MAKALAH TINDAK
PIDANA TERTENTU DILUAR KUHP
“PERLINDUNGAN
KONSUMEN”
DISUSUN OLEH :
NAMA :
FARID HIKMATULLAH
SEMESTER : VII
(HUKUM PIDANA)
NPM :
12400164
DOSEN : ERNA
AMALIA, SH, MH.
JAKARTA 2015
BAB 1
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dikaruniai akal dan pikiran,
disempurnakan dengan berkomunikasi yang membedakan manusia dengan makhluk lain
yang ada di dunia ini. Semenjak dahulu manusia memiliki pandangan yang berbeda
dalam menilai makanan dan minuman. Baik yang menyangkut makanan yang
diperbolehkan ataupun makanan yang dilarang, terutama makanan yang mengandung
bahan berbahaya. Sementara makanan dan minuman dari tumbuh-tumbuhan tidak
banyak diperselisihkan. Islam tidak mengharamkan makanan dan minuman tersebut,
kecuali jika makanan dapat membahayakan kesehatan yang mengkonsumsinya.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya
dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional, telah
menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di
samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi
telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi
barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu Negara, sehingga
barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri
maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai
manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan konsumen.
Dan Undang-undang dasar 1945 dan pancasila
mengamanatkan bahwa pada dasarnya pembangunan nasional bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata material dan spiritual dalam era
demokrasi ekonomi. Bahwa pembangunan ekonomi nasional pada era globalisasi
harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan barang
atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan masyarakat
banyak dan sekaligus mendapat kepastian hukum atas barang dan jasa yang
diperoleh dari perdagangan tanpa merugikan konsumen.
Dengan semakin tumbuh dan terbukanya pasar nasional
sebagai akibat proses dari globalisasi ekonomi maka daripada itu haruslah tetap
menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian akan mutu, dan
keamanan barang atau jasa yang diperoleh. Dengan belum adanya ketentuan hukum
yang memadai mengenai perlindungan konsumen di Indonesia serta kurangnya
kesadaran akan pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya dari tindak perdagangan yang merugikan maka
diperlukanlah penyuluhan dari pemerintah tentang undang-undang perlindungan
konsumen baik yang menyangkut mengenai makanan kadaluarsa dan makanan yang
mengandung zat berbahaya demi terciptanya perekonomian yang sehat bagi pelaku
usaha dan juga konsumen.
Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah, bahkan tidak sedikit menimbulkan
permasalahan yang merugikan pihak konsumen. Menurut Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan
pengertian konsumen sebagai berikut: “Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Dalam era perdagangan bebas dimana pembatas antara
negara yang satu dengan negara yang lain sudah tidak ada lagi, berbagai macam
produk-produk yang dihasilkan di luar negeri sudah dapat ditemukan di
Indonesia. Contohnya produk-produk makanan yang dihasilkan oleh Negara Malaysia
dapat dinikmati di Indonesia, begitupun sebaliknya Negara Malaysia dapat menikmati
produk-produk dari Indonesia. Sedangkan konsumen berhak mendapat keamanan,
kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, dimana
produk barang dan/atau jasa tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga
konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun secara rohani.
Namun, pada kenyataannya ada Pelanggaran
kaidah-kaidah hukum yang dilakukan oleh pengusaha seperti contoh tindakan produsen/pelaku usaha pangan
akhir-akhir ini yang mencantumkan kata halal pada kemasan produknya, padahal
belum pernah diuji oleh Lembaga Pengkajian Pengawasan Obat dan Makanan Majelis
Ulama Indonesia (LP POM MUI), berarti belum bersertifikat halal. Lebih dari
itu, sebagai bagian dari kemajuan di bidang teknologi pertanian telah banyak
digunakannya pestisida, pupuk kimia, penggunaan obat-obatan dan hormon
pertumbuhan. Dengan pesatnya kemajuan di bidang pertanian, peternakan dan
kedokteran hewan telah mengakibatkan meningkatnya kadar residu dari berbagai
senyawa tersebut di atas pada bahan pangan dan makanan. Keadaan tersebut
semakin parah dengan terhamburnya kontaminan logam berat timbal (plumbum) di
udara (2,8 mikrogram/m3) yang dikeluarkan knalpot kendaraan bermotor di
Indonesia.
Selain itu, Pihak produsen, penyalur dan penjual
sering tidak mengindahkan ketentuan hukum perlindungan konsumen. Pemerintah
sebagai regulator juga dalam banyak hal terlambat mengantisipasi
pelanggaran-pelanggaran hukum berupa penjualan makanan yang sudah kadaluarsa.
Berbagai larangan telah dikenakan bagi para pelaku usaha, baik itu pelaku usaha
pabrikan dan atau distributornya, pelaku usaha periklanan, maupun kegiatan yang
terkait dengan kehumasan. Pada prinsipnya konsumen berada pada posisi yang
secara ekonomis kurang diuntungkan. Konsumen semata-mata tergantung pada informasi
yang diberikan dan disediakan oleh pelaku usaha. Akan tetapi informasi yang
diberikan tanpa disertai dengan edukasi akan kurang dirasakan manfaatnya. Hal
ini antara lain dilakukan melalui pemasangan label atau standarisasi mutu. Arti
penting perlu adanya pemasangan label atau pelabelan ataupun standardisasi,
mutu produk sangat dirasakan penting, khususnya terhadap produk makanan, karena
hal ini sangat berhubungan dengan nyawa manusia. Sehingga, Perlindungan hukum
terhadap konsumen, terkesan bersifat semantik (pemandulan aturan) dan nominal
(tidak dilaksanakan secara konsekuen).
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang menyebabkan suatu produk pangan yang kadaluarsa dan yang mengandung zat
berbahaya banyak beredar dipasar ?
2. Bagaimanakah
perlindungan hukum terhadap konsumen yang menggunakan produk pangan kadaluarsa
dan zat berbahaya ?
3. Bagaimana
tindakan yang dilakukan oleh BPOM untuk mengatasi masuknya makanan impor tanpa
sertifikasi halal
C.
TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dan menelaah secara lebih dalam mengenai
bagaimana suatu undang-undang perlindungan konsumen melindungi konsumen atas
beredarnya produk pangan kadaluarsa dan yang mengandung zat berbahaya.
2. Manfaat
penelitian
Manfaat
teoritis
Dengan
diadakannya penelitian ini, diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai
perlindungan hukum terhadap konsumen dengan adanya undang-undang perlindungan
konsumen.
Manfaat
praktis
a. Bagi
pemerintah
Dengan
penelitian ini, pemerintah hendaknya lebih mengontrol dan menindak tegas
terhadap pelaku usaha dan produk pangan yang beredar di masyarakat khususnya
produk pangan yang kadaluarsa dan mengandung zat berbahaya.
b. Bagi
masyarakat
Dengan
penelitian ini, masyarakat hendaknya peduli, mandiri, dan mencari informasi
tentang undang-undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen agar
masyarakat tidak mudah terpengaruh terhadap produk pangan yang mengandung zat
berbahaya dan kadaluarsa dan bersikap aktif membantu pemerintah dalam
mengontrol dan mengawasi segala bentuk pelaku usaha didalam menjalankan
perdagangan.
c. Bagi
kalangan mahasiswa
Dengan
penelitian ini, diharapkan kalangan mahasiswa mampu berpikir kritis dalam
setiap kebijakan pemerintah didalam membuat peraturan mengenai perlindungan
konsumen serta dapat memberikan saran yang baik kepada pemerintah terkait
kebijakan.
BAB II
A.
KERANGKA
TEORI
Salah satu bentuk perlindungan Pemerintah kepada
masyarakat yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan dan undang-undang tentang perlindungan konsumen nomor 8 tahun 1999.
Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi
setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman,
bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Untuk mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistem pangan
yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang
mengkonsumsi pangan serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Undang-undang Pangan mengatur mengenai standarisasi
pangan yang layak untuk dikonsumsi. Perlindungan hukum terhadap konsumen harus
ditegakkan apabila hak-hak konsumen dilanggar karena kesalahan atau kelalaian
produsen atau pelaku usaha yang menyebabkan konsumen dirugikan. Hak-hak dasar
konsumen tersebut antara lain:
·
Hak untuk keamanan dan
keselamatan.
·
Hak untuk memperoleh
informasi.
·
Hak untuk memilih.
·
Hak untuk didengar.
·
Hak untuk memperoleh
kebutuhan hidup.
·
Hak untuk memperoleh
ganti rugi.
·
Hak untuk memperoleh
pendidikan konsumen.
·
Hak untuk mendapatkan
barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya.
·
Hak untuk mendapatkan
upaya penyelesaian hukum yang patut.
Produsen atau pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang
bertanggung jawab dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Dan bertanggung jawab atas setiap tindakan
dalam kewajibannya serta harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya.
UU
Perlindungan konsumen dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
·
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindung diri;
·
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
·
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
·
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
·
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha;
·
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha .produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
Sesuai dengan bunyi Pasal 8 ayat 1, secara jelas disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Namun, sejauh ini UU Perlindungan konsumen tersebut belum
sepenuhnya ditegakkan. Konsumen sebagai objek UU Perlindungan Konsumen masih
saja sering dirugikan oleh para produsen nakal. Masih banyak saja pelanggaran
UU Perlindungan konsumen yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan
Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan kewajiban produsen atau
pelaku usaha antara lain:
·
Beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya.
·
Memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
·
Memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·
Menjamin mutu barang dan/atau
jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku.
·
Memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
·
Memberi kompensasi, ganti rugi,
dan/atau penggantian atas kerusakan akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Memberi kompensasi, ganti rugi,
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam rangka keterbukaan informasi akan produk, apabila produsen memakai
pangan yang diimpor dari Negara asing, yang oleh produsen tidak diberitahukan
kepada konsumen, maka produsen berkewajiban untuk memberitahukan keamanan
pangan, menjelaskan keterangan yang benar tentang produk pada label yang biasa
dilekatkan dalam kemasan.
Ketentuan pengaturan yang melindungi pihak konsumen dari
produk-produk impor yang masuk ke Indonesia salah satunya adalah Pasal 30
Undang-undang Tentang Pangan yang menyebutkan :
(1)
Setiap orang yang memproduksi
atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan
pangan.
(2)
Label, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
·
Nama Produk;
·
Daftar Bahan yang digunakan;
·
Berat Bersih atau isi bersih;
·
Nama dan Alamat pihak yang
memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
·
Keterangan tentang Halal; dan
·
Tanggal, Bulan, dan Tahun
kadaluwarsa.
(3) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk
dicantumkan pada label pangan.
Tujuan pemberian label pada pangan yang dikemas adalah agar
masyarakat yang membeli dan/atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi yang
benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikemas, baik menyangkut
asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, maupun keterangan lain yang diperlukan
sebelum memutuskan akan membeli dan/atau mengkonsumsi pangan tersebut.
Ketentuan ini berlaku bagi pangan yang telah melalui proses pengemasan akhir
dan siap untuk diperdagangkan (pre-packaged), tetapi tidak berlaku bagi
perdagangan pangan yang dibungkus di hadapan pembeli. Penggunaan label dalam
kemasan selalu berkaitan dengan aspek perdagangan.
Keterangan
halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang
mayoritas memeluk agama Islam.
Dengan demikian Indonesia harus memiliki sistem Pengawasan Obat dan
Makanan yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi
produk makanan yang diimpor dari Negara lain dalam rangka melindungi keamanan,
keselamatan dan kesehatan konsumennya di dalam negeri. Berdasarkan uraian
tersebut, maka yang menjadi masalah utama dalam penulisan skripsi ini adalah
untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab pihak Badan POM terhadap masuknya
makanan impor dari Negara asing yang menimbulkan kerugian bagi pihak konsumen.
B. HIPOTESA
Undang-undang Pangan mengatur mengenai standarisasi pangan yang
layak untuk dikonsumsi. Perlindungan hukum terhadap konsumen harus ditegakkan
apabila hak-hak konsumen dilanggar karena kesalahan atau kelalaian produsen
atau pelaku usaha yang menyebabkan konsumen dirugikan namun pada kenyataannya
dilapangan masih banyak terjadi ketidak sesuaian sebagaimana undang-undang
mengatur tentang perlindungan konsumen dan undang-undang pangan dan sanksi
kepada pelaku usaha pun masih tidak jelas penerapannya. kenyataannya ada Pelanggaran kaidah-kaidah
hukum yang dilakukan oleh pengusaha seperti contoh tindakan produsen/pelaku usaha pangan
akhir-akhir ini yang mencantumkan kata halal pada kemasan produknya, padahal
belum pernah diuji oleh Lembaga Pengkajian Pengawasan Obat dan Makanan Majelis
Ulama Indonesia (LP POM MUI), berarti belum bersertifikat halal. Hipotesisnya “terdapat ketidak sesuaian
penerapan undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang tentang pangan
yang terjadi di lapangan atas beredarnya makanan kadaluarsa dan makan yang
mengandung zat berbahaya”.
C.
KERANGKA KONSEPTUAL
Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan
hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu,
aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Perlindungan hukum terhadap konsumen harus ditegakkan apabila
hak-hak konsumen dilanggar karena kesalahan atau kelalaian produsen atau pelaku
usaha yang menyebabkan konsumen dirugikan.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang terdsedia
dalam masyarakatbaik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pelaku usaha adalah setiap orange atau perseorangan atau badan usaha
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara republic
Indonesia, baik sendiri maupujn bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Badan perlindungan konsumen nasional adalah badan yang dibentuk
untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
Produsen atau pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang
bertanggung jawab dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Dan bertanggung jawab atas setiap tindakan
dalam kewajibannya serta harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya.
Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan kepedulian untuk melindungi dirinya
serat menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab, dengan
adanya ketentuan hukum di Indonesia yang melindungi konsumen belum memadai di
perlukan perangakat peraturan tambahan untuk mewujudkan keseimbangan
perlindungan konsumen dan pelaku usaha demi tercapainya perekonomian yang
sehat.
Dan segala bentuk hak dan kewajiban baik konsumen maupun pelaku
usaha harus sesuai dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku,
serta peran pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha
serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang dilaksanakan
oleh menteri/ teknis terkait dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan peraturan perundang-undangan
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan dari lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat.
BAB III
A.
METODE
PENELITIAN
1. Jenis
penelitian
Sifat penelitian
ini berusaha memberikan gambaran mengenai permasalahan yang aktual saat ini
berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Selanjutnya, metode penelitian digunakan
sesuai dengan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu Kajian
Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluarsa dan yang
mengandung zat berbahaya.
Metode
penelitian kualitatif deskriptif ini membuka peluang untuk pendekatan analitis
yaitu bagi tergalinya keadilan dan perlindungan hak-hak konsumen. Penelitian
ini sifatnya yuridis normatif dengan jenis penelitian hukum yang mengambil data
kepustakaan.
2. Data
dan teknik pengumpulan
Peneliti
memperoleh Data Primer secara langsung dari lokasi penelitian terbatas yaitu
BPOM dengan cara wawancara langsung dan observasi.
penelitian
memperoleh Data Sekunder yaitu dengan studi kepustakaan yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder
diperoleh dengan studi dokumentasi dan penelusuran literature yang berkaitan
dengan rumusan masalah.
3. Analisa
Data
Setalah data
terkumpul dan telah dilakukan editing dan koding data peneliti menggunakan Teknik
analisis menggunakan pendekatan kualitatif, dalam pendekatan secara kualitatif
tidak digunakan parameter statistik. Setelah melakukan klasifikasi bahan-bahan
hukum, baik bahan hukum primer maupun sekunder untuk dianalisa kemudian di
deskripsikan secara sistematis atas setiap data yang terkumpul.
D.
RENCANA
PENELITIAN
Dalam
penelitian ini terdiri dari beberapa bab yang telah disusun secara sistematis
oleh peneliti sebagai berikut :
Bab 1 : Pendahuluan
Bab 2 : Tinjauan
Pustaka
Bab 3 : Metodologi
Penelitian
Bab 4 : Hasil
Penelitian dan Pembahasan
Bab 5 : Penutup
BAB IV
PERBUATAN YANG
DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Tujuan hukum perlindungan konsumen adalah memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen terhadap pemakaian
barang dan atau jasa yang beredar dalam masyarakat yang dipasarkan oleh pelaku
usaha. Dalam peredaran barang dan atau jasa tersebut tidak tertutup kemungkinan
terjadinya perbuatan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen.Untuk mencegah
terjadi hal-hal yang dapat merugikan konsumen akibat aktifitas yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam memproduksi barang dan atau jasa, undang-undang
perlindungan mengatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
A.Perbuatan yang Dilarang
Bagi Pelaku Usaha (pasal 8)
1) . Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/ atau memperdagangkan
barang dan /atau
jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b. Tidak sesuai berat bersih.isi bersih atau netto
dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut.
c. tidak sesuai ukuran,
takaran, timbangan dan jumlah menurut ukuran
yang sebenarnya
d. tidak
sesuai kondisi, jaminan, keistimewaan
dan kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/ atau jasa tersebut.
e. tidak
sesuai mutu, tingkatan komposisi, proses pengolahan, gaya atau mode, penggunaan
tertentu sebagaimana yang dinyatakan
dalam label barang atau jasa tersebut.
f. tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,iklan atau promosi penjualan barang dan/ atau jasa tersebut.
g. tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfataan yang paling baik atas barang tertentu.
h. tidak mengikuti
berproduksi secara
halal sebagai mana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
i.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih/netto,
komposisi, atauran
pakai, tanggal pembuatan, efek samping, nama alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut
harus dipasang/dibuat.
j.
Tidak mencantumkan informasi,
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia
2) pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang
rusak, cacat atau bekas tercemar tanpa memberikan informasi yang lengkap dan
benar atas barang tersebut.
3) pelaku usaha dilarang memperdangangkan sediaan farmasi dan barang pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4) Pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Berdasarkan Pasal
8 tersebut diatas, disimpulkan bahwa pelaku usaha dalam memperdangangan barang
dan /atau jasa harus harus memberikan informasi yang jelas tentang pengunaan
barang dan atau jasa, mencantumkan tanggal kadaluarsanya, mutu barang, bersikap
jujur mengimpormasikan komposisi barang, promosi/iklan barang dan /atau jasa.
Pelaku usaha yang mengindahkan ketentuan yang diatur dalam pasal 8 tersebut
tentu menghasilkan barang dan/ atau jasa yang berkwalitas sehingga tidak
menimbulkan kerugian pada konsumen.
Pasal 9
(1)
Pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa
secara tidak benar dan atau seolah olah:
a.
Barang tersebut
telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu
tertentu, gaya atau mode tertentu, sejarah atau guna terentu;
b.
Barang tersebut
dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.
Barang dan/atau
jasa tersebut telah mendapatkan dan/ atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentum ciri-ciri kerja atau asesori
tertentu
d.
Barang dan /atau
jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan dan
afiliansi;
e.
Barang dan/ atau
jasa tersebut tersedia;
f.
Barang tersebut
tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.
Barang tersebut merupakan kelengkapan dari
barang tertentu;
h.
Barang tersebut
berasal dari daerah tertentu;
i.
Secara langsung
merendahkan barang dan atau jasa lain;
j.
Mengunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya,tidak mengandung
resiko atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap;
k.
Menawarkan sesuatu
yang mengandung janji yang belum pasti.
(2)
Barang dan atau/
jasa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
(3)
Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi
dan pengiklanan suatu barang dan atau/ jasa tersebut.
Jika diperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 9
tersebut diatas berkaitan dengan prilaku pelaku usaha dalam menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan barang dan atau jasa harus jujur sesuai dengan
kondisi barang dan atau jasa, sehingga konsomen tidak dirugikan dan terhindar
dari pemalsuan barang dan atau jasa.
Pasal 10
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang untuk menawarkan , mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan
yang tidak benar atau menyesatkan mengenai
a.
Harga atau tarif barang dan/atau jasa;
b.
Kegunaan suatu
barang dan/atau jasa
c.
Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.
Tawaran potongan
harga atau hadiah menarik yang ditawarkan
e.
Bahaya penggunaan
barang dan/atau jasa
Pasal 10 sama dengan pasal 9 yang berkaitan dengan
prilaku pelaku usaha dalam menawarkan, mengiklankan , mempromosikan barang dan
/atau jasa harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai kondisi barang dan/
atau jasa tidak menyesatkan kepada konsumen.
Pasal 11
Pelaku
usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui dan menyesatkan konsumen dengan:
- Menyatakan seolah-olah barang dan/ atau jasa telah memenihu standar mutu tertentu;
- Menyatakan barang dan/atau jasa seolah olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
- Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan untuk maksud menjual barang-barang lain;
- Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan /atau dalam jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang lain;
- Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah yang cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
- Menaikan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 11 tersebut
berkaitan penjualan (obral atau lelang) barang dan/atau jasa yang dilakukan
pelaku usaha tidak boleh menyesatkan atau mengelabui konsumen, melakukan tipu
daya untuk menarik minat konsumen terhadap barang dan/ atau jasa.Perbuatan yang
dilakukan pelaku usaha hanyalah menguntungkan pelaku usaha itu sendiri
sedangkan konsumen dirugikan, karena pelaku usaha tidak bersikap jujur dan
konsisten dengan kondisi barang dan/ atau jasa yang dijualnya.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau
mengiklankan barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif yang khusus dalam
waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk
melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan atau
diiklankan.
Maksud dari Pasal 12 tersebut diatas bahwa Pelaku usaha
dalam menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan suatu barang dengan harga
khusus dengan waktu dan jumlah tertentu akan tetapi hal ini tidak dilaksanakan
oleh pelaku usaha. Ini juga berkaitan dengan prilaku pelaku usaha yang tidak
jujur dan menyesatkan yang dilarang untuk dilakukan pelaku usaha karena
menimbulkan kesesatan kepada konsumen. Pelaku usaha yang yang tidak jujur ini
dapat dituntut oleh konsumen telah melakukan wanprestasi dan menuntut ganti
kerugian karena pa yang dinayatakan tidak dijalankan.
Pasal 13
1)
Pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan atau jasa
dengan cara pemberikan hadiah berupa barang dan atau jasa lain secara Cuma-Cuma
dengan maksud tidak memberikan atau memberikan tidak sebagaimana mestinya.
2)
Pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan obat, obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa berpa barang atau jasa lain.
Pasal 13 tersebut diatas ditujukan kepada pelaku usaha
dalam menawarkan, mempromosikan dan mengiklan suatu barang dan/atau jasa yang
menjanjikan pemberian hadiah dengan cuma-cuma hendaklah menepati janjinya
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian dilarang
untuk:
a. Tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan
b. Mengumumkan
hasilnya tidak melalui media
c. Memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan
d. Menganti
hadiah tidak setara dengan hadiah yang dijanjikan
Pasal
15
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/ jasa
dilakukan melakukan cara pemaksaan yang
dapat menimbulkan ganggunan pisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal
16
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/jasa
melalui pesanan dilarang untuk:
a. Tidak
menepati pesanan sesuai dengan yang disepakati
b. Tidak
menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi
Larangan
pasal 16 dapat dituntut berdasarkan wanprestasi atas dasar perbuatan melawan
hukum bahkan dapat dipidana.
Pasal
17
Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi yang
a.mengelabui
konsumen mengenai kualitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan.tarif jasa
serta ketetapan waktu penerimaan barang dan atau jasa
b.
mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan atau jas
c.memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat
mengenai barang atau jasa, pernyataan yang salah
d.tidak
memuat resiko mengenai pemakaian barang atau jasa
e.Mengeksploitasi
kejadian dan atau seseorang tanpa izin yang berwenang dan persetujuan yang bersangkutan
f.melanggar
etika dan atau ketentuan perundang-undangan
2)pelaku
usaha periklanan dilarang
melanjutkan peredaran iiklan yang telah melanggar ketentuan ayat 1
Pasal
17:
Pelaku usaha periklanan
yang mengelabui konsumen melalui iklan yang diproduksinya, dapat berupa
pernyataan salah, menyesatkan dan iklan
yang berlebihan. Pada hal peran
iklan memperkenalkan produknya kepada msyarakat.
Iklan
yang merugikan konsumen dapat berupa:
a.
Bait
advertising
b.
Blind
advertising
Bait advertising adalah:
Iklan
yang menarik, tapi penawaran yang disampikan tidak jujur. Pelaku usaha tidak bermaksud menjual barang yang diklankan, tapi bertujuan agar konsumen
menganti membeli barang yang diklankan dengan barang jualan lainnya yang
biasanya lebih mahal atau lebih menguntungkan pengiklanan
Blid advertising adalah:
Iklan yang cendrung
membujuk konsumen
untuk berhubungan dengan
pengiklan nama
tidak menyatakan
tujuan utama iklan
tersebut untuk menjual barang atau jasa dan tdak menyatakan identtas
pengiklanan.
Flese advertising adalah:
Representase tentang fakta dalam iklan adalah salah yang
diharapkan kepada pembeli untuk membujuk
membeli barang yang diiklankan dan bujukan pembelian barang adalah
merugikan pembeli dan didasarkan tindakan
kecurangan dan penipuan
Informasi
yang disampaikan berupa persentase suatu produk kadang terjadi pernyataan tidak
benar yang dilakukan oleh suatu pihak unyuk membujuk pihak lain.
B. Perlindungan Mutu Barang
a).Standar mutu
Untuk melindungi mutu barang, Pemerintah
menentukan standar mutu barang, pengujian sertifikasi yang dikeluarkan Keppres No 20 tahun
1984 yang kemudian disempurnakan Keppres No.7 tahun 1989 membentuk Dewan
Standarisasi Nasional.PP No 15 tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI)
dan Keppres no.12 tahun 1991 tentang
penerapan, penyusunan dan pengembangan Standarisasi secara
nasional.Keputusan menteri perdangangan nomor 22/KP/II/ mulai tanggal 1Februari 1996 Pengawasan mutu
barang yang dilakukan
oleh pemerintah khususnya Deperindag
meliputi produk ekspor, prodak dalam negeri dan
produk impor yang beredar dalam pasar dalam negeri.
Dilingkup
Departemen perindustrian dan perdangangan pengwasan
dilaksanakan
dengan cara sertifikasi.Pelaksanaan
pengawasan mutu barang menjamin tersedianya barang yang bermutu.Walapun sudah ada sertifikasi
dan label SNI pada suau produk, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan
dan Industri tetap melakukan pengawasan terhadap produk yang berlabel
sertifikasi dan SNI.
Syarat produk impor dan
ekspor harus bersertifikasi dan berlabel SNI
Berkaitan
dengan ekspor dan impor berlaku ketentuan:
a.Standar
komoditi ekspor tidak boleh rendah dari SNI
b.Standar
komoditi impor minimal harus memenuhi SNI dan standar nasional negara yang
bersangkuatan.
SNI
merupakan suatu usaha peningkatan mutu disamping menguntungkan konsumen juga
produsen tidak hanya konsumen dalam negeri juga konsumen luar negeri. Standar
yang berlaku di Indonesia sudah disesuaikan dengan standar mutu internasional.
Telah diadopsi ISO 9000 oleh 19-9000;1992.Dimana
ISO 9000 pada umumnnya:
a. Mengatur
semua kegiatan dari perusahaan dalam hal teknis, adminstrasi dan sumber daya
manusia yang mempengaruhi produk barang dan jasa
b. Memberikan
kepuasan kepada para pelanggan dan pemakai
akhir
c. Penerapan
konsep penghematan biaya dengan cara pelaksanaan pekerjaan yang wajar
d. Mengembangkan
dan melaksanakan sistem manajemen mutu untuk mencapai mutu perusahaan
Tujuan perlindungan
konsumen adalah mengangkat harkat kehidupan
konsumen, maka barang
Psal
8
(1) Dilarang
meperdagangkan barang atau jasa yang:
a. tidak
memenuhi standar yang disyaratakan undang-undang
b. tidak
sesuai berat bersih atau
netto dan jumlah sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau etiket barang.
c. tidak
sesuai ukuran, takaran, timbangan menurut ukuran yang sebenarnya
d. tidak
sesuai dengan jamian, kondisi keistimewaan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
e. tidak
sesuai dengan mutu, gaya,mode, pengolahan dan penggunaan sebagaimana yang
dinayatakan dalam label
f. tidak sesuai dengan janji yang dinayakan dalam
label
g. Tidak
mencantumkan kadaluarsa
h. Tidak
mengkituti ketentuan produksi secara halal
i.
Tidk memasang label dan
penjelasan barang
j.
Tidak mencantum petunjuk pengunaan barang
dan/ jasa
k. Tidak
mencantum pengunaan barang dalam bahasa Indonesia.
(2) Dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, bekas dan tercemar, rusak tanpa memberikan
informasi yang jelas
(3) Dilarang
memperdagangkan, bekas dan tercampur sediaan informasi dan
pangan yang rusak, cacat
(4) Pelaku
yang memperdangangkan
barang atau jasa sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat 1 dan 2 wajib menariknya dari
peredaran.
PP
No 15 tahun 1991 tentang Standar Nasional Inonesia (SNI) dan Kepres No. 12
tahun 1991 tentang penyusutan, Penerapan dan pengawasan SNI yang kemudian
ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Perdangangan Nomor 22/KP/II/95 mulai 1 Pebruari 1996 hanya ada
satu standar mutu nasional di Indonesia
yaitu Standar Nasional
Indonesia (SNI)[2]
Berkaitan dengan standar mutu barang, pelaku usaha memperdagangkan barang
dan/ atau jasa dalam rangka meningkatkan kwalitas dan mutu barang pelaku usaha
harus memperhatikan standar mutu barang yang ditetapkan pemerintah. Untuk
menentukan apakah barang yang beredar atau diperdagangkan sudah sesuai standar
mutu barang akan dapat dilihat pada barang tersebut tertera label SNI. Barang
yang berlabel SNI tidak hanya memberikan keuntungan kepada konsumen akan barang
yang berkwalitas juga memberi keuntungan kepada produsen karena barang yang
dipasarkan terjamin dari kwalitasnya.
b).HakI/Merek
Perlindungan mutu barang melalui :HAKI bertujuan agar konsumen tidak dirugikan atas
merek merek palsu.
Pasal 28 :
Merek terdaftar
mendapat perlindungan 10 tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang.
Pasal 35 ayat (1)
Pemilik merek terdaftar
setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk janggka waktu yang
sama.
Indikasi
geografis yaitu tanda yang mengindikasikan suatu barang sebagai berasal dari
satu wilayah satu anggota atau suatu daerah dalam wilayah tersebut. Tempat asal barang
merupakan suatu hal yang penting dari
reputasi barang karena kwalitas dan karakteristiknya.
Indikasisi geografis
diatur: UU no. 15 tahun 2001 tentang Merek
Pasal 56 ayat (1)
Indikasi geografis
dilindungi sebagai tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang yang karena
faktor lingkungan goegrfis, termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi
dari kedua faktor. Memberi ciri dan kwalitas
barang.
Pasal 59
Indikasi asal
dilindungi sebagai suatu tanda yang:
a. Memenuhi pasal 56 ayat (1) tetapi tidak didaftarkan
b.semata mata
menunjukan asal barang dan jasa
Perlindungan tapa batas adalah indikasi geografis
mengindentifikasi barang berasal dari suatu wilayah salah satu anggota dan asal
barang. Hak atas indikasi geografis diatur dalam UU No. 15 tahun 2001 tentang
merek
Pasal
56 (1) indikasi geografis merupakan tanda daerah asal barang/ jasa
Merek merupakan suatu tanda untuk membedakan suatu barang dengan barang
yang lain. Merek suatu barang ada yang terdaftar dan ada yang tidak terdaftar.
Merek yang dilindungi adalah merek yang sudah didaftarkan sesuai ketentuan
undang-undang tentang Merek. Dengan didaftarnya merek suatu barang barang akan
memberikan perlindungan terhadap konsumen terhadap barang-barang palsu atau
barang-barang yang beredar yang menyerupai merek asli. Barang yang mereknya
tidak terdaftar sesuai ketentuan HAKI tentulah barang-barang yang tidak
terjamin kwalitas dan mutu barangnya dan akhirnya merugikan kepada konsumen.
Selain itu dengan didaftarkannya merek suatu barang sudah pasti memberikan
perlindungan bagi pelaku usaha, bahwa pelaku usaha sudah memproduksi atau
memperdangangkan suatu barang yang berkwalitas.
Indikasi geografis suatu merupakan
penentuan asal daerah barang atau jasa. Barang atau jasa yang
berkwalitas sudah pasti barang atau jasa yang menunjukan indikasi geografisnya.
c.Daluarsa
Daluarsa menyebabkan turunnya nilai barang. Masa
daluarsa produk barang /tanggal, bulan dan tahun dicantumkan pada label
makanan. Pencantuman masa daluarsa dimaksudkan agar konsumen mendapat informasi yang jelas
mengenai barang yang dibeli oleh konsumen.
Produk yang sudah daluarsa tidak layak untuk digunakan karena membahayakan bagi
kesehatan konsumen. Pencantuman kadaluarsa pada suatu barang,
Contoh:
a. diproduk atau dikemas tanggal-----------
b. dijual
paling lama-------------
a. digunakan paling lama
tanggal……………….
b. Sebaiknya
digunakan pada tanggal………….
Pencantuman tanggal
kadaluarsa bermanfaat bagi konsumen, distributor, penjual maupun produsen itu
sendiri yaitu:
a.konsumen
dapat memberikan informasi yang jelas tentang keamanan produk
b.
distributor dan penjual makanan dapat mengatur baragnya
c.Produsen
dirangsang untuk mengiatkan pelaksanaan
Daluarsa
adalah batas akhir suatu makanan dapat
digunakan manusia
d. Kehalalan
Kehalalan penting bagi masyarakat Indonesia yang dominan
beragama Islam. Kehalalan produk
bentuk perlindungan konsumen bagi
masyarakat yang bergama Islam. Pasal 8 Surat Keputusan Mentri Pertanian Nomor
745/KPTS/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Pemasukan Daging
dari Luar Negeri menentukan bahwa:
Pemasukan danging untuk konsumesi umum atau
diperdangangkan harus berasal dari pemotongannya dilakukan menurut Hukum Islam
dan dinyatakan dalam sertifikat halal. Pengecualian terhadap hal ini ini hanya
berlaku bagi daging impor yang berupa dagng babi, untuk keperluan khusus dan
terbatas, serta danging untuk pakan hewan hewan yang dinyatakan secara tertulis
oleh pemilik atau pemakainya.[3]
Ketentuan hukum yang lainnya yang mengatur tentang
pencantuman kehalalan pada produk adalah Pasal 30 Undang-Undang Pangan sebagai
berikut:
(1)
Setiap orang yang
memproduksi atau memasukan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan pangan.
(2)
Label sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan sekurang-kurangnya:
a.
Nama produk
b.
Daftar bahan yang
digunakan
c.
Berat bersih atau
isi bersih
d.
Nama dan alamat
pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
e.
Keterangan tentang
halal
f.
Tanggal, bulan dan
tahun kadaluarsa
(3)
Selain yang
dicantumkan pada ayat (2) pemerintah dapat menerapkan keterangan lain yang
wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label pangan.
Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Pangan yaitu
Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 yang diundangkan pada tanggal 4 Nopember
1996,Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 99 dan Pasal 8 Keputusan Menteri Pertanian Nomor
745/KPTS/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Pemasukan Daging
dari luar negeri bahwa keterangan halal pada produk pangan penting bagi
masyarakat Indonesia yang mayoritas bergama Islam.Pencantuman halal hanya bagi
produk pangan yang masuk kewilayah Indonesia untuk diperdangangkan Selain itu pada Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan
Pencantuman
label halal ini bermaksud agar masyarakat Indonesia yang beragama Islam
terhindar dari makanan yang tidak halal/haram.
Salah
satu contoh pemberian informasi untuk kepentingan konsumen yang bergama Islam
adalah:
(1)
Pada wadah atau
bungkus makan yang diproduksi dalam
negeri ataupun impor yang mengandung bahan dari babi harus dicantumkan tanda
peringatan.
(2)
Tanda pringatan
yang dimaksud (1) harus berupa gambar
babi dan tulisan yang berbunyi mengandung babi ditulis dengan huruf
besar warna merah denga ukuran sekurang kurang univers medium corp 12 didalam
garis kotak persegi yang berwarna merah.[4]
e) Pengawasan Produk Impor
Pengawasan produk impor yang dilakukan pemerintah
dalam hal ini Menteri Perindustrian dan Perdangangan dalam rangka
memberikan perlindungan konsumen terhadap produk impor yang membahayakan
masyarakat.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 yaitu Undang-Undang Pangan pasal 36 menyatakan:
(1)
Setiap pangan yang
dimasukan kedalam wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana yang dimaksud undang-undang ini dan peraturan pelaksanaan
lainnya.
(2)
Setiap orang
dilarang memasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di
dalam wilayah Indonesia pangan yang dimasukan ke dalam wilayah Indonesia
apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan Pasal 36 tersebut diatas setiap pangan impor
yang masuk kewilayah Indonesia harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang pangan berserta peraturan pelaksanannya. Jika tidak memenuhi
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pangan, maka pangan tersebut dilarang
untuk masuk ke wilayah Indonesia.
Pasal 37
Terhadap pangan yang dimasukan ke dalam wilayah Indonesia
sebagaimana yang dimaksud pasal 36, pemerintah dapat menerapkan persyaratan:
a.
Pangan telah diuji
dan atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu, gizi oleh
instansi yang berwenang di negara asal;
b.
Pangan dilengkapi
dengan dokumen hasil pengujian dan atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan atau;
c.
Pangan terlebih
dahulu diuji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu dan atau
gizi sebelum peredarannya.
Berdasarkan Pasal 37 tersebut diatas produk Pangan yang
masuk ke wilayah Indonesia harus dilengkapi dokumen lulus uji
keamanan, mutu, gizi dari instansi negara asal dan sebelum beredar di wilayah
Indonesia harus dipeiksa dari segi
keamanan, mutu dan gizinya.
Perlindungan
terhadap konsumen tidak hanya terhadap produk pangan impor tetapi juga terhadap
pangan lokal.
Selain
undang-undang pangan yang memberikan perlindungan kepada konsumen dari segi
kesehatan adalah Undang-Undang Kesehatan.
Pasal 21
Undang-Undang Kesehatan menngatur:
(1)
Pengamanan dan
Minuman diselenggarakan untuk melindungi makanan dan minuman yang tidak
memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan;
(2) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda
atau label:
a.bahan
yang dipakai
b.komposisi
setiap tahun
c.
tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa
d.ketentuan
lainnya.
e.makanan dan minuman yang tidak
standar tidak memenuhi persyaratan.dilarang diedarkan, dimusnahkan dan disita.
(3)
Makanan dan minuman
yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan atau membahayakan
kesehatan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik
dari peredaran dan disita untuk dimusnahkan sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
(4)
Ketentuan mengenai
pengamanan makanan dan minuman sebagaimana yang dimaksud ayat 1,2 dan 3
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Kesehatan tersebut diatas disimpulkan
bahwa makan dan minuman yang beredar dalam masyarakar harus memenuhi standar
dan persyaratan kesehatan. Makanan dan minuman yang tidak memenihu standar dan
persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Kesehatan, maka tidak boleh beredar
dan jika beredar harus ditarik dari peredarannya untuk dimusnahkan.
Dengan adanya ketentuan standar dan persyaratan makanan dan minuman yang
beredar dalam masyarakat harus sesuai undang-undang kesehatan berarti
undang-undang kesehatan telah memberikan perlindungan kesehatan terhadap
konsumen.
Ketentuan
perjanjian Internasional yang ditetapkan dalam GATT/WTO telah sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang pangan dan Undang-Undang Kesehatan.
BAB V
KESIMPULAN
Tujuan hukum perlindungan konsumen adalah memberikan
perlindungan hukum terhadap konsumen
terhadap pemakaian barang dan atau jasa yang beredar dalam masyarakat
yang dipasarkan oleh pelaku usaha. Dalam peredaran barang dan atau jasa
tersebut tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbuatan yang menimbulkan
kerugian kepada konsumen.Untuk mencegah terjadi hal-hal yang dapat merugikan
konsumen akibat aktifitas yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam memproduksi
barang dan atau jasa, undang-undang perlindungan mengatur tentang perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha
bahwa pelaku usaha dalam memperdangangan barang dan /atau
jasa harus harus memberikan informasi yang jelas tentang pengunaan barang dan
atau jasa, mencantumkan tanggal kadaluarsanya, mutu barang, bersikap jujur
mengimpormasikan komposisi barang, promosi/iklan barang dan /atau jasa
bahwa makan dan minuman yang beredar dalam masyarakar harus memenuhi
standar dan persyaratan kesehatan. Makanan dan minuman yang tidak memenihu
standar dan persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Kesehatan, maka tidak
boleh beredar dan jika beredar harus ditarik dari peredarannya untuk
dimusnahkan.
Dengan adanya ketentuan standar dan persyaratan makanan dan minuman yang
beredar dalam masyarakat harus sesuai undang-undang kesehatan berarti
undang-undang kesehatan telah memberikan perlindungan kesehatan terhadap
konsumen.
SARAN
Pengawasan produk impor yang dilakukan pemerintah
dalam hal ini Menteri Perindustrian dan Perdangangan dalam rangka
memberikan perlindungan konsumen terhadap produk impor yang membahayakan
masyarakat.
Dan sebagai konsumen hendaknya harus cermat dalam memilih
barang yang hendak dikonsumsi namun apabila peristiwa terjadi seperti adanya
suatu barang yang tidak memenuhi standar kelayakan dan melanggar ketentuan dari
undang-undang hendaknya masyarakat sadar akan adanya badan-badan hukum yang
melindungi kepentingan konsumen agar tidak dirugikan dan masyarakat harus
memahami hukum mengaenai perlindungan konsumen sehingga kesewenag-wenangan yang
merugikan konsume tidak akan terjadi.
E.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi Miru, dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 110.
A. Z. Nasution,
Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media:
2002), hlm 16.
Husin Syawali, Neni Sri Imamyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit
CV. Mandar Majis, Cetakan I, Tahun 2000, hlm 42.
Sudaryatmo, Hukum
& Advokasi Konsumen, Cetakan Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), hlm 14.
Sudaryatmo, Hukum
& Advokasi Konsumen, Cetakan Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), hlm 84.
Yusuf Shofie, Perlindungan
Konsumen dan lnstrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), him 251.
Lain-lain :
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
180/Men.KeslPer/IV/1985 tentang Makanan Kadaluarsa.
Pasal 4, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 180IMen.Kes/Per/ IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa, tanggal 10
April 1985.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1996
Tentang Pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar