologi well-being,
religiusitas, korban selamat gempa bumi
Latar belakang
Letak geologis
negara Indonesia yang berada pada pertemuan
dua lempeng bumi yang aktif di dunia
menyebabkan daerah Indonesia rawan akan terjadinya musibah bencana alam.
Gempa tektonikyang terjadi pada 27 Mei
2006 di Daerah Istimewa Yogya‐
karta dan Jawa Tengah merupakan salah satu
bencana alam yang banyak memakan korban
jiwa.
Menurut data
statistik Bappenas (dalam http://
rehayogyajateng.bappenas.go.id/index.p
hp?option=com_context&task=view&id=21&Itemid=60, 2006) gempa bumi berkekuatan
5,6 Skala Richter ini
menyebabkan korban jiwa yang meninggal di
daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah sebesar 5.760
jiwa, korban yang mengalami luka berat
sebesar 37.339
orang, dan korban yang mengalami luka
ringan 7.862 orang. Korban meninggal
terbesar terjadi di Daerah Istimewa
Yogyakarta yaitu sekitar 4.697 jiwa,
terutama daerah Bantul yang menelan 4.143
jiwa, sedangkan jumlah korban yang
meninggal propinsi Jawa Tengah sebesar 1063 jiwa. Selain menimbulkan korban jiwa, musibah gempa ini
juga menimbulkan kerugian di bidang
materi yang cukup besar.
Trauma pasca
gempa yang terjadi ditambah dengan beban
untuk hidup
dalam keadaan yang serba kekurangan,
menyebabkan individu menjadi stres, merasa
tidak berdaya, dan mengalami perasaanduka
yang mendalam. Individu yang menghadapi masa
krisis pada umumnya mengalami goncangan
mental yang cukup berat. Keadaan ini
jika terus menerus dibiarkan akan membuat
individu menjadi tidak “sehat” mentalnya.
Menurut keterangan
dr. Santosa MKes, Direktur RSJ Grhasia dalam
http://222.124.164.132/article. php?sid=59315, 2006)
sebanyak 126 korban gempa bumi di Y mengalami
gangguan jiwa, beberapa diantaranya juga
mengalami luka fisik. Di RS Jiwa
Grhasia sebanyak 77 pasien sempat men‐ jalani rawat inap
dan 49 diantaranya
sudah bisa rawat jalan.
Namun, terdapat
fenomena lain
yang menunjukkan bahwa tidak semua korban
gempa mengalami gangguan
mental seperti yang disebutkan di atas.
Meskipun sebagian besar korban gempa di
Bantul banyak yang kehilangan rumah dan
harta benda yang mereka miliki,
mereka terlihat tabah dan menerima musibah ini dengan sabar
Mereka masih bisa berkata “ora apa-apa,
iki mung kelangan bandha, anggere awake
dhewe ora kelangan pengarep‐arep” yang dalam Bahasa Indonesia berarti tidak apaapa, kita hanya kehilangan harta, asal bukan
kehilangan pengharapan (dalam http:// mirifica.net/wmview.php?ArtID=
3284, 2006).
Ketabahan warga
Yogya menghadapi peristiwa gempa juga dikemukakan
Wahid (dalam http://www.kompas.com/ kompascetak/0311/05/Bentara/661693.
htm, 2006) yang menulis bahwa seorang
kopral marinir Amerika Serikat yang bertugas membantu
korban gempa di Bantul, membuat tulisandi Kompas (4/8/
2006) untuk mengungkapkan kekagumannya dengan judul: Apa yang membuat
rakyat kecil yang penuh penderitaan itu bisa
begitu tabah menghadapi cobaan? Beliau
berpendapat bahwa rakyat kecil yang tengah
menderita itu amat tabah dan tetap
optimis meskipun mengalami penderitaan dahsyat
karena kehilangan harta benda dan kerabat mereka. Banyak
di antara mereka yang menunjukkan ketahanan diri yang luar biasa. Mereka masih mampu tersenyum, menunjukkan keramahan,
saling membantu di antara
sesama korban.
Tujuan penelitian
meneliti korelasi antara
religiusitas dan psikologi well-being dari korban gempabumi yang selamat
dijogjakarta
Metode
A. Subjek penelitian
Penelitian ini dilakukan pada korban
gempa bumi di desa Timbulharjo, Kecamatan
Sewon, Bantul, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Alasan utama peneliti memilih daerah tersebut
adalah karena desa Timbulharjo merupakan salah
satu daerah di Kabupaten Bantul yang
mengalami tingkat kerusakan prasarana fisik yang cukup berat.
Penelitian dilakukan di RT 01 dan RT 02
dukuh Gandok serta RT 04 dan RT
05 dukuh Ngasem. Subjek penelitian ini
berjumlah 66 orang korban gempa (33
laki – laki dan 33 perempuan) yang
berusia 20 – 50 tahun. Alasan pemilihan
subjek dewasa adalah karena menurut
Mirowsky dan Ross, (1999) pada usia
dewasa, individu mencapai well‐being
yang tinggi.
Ditinjau dari
tingkat pendidikan, subjek penelitian dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok
subjek yang tidak sekolah untuk subjek
yang sama sekali tidak pernah mengenyam
pendidikan formal di sekolah berjumlah 4
orang, tingkat pendidikan rendah untuk
subjek yang pernah mengenyam
pendidikan minimal SD dan SLTP (wajib
belajar 9 tahun) berjumlah 22 orang,
serta tingkat pendidikan tinggi untuk
subjek yang melanjutkan pendidikan ke bangku
SLTA hingga kuliah, baik program diploma
maupun sarjana berjumlah 40 orang.
B. Instrumen penelitian
1. Skala Psychological Well‐Being
Skala Psychological Well‐Being Kor‐ ban Gempa yang
digunakan dalam penelitian ini disusun
peneliti dan rekan peneliti, Rianti Puji
Wahyuni, dan merupakan adaptasi dari Skala
Psychological Well‐Being yang disusun
Ryff (dalam Springer dan Hauser, 2005).
Skala ini mengungkap psycho‐ logical well‐being pada korban gempa
selama 6 bulan terakhir pasca gempa.
Berdasarkan hasil
uji coba Skala Psychological Well‐Being Korban Gem‐
pa, pada 53 subjek uji coba mengha‐
silkan 38 aitem yang sahih (koefisien
korelasi aitem‐total
bergerak dari 0,304 sampai 0,774).
Koefisien reliabilitas Alpha skala ini
sebesar 0,936.
2. Skala Religiusitas
Skala Religiusitas yang digunakan
dalam penelitian ini disusun oleh penulis
berdasarkan konsep
religiusitas yang dikemukakan oleh Glock &
Stark (dalam Ancok dan Suroso,
1994). Beberapa aitem Skala Religiusitas ini diambil dari Skala Religiusitas
yang dipakai oleh Andriyani (2003),
Hamdun (2003), dan Fitri (2000).
Skala Religiusitas
yang dipakai dalam penelitian ini terdiri
dari dua skala, yaitu Skala Religiusitas
I dan Skala Religiusitas II. Skala Religiusitas
I berisi aitem untuk mengukur kognisi
(dimensi knowledge),
sedangkan Skala Religiusitas II berisi aitem
untuk mengukur sikap dan perilaku religius
(dimensi ritual, experience,
consecuency, dan ideology).
Berdasarkan hasil analisis
aitem
Skala Religiusitas I pada 66 subjek uji
coba, menghasilkan 19 aitem yang sahih
dengan daya diskriminasi aitem, diperoleh dari
point biserial
yang bergerak dari 0,164 hingga 0,650
dan indeks kesukaran aitem berkisar 0,255 ‐ 0,980. Hasil analisis reliabilitas
Alpha Skala Religiusitas I adalah
sebesar 0,839.
Berdasarkan hasil
analisis aitem
Skala Religiusitas II pada 50 subjek uji
coba, menghasilkan 26 aitem yang sahih
(koefisien korelasi aitem total
terkoreksi bergerak dari 0,325 sampai
0,657). Hasil analisis reliabilitas Alpha
Skala Religiusitas II ini adalah sebesar
0,889
Reliabilitas Skala Religiusitas dihitung dengan menggunakan reliabilitas
komposit, yaitu merupakan reliabilitas dari skala yang mengukur suatu
variabel yang terdiri dari
beberapa komponen berbeda (Azwar,
2005). Variabel religiusitas terdiri dari dua
komponen, yaitu: (1) kognisi
(dimensi pengetahuan), dan (2) sikap
dan perilaku religius (dimensi ritual, experience,
consecuency, dan ideology). Hasil analisis
reliabilitas komposit Skala Religiusitas adalah
sebesar 0,885.
C. Prosedur pelaksanaan penelitian
Pengambilan data
penelitian dilakukan dengan cara peneliti
bersama salah satu penduduk yang juga
mahasiswa UGM mendatangi rumah subjek satu
persatu. Subjek diberikan dua skala yaitu Skala Psychological WellBeing dan Skala Religiusitas I dan II. Bagi
subjek yang mampu membaca dan menulis
langsung dapat mengisi skala tersebut setelah diterangkan cara pengisiannya. Bagi subjek yang tidak mampu
membaca dan menulis maka proses pengisian
skala dilakukan dengan cara
membacakan kepada subjek dan menu‐
liskan jawabannya pada lembar jawaban
oleh peneliti.
D. Analisis data penelitian
Pengujian hipotesis penelitian dila‐ kukan secara
kuantitatif dengan meng‐
gunakan metode statistik, yaitu dengan
teknik korelasi product moment dari Karl
Pearson (Hadi, 2000).. Datanya diolah
dengan menggunakan software SPSS 13,0
for Windows.
Hasil
Sebelum dilakukan
analisis data penelitian, dilakukan uji
normalitas
sebaran dan linearitas hubungan antara
variabel religiusitas (variabel bebas) dan variabel
psychological well‐being
korban gempa (variabel tergantung). Hasil
uji normalitas dengan menggunakan One
Sample Komogorov‐Smirnov
test menun‐
jukkan bahwa sebaran data psychological well‐being normal (p = 0,558; p>0,05) dan
sebaran data religiusitas juga normal (p
= 0, 800; p>0,05. Hasil uji linearitas juga
menunjukkan bahwa korelasi antara variabel
psychological well‐being
korban
gempa dan religiusitas adalah linear (p =
0,000; p<0,05). Berdasarkan hasil tersebut
maka uji korelasi product moment dapat dilakukan.
Hasil uji korelasi
product moment, menunjukkan adanya korelasi
positif yang signifikan antara religiusitas
dan psychological well‐being korban gempa (r =
0, 505; p<0,05). Hasil ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi skor religiusitas maka
semakin tinggi pula skor psychological well‐being korban
gempa. Sebaliknya semakin rendah skor religiu‐ sitas, maka
semakin rendah pula skor psychological well‐being korban
gempa. Nilai koefisien determinasi (R2)
yang didapat dari hasil analisis data
adalah sebesar 0,255. Angka tersebut mengan‐
dung makna bahwa religiusitas memiliki pengaruh
terhadap psychological well‐
being korban gempa sebesar 25,5 %.
Diskusi
Hasil analisis
yang menunjukkan
adanya hubungan positif dan signifikan antara
religiusitas dan psychological well
being (r = 0, 505; p<0,05) sesuai dengan
hasil penelitian Chamberlain & Zika (1992) yang menyebutkan bahwa religiusitas
mempunyai hubungan positif dengan kesejahteraan
dan kesehatan mental. Hasil penelitian ini
juga mendukung hasil penelitian Ellison
(dalam Taylor, 1995) yang menyatakan bahwa
agama mampu meningkatkan psychological well-being dalam
diri seseorang. Penelitian Ellison, (dalam
Taylor, 1995) menunjukkan bahwa individu
yang memiliki kepercayaan terhadap agama
yang kuat, dilaporkan memiliki kepuasan
hidup yang lebih
tinggi, kebahagiaan personal yang lebih
tinggi, serta mengalami dampak negatif
peristiwa traumatis yang lebih rendah jika
dibandingkan individu yang tidak memiliki
kepercayaan terhadap agama
yang kuat. Hasil penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Freidman dkk; dalam Taylor
(1995), melaporkan bahwa religiusitas sangat
membantu individu ketika mereka harus mengatasi peristiwa
yang tidak menyenangkan.
Dalam penelitian ini, bencana alam
seperti gempa bumi menimbulkan goncangan
mental yang hebat dan trauma pada
diri korban gempa bumi. Perasaan kehilangan
anggota keluarga dan harta benda dalam
waktu yang sekejap membuat individu
mengalami perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan ini merupakan beban psikologis
tersendiri bagi individu. Namun
demikian dengan adanya pengaruh dari
religiusitas yang mereka miliki, para
korban gempa dalam penelitian ini masih
mampu bertahan di tengah‐
tengah kondisi yang serba terbatas untuk
kemudian bangkit kembali menata masa
depannya. Pada masa
krisis seperti itu, agama memiliki peran
yang besar bagi individu sebagai strategi
coping. Sesuai dengan pendapat Argyle
(2001), yang menyebutkan bahwa reli‐ giusitas membantu
individu memper‐
tahankan kesehatan psikologis individu pada saat‐saat sulit.
Religiusitas juga sangat membantu individu ketika
mereka harus mengatasi peristiwa yang tidak
menyenangkan (Freidman dkk; dalam Taylor,
1995). Dalam hal ini, agama mampu
menyediakan sumber‐
sumber untuk menjelaskan dan menye‐ lesaikan situasi
problematik, mening‐
katkan perasaan berdaya dan mampu (efikasi)
pada diri seseorang, serta menjadi landasan
perasaan bermakna, memiliki arah, dan
identitas personal, serta secara potensial
menanamkan peristiwa asing yang berarti
(Pollner, 1989).
Nilai koefisien determinasi
(R2) yang didapat dari hasil analisis
data adalah sebesar 0,255. Angka tersebut
mengandung makna bahwa religiusitas memiliki
pengaruh terhadap psycho‐
logical well‐being
korban gempa sebesar 25,5 %, sedangkan
74,5 % merupakan faktor‐faktor
lain yang kemungkinan
juga turut berperan dalam menentukan tinggi rendahnya psychological well‐being
korban gempa.
Tidak adanya
perbedaan psycho‐
logical well‐being
pada korban gempa
bumi berdasarkan jenis kelamin, tingkat
pendidikan, dan status pernikahan, menunjukkan
bahwa gempa bumi merupakan hal yang
universal dimana korban gempa bumi, baik laki‐laki atau
perempuan, tingkat pendidikan rendah atau
tinggi, dan menikah atau lajang merasakan hal yang sama, dalam hal ini
persepsi terhadap bencana, sehingga
psychological well‐being mereka tidak ada
perbedaan. Pengaruh faktor‐faktor terse‐ but mungkin
berbeda jika diterapkan
pada kondisi dan situasi yang berbeda.
Misalnya, status pernikahan, tingkat pendidikan,
dan jenis kelamin akan memiliki pengaruh
yang berbeda dengan psychological well‐being jika dite‐ rapkan pada
situasi kehidupan rumah
tangga, atau lingkungan pekerjaan.
Kesimpulan
Tidak adanya
perbedaan psycho‐
logical well‐being
pada korban gempa
bumi berdasarkan jenis kelamin, tingkat
pendidikan, dan status pernikahan, menunjukkan
bahwa gempa bumi merupakan hal yang
universal dimana korban gempa bumi, baik laki‐laki atau
perempuan, tingkat pendidikan rendah atau
tinggi, dan menikah atau lajang
merasakan hal yang sama, dalam hal ini
persepsi terhadap bencana, sehingga psychological well‐being mereka tidak ada
perbedaan. Pengaruh faktor‐faktor terse‐ but mungkin
berbeda jika diterapkan
pada kondisi dan situasi yang berbeda.
Misalnya, status pernikahan, tingkat pendidikan,
dan jenis kelamin akan memiliki pengaruh
yang berbeda dengan psychological well-being jika diterapkan
pada situasi kehidupan rumah
tangga, atau lingkungan pekerjaan.
Kelemahan
Pengaruh factor-faktor tersebut
mungkin berbeda jika diterapkan
pada kondisi dan situasi yang berbeda.
Misalnya, status pernikahan, tingkat pendidikan,
dan jenis kelamin akan memiliki pengaruh
yang berbeda dengan psychological well
being jika diterapkan
pada situasi kehidupan rumah
tangga, atau lingkungan pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar