BAB I
Pendahuluan
Latar belakang
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia.
Sehingga Keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga
bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
Sedangkan definisi hukum kekeluargaan
secara garis besar adalah hukum yang bersumber pada pertalian kekeluargaan.
Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi
karena pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan.
Hubungan keluarga ini sangat penting karena ada sangkut paut nya dengan hubungan anak dan orang tua,
hukum waris, perwalian dan pengampuan.
Perkawinan sebagai peristiwa hukum tentu
memiliki akibat hukum. Perkawinan di Indonesia mempunyai akibat yaitu timbulnya
hubungan antara suami istri, timbulnya harta benda dalam perkawinan, dan
timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Hubungan antara anak dan orangtua
akan timbul sejak dilahirkan. Anak yang memiliki hubungan sah menurut hukum
akan memiliki hak yang dilindungi. Namun jika diperlukan dalam kasus tertentu
bayi dalam janin bisa dianggap subjek hukum. Berlakunya seorang manusia sebagai
subjek hukum dimulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat seorang
meninggal dunia.
Namun “Anak yang ada dalam kandungan ibunya dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana kepentingan di anak menghendaki”.
Pengertian hukum keluarga
Istilah
hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah
keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan
dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat. Ali
affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan
ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,
perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Adapun
pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
a. Van Apeldoorn
Hukum keluarga adalah peraturan
hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.
b.
C.S.T Kansil
Hukum
keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari
pergaulan hidup kekeluargaan.
c. R. Subekti
Hukum
keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan
hubungan
hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
Sumber
Hukum Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum
keluarga tertulis adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan sumber hukum tak
tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat.
Sumber hukum keluarga tertulis,
dikemukakan berikut ini :
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
- Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdehuwelijk), Stb. 1898 Nomor 158.
- Ordonasi perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon, Stb.1933 Nomor 74.
- UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam).
- UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
- PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Selain dari yang ke-7 ini yang menjadi
sumber hukum keluarga tertulis adalah Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini hanya berlaku
bagi orang-orang yang beragama Islam saja.
Asas-Asas Hukum keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor
1 tahun 1974 dirumuskan beberapa asas yang cukup prinsip dalam Hukum Keluarga,
yaitu:
a) Asas monogamy, asas ini mengandung
makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang istri
hanya boleh mempunyai seorang suami.
b) Asas konsensual, yakni asas yang
mengandung makna bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat
persetujuan atau consensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan
perkawinan.
c) Asas persatuan
bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan harta benda
yang dimilikinya. (Pasal 119 KUHPerdata).
d) Asas
proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam
pergaulan masyarakat. ( Pasal
31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan).
e) Asas tak dapat
dibagi-bagi,yaitu suatu asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya
terdapat seorang wali.
BAB II
Permasalahan
Hak-hak
dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang Undang pokok perkawinan No.1 tahun
1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua.
Ketentuan hukum tentang kekuasaan orang tua
dapat diperoleh dalam pasal 298 sampai 329 BW., terbagi dalam 3 bagian:
1. Kekuasan orang tua
terhadap diri anak ( pasal 298-306 BW )
2. Kekuasan orang tua
terhadap harta benda anak (PasaI 307-319 BW)
3. Hubungan orang tua dan
anak tanpa memandang umur anak dan tak terbatas pada orang tua itu saja, tetapi
meliputi pula nenek pihak ayah dan ibu (PasaI 320-329 BW).
Kekuasaan
orang tua adalah kekuasaan, kewajiban-kewajiban terhadap anak mereka yang sah
yang masih dibawah umur sampai anak tersebut dewasa dan juga sampai anak
tersebut melangsungkan perkawinan. Kekuasaan dan kewajiban menyangkut tentang
diri pribadi ataupun mengenai harta kekayaan selama perkawinan berlangsung.
Didalam menjalankan kewajiban, jika orang tua tersebut menjalankan tugasnya
tidak secara wajar dan tidak sebagaimana mestinya maka orang tua tersebut dapat
dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua demi untuk kepentingan
anak-anak.
Menurut
pasal 299 BW selama perkawinan berlangsung maka selama anak-anak masih dibawah
umur adalah berada dibawah kekuasaan orang tua. Selama salah seorang dari ayah
dan ibu belum atau tidak dipecat dari kekuasaan orang tua.
Prinsip-prinsip Kekuasaan Orang Tua :
1.
Kekuasaan itu adalah
kekuasaan kedua orang tua yang bersifat kolektif
2.
Kekuasaan itu hanya ada
selama perkawinan berlangsung
3.
Kekuasaan itu berlangsung
selama kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua orangtua terhadap anak-anaknya
rnasih dilaksanakan secara wajar.
Menurut
pasal 300 ayat 1 pada dasarnya kekuasaan dilakukan oleh suami. Dalam hal orang
tua bercerai kekuasaan rnenjadi kekuasaan perwalian. Di dalam Undang-undang
sebenarnya tidak memberikan perincian, maksud disini meliputi semua bidang si
anak seperti memberi nafkah, mengenai harta kekayaan si anak dan menikmati
hasil dari kekayaan si anak.
Dalam
hal bapak tidak boleh melakukan kekuasaan orang tua itu maka ibulah yang
melakukannya (pasal 300 ayat 2 BW). Sedang jika si ibu tidak dapat rnelakukan
kekuasaan orang tua itu, maka pengadilanlah yang akan rnenentukan atau
mengangkat seorang wali (Pasal 300 ayat 3 BW). Jadi sekalipun asasnya itu sama,
akan tetapi sesungguhnya hal itu hanya merupakan kesamaan diatas kertas saja,
sebab menurut pasal 300 ayat 1 BW yang melakukan kekuasaan orang tua itu adalah
bapak.
Ketentuan
ini diadakan oleh karena ada kekhawatiran, bahwa tidak akan ada persesuaian pendapatan
antara bapak dan ibu, sehingga akhirnya hakimlah yang harus turut campur. Ikut
campur pihak ketiga ini dirasakan kurang baik. Maka dari itu ditentukan bahwa
bapaklah yang dapat menentukan tentang pendidikan dan memberikan nafkah kepada
anaknya. Terhadap anak-anak luar kawin wajar tidak ada kekuasaan orang tua,
sebab tidak ada perkawinan ( pasal 306 BW ).
Dalam
lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW)
yang sebenarnya merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, padahal sistem
hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan (muamalat). Perwalian
(Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua.
Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali
saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal
mana suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut
meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya
menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut
undang-undang (Wettelijke Voogdij).
Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah
perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan
mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan
atau karena jabatanya (datieve voogdij). Tetapi ada juga kemungkinan, seorang
ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang wali bagi
anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair
voogdij).
Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus
menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan
tertentu menurut undang-undang dibenarkan untuk dibebaskan dari pengangkatan
tersebut.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan oleh penulis, maka
penulis dapat mengambil rumusan dari permasalahan mengenai kekuasaan orang tua
dan perwalian yaitu :
1.
Bagaimana
kekuasaan orang tua terhadap harta benda dan diri anak menurut kitab
undang-undang hukum perdata dan menurut undang-undang pokok perkawinan no.1
tahun 1974 ?
2.
Apa
yang menyebabkan terjadinya perwalian dan Bagaimana ketentuan perwalian di atur
menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan kitab
undang-undang hukum perdata ?
BAB III
Pembahasan
1.
Kekuasaan Orang Tua Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata
Kekuasaan
orang tua menurut Undang-undang hukum perdata meliputi 3 bagian yaitu:
Kekuasaan orang tua terhadap diri anak
Pasal 299 BW menentukan bahwa selama perkawinan
orang tua masih berlangsung, maka anak-anak berada dalam kekuasaan orang tua
sampai anak itu menjadi dewasa, selama kekuasaan orang tuanya itu tidak dicabut
(ontzet) atau dibebaskan (ontheving). Dengan demikian kekuasan orang tua itu
mulai berlaku semenjak anaknya lahir atau semenjak pengesahan anak, dan akan
berakhir apabila anak, menjadi dewasa, kecuali apabila perkawinan orang tua itu
bubar atau kekuasaannya dicabut atau dibebaskan.
Apabila kita bertitik tolak dari pasal 299 BW
diatas, maka sesungguhnya dari pasal itu dapat disimpulkan 3 asas yaitu :
a) Kekuasaan orang tua
berada pada kedua orang tua
Kekuasaan orang tua itu dimiliki oleh kedua
orang tua, yaitu ayah dan ibu, tetapi lazimnya dilakukan oleh ayah, kecuali
jika ia dicabut atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua, atau berada dalam
keadaan perpisahan meja dan ranjang. Ibu baru dapat menjalankan kekuasaan orang
tua, apabila bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti karena sakit keras,
sakit ingatan,sedang berpergian, selama mereka tidak berada dalam keadaan
perpisahan meja dan ranjang. Mana kala ibu juga tidak mampu melakukannya, maka
oleh pengadilan negeri diangkatlah seorang wali.
b) Kekuasaan orang tua
hanya ada selama perkawinan mereka, apabila perkawinan bubar maka kekuasaan
orang tua menjadi hilang.
Sebagaimana telah diketahui bahwa apabila
perkawinan bubar, maka berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap anak yang masih
dibawah umur. Hal ini tiada lain dari konsekuensi menunjukkan asas bahwa
kekuasaan orang tua hanya ada selama ada perkawinan orang tua itu sendiri.
Dengan perkataan lain apabila pada saat bubarnya
perkawinan masih ada anak yang belum dewasa, maka pada saat itu kekuasaan orang
tua menjadi perwalian yang akan ditunjuk berdasarkan kepentingan anak yang
masih belum dewasa.
c) Orang tua dapat dicabut
kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas alasan-alasan tertentu.
Di Indonesia pembatasan terhadap kekuasaan orang
tua yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu adalah pencabutan dan
pembebasan kekuasaan orang tua. Di Indonesia karena belum ada hakim khusus
untuk anak-anak, maka baik pencabutan ataupun pembebasan kekuasaan orang tua
dimintakan kepada hakim perdata. Dan pencabutan itu dapat dilakukan bukan saja
terhadap salah satu dari mereka, melainkan dapat keduanya baik terhadap salah
seorang atau terhadap semua anak-anak.
Kekuasaan orang tua
terhadap harta benda anak
a)
Pengurusan
Pengurusan
ada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, yang pada umumnya pada bapak
dengan maksud agar anak itu diwakili dalam segala tindakannya yang masih
dianggap tidak cakap. Pasal 307 BW mengatakan, bahwa siapa yang melakukan
kekuasaan orang tua atas anak, mempunyai hak pengurusan atas harta benda anak
itu. Perbuatan diatas membawa konsekuensi untuk memberikan perhitungan dan
pertanggungjawaban. Hal ini sama dengan hal-hal didalam perwalian, akan tetapi
dalam bidang perwalian anak tidak mempunyai hak hipotik terhadap barang-barang
ayahnya, yang berbeda dengan diatur dalam perwalian.
Pasal
309 BW mengatakan, penguasaan oleh orang tua hanya dapat dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan tentang pemindahan barang-barang anak yang masih
kedalam hal perwalian. Pelaksanaan pengurusan itu terikat kepada
ketentuan-ketentuan tentang perwalian dalam menjalankan penguasaan atas
barang-barang anak itu. Baru kalau pelaksanaan pengurusan itu tidak ada karena
suatu sebab, maka pengurusan itu jatuh pada orang tua yang melakukan kekuasaan
orang tua.
b)
Menikmati Hasil
Pasal
311 ayat 1 BW mengatakan, bahwa bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang
tua atau perwalian mendapat penikmatan hasil atas harta benda anak-anak itu.
Ayat 2 menentukan bahwa jika kedua orang tua dihentikan dari kekuasaan orang
tua atau perwalian, maka kedua orang tua yang berikutnya yang akan memperoleh
kenikmatan hasil atas kekayaan anak-anak itu.
Pasal
311 ayat 3 BW mengatakan bahwa jika salah seorang orang tua itu meninggal dunia
atau dicabut dari kekuasaan orang tua atau perwalian dan kemudian orang tua
yang berikutnya yang melakukan kekuasaan orang tua dihentikan atau dibebaskan
maka penghentian atau pembebasan itu tidak mempengaruhi kenikmatan hasilnya.
Penikmatan keuntungan adalah suatu hak pribadi yang tidak dapat dipindah
tangankan kepada orang lain dan merupakan suatu hak atas harta benda anak yang
diperoleh orang tua, sedang isinya adalah apa yang dihasilkan oleh harta benda
anak itu, sesudah dikurangi dengan bebanbeban yang melekat pada harta benda
itu.
Kekuasaan Orang Tua Menurut Undang-undang Pokok
Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Apabila
suatu perkawinan memperoleh keturunan, maka perkawinan tersebut tidak hanya
menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri yang bersangkutan, akan
tetapi juga menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri sebagai orang tua
dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anak ini
dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 diatur dalam pasal 45 sampai 49. Dalam
pasal 45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu
putus.
Disamping
kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua juga menguasai
anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan
perkawinan. Kekuasaan orang tua ini meliputi juga untuk mewakili anak
yang belum dewasa ini dalam melakukan perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan
(pasal 47).
Meskipun
demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak
atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya ( pasal 48 ). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua
terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali.
Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya ini dilakukan
dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang lain keluarga
dalam garis turns keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau
penjabat yang berwenang.
Kekuasaan
orangtua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun
orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap kewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (pasal 49). Sebaliknya,
anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai
kewajiban.
Kewajiban
anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati
kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa ia
wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya.
Bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis
lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya (pasal 46).
a) Syarat-syarat pencabutan kekuasaan orang tua
i. Permintaannya harus
diajukan oleh:
·
Orang tua yang lain
·
Keluarga saudara atau periparan sampai derajat keempat
·
Dewan perwalian
·
Kejaksaan
ii. Pencabutan ini hanya
dalam hal-hat tertentu yaitu dalam hal-hal :
·
Penyalah gunaan kekuasaan orang tua. Seperti sangat mengabaikan
kewajiban untuk pemberian pendidikan dan pemeliharaan.
·
Tingkah laku yang jelek, yang terserah kepada hakim untuk
menentukan batasbatasnya
·
Bila mana dijatuhi hukuman oleh karena melakukan kejahatan yang
sengaja dilakukan bersama-sama dengan anak itu.
·
Bila mana dijatuhi hukum karena suatu kejahatan yang dilakukan
terhadap anak itu
·
Dijatuhi hukuman badan lebih dari 2 tahun lamanya.
Akibat
pemecatan kekuasaan orang tua, yang kekuasaannya dipecat mempunyai kewajiban
untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya yaitu untuk penghidupan dan
pendidikan anak-anak. Orang tua yang dipecat kekuasaannya tetap harus
menyerahkan sejumlah biaya tertentu kepada dewan perwalian yang jumlahnya
ditetapkan oleh hakim. Orang tua yang dipecat dapat kembali dalam kedudukannya
atas kemauan sendiri atau atas tuntutan pihak kejasaan. Orang tua yang memegang
kekuasaan dapat meminta supaya dilepaskan dari kekuasaan orang tua tersebut
jika ia merasa tidak mampu untuk menjalankan tugasnya dan kepentingan si anak
tidak dipenuhi. Dengan pelepasan itu dasar untuk mengajukan permohonan
kekuasaan adalah ketidakmampuan orang tua untuk memelihara dan mendidik
anaknya.
b) Berakhirnya kekuasaan orang tua pada kondisi
sebagai berikut:
i.
Meninggalnya orang tua tersebut
ii.
Putusnya perkawinan kedua orang tua
iii.
Di pecat orang tua dan kekuasaan orang tua
iv.
Dilepaskannya orang tua dan kekuasaan orang tua
v.
Sampai anak berusia dewasa
vi.
Kawinnya sianak
c) Pada pelepasan yang berhak mengajukan tuntutan
adalah:
i. Dewan perwalian
ii. Penuntut umum
d) Pemecatan dilakukan atas permohonan sebagai
berikut
i.
Orang tua yang tidak memegang kekuasaan orang tua
ii.
Salah seorang dan keluarga sedarah dan anak itu sampai derajat yang
keempat
iii.
Dewan perwalian
iv.
Penuntut umum
2.
Ketentuan perwalian menurut KUH Perdata
Seperti
diketahui bahwa dalam KUHPerdata ada juga disebutkan pengertian dari Perwalian
itu, yaitu pada pasal 330 ayat (3) menyatakan :
“Mereka
yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat,
kelima dan keenam bab ini”.
Perwalian pada umumnya
Di dalam sistem perwalian menurut KUH Perdata ada dikenal
beberapa asas, yakni :
- Asas tak dapat dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )
Pada
tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331
KUHPerdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua
hal, yaitu :
· Jika perwalian itu dilakukan oleh
ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka
kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, pasal 351
KUHPerdata.
· Jika sampai ditunjuk pelaksanaan
pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige diluar
Indonesia didasarkan pasal 361 KUHPerdata.
a) Asas persetujuan dari keluarga.
Keluarga
harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka
tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau
tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524
KUH Perdata
b) Orang-orang yang dapat ditunjuk
sebagai Wali
Ada 3
(tiga) macam perwalian, yaitu:
· Perwalian oleh suami atau isteri
yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354 KUHPerdata.
Pasal 345
KUH Perdata menyatakan :
” Apabila
salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap
anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang
hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan
orang tuanya.”
Namun pada
pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah
disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang.
Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah
maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak
tersebut.
Perwalian
yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.
Pasal 355
ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Masing-masing
orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang
anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika
kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena
penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh
orang tua yang lain”
Dengan
kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan
orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.
· Perwalian yang diangkat oleh Hakim.
Pasal 359
KUH Perdata menentukan :
“Semua minderjarige yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan
ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”.
Orang-orang
yang berwenang menjadi Wali
1. Wewenang menjadi wali
Pada pasa
l332 b (1) KUH Perdata menyatakan “perempuan bersuami tidak boleh menerima
perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya”.
Akan
tetapi jika suami tidak memberikan izin maka dalam pasal 332 b (2) KUHPerdata
dapat disimpulkan bahwa bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan
dengan kekuasaan dari hakim.
Selanjutnya
pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata menyatakan :
“Apabila
si suami telah memberikan bantuan atau izin itu atau apabila ia kawin dengan
perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi
menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima
perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak
melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa
pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun
bertanggung jawab pula.”
Wewenang
Badan Hukum Menjadi Wali
Biasanya
kewenangan perhimpunan, yayasan dan lembaga-lembaga sebagai wali adalah
menunjukkan bapak atau ibu, maka dalam pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan
bahwa badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali. Tetapi hal ini akan
berbeda kalau perwalian itu diperintahkan oleh pengadilan.
Pasal 365
a (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “dalam hal sebuah badan hukum diserahi
perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia
memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan”.
Sesungguhnya
tidak hanya panitera pengadilan saja yang wajib memberitahukan hal itu tetapi
juga pengurus badan hukum tersebut dan sanksi akan dipecat sebagai wali kalau
kewajiban memberitahukan itu tidak dilaksanakan. Sedangkan kejaksaan atau
seorang pegawai yang ditunjuknya, demikianpula dewan perwalian, sewaktu-waktu
dapat memeriksa rumah dan tempat perawatan anak-anak tersebut.
- Yang tidak mempunyai kewajiban menerima pengangkatan menjadi Wali
a) Seorang yang dianggap sebagai
seorang wali adalah salah seorang orang tua.
b) Seorang isteri yang diangkat menjadi
wali.
c) Perkumpulan, yayasan atau lembaga
sosial lainnya kecuali kalau perwalian itu diberikan atau diperintahkan
kepadanya atau permohonannya sendiri atau atas pertanyaan mereka sendiri.
- Yang dapat meminta pembebsan untuk diangkat sebagai wali.
Dalam pasal 377 (1) KUH Perdata, menyebutkan :
a) Mereka yang akan melakukan jawatan
negara berada diluar Indonesia.
b) Anggota tentara darat dan laut dalam
menunaikan tugasnya.
c) Mereka yang akan melakukan jabatan
umum yang terus menerus atau untuk suatu waktu tertentu harus berada di luar
propinsi.
d) Mereka yang telah berusia di atas 60
tahun.
e) Mereka yang terganggu oleh suatu
penyakit yang lama akan sembuh.
f) Mereka yang tidak mempunyai hubungan
keluarga sedarah atau semenda dengan anak yang dimaksud, padahal dalam daerah
hukum tempat perwalian itu ditugaskan atau diperintahkan masih ada keluarga
sedarah atau semenda yang mampu menjalankan tugas perwalian itu.
Menurut pasal 377 (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa “si
bapak dan si ibu tidak boleh meminta supaya dilepaskan dari perwalian anak-anak
mereka, karena salah satu alasan tersebut di atas”.
Menurut
pasal 379 KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan orang yang digolongkan atau
tidak boleh menjadi wali, yaitu :
- Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).
- Mereka yang belum dewasa (minderjarigen)
- Mereka yang berada dibawah pengampuan.
- Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan.
- Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.
Mulainya Perwalian
Dalam
pasal 331a KUHPerdata, disebutkan
- Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.
- Jika seorang willi diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meniggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
- Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.
Berdasarkan
pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali badan hukum harus
mengangkat sumpah dimuka balai harta peninggalan.
Wewenang Wali
- Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian).
Dalam
pasal 383 (1) KUH Perdata,
“Setiap
wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si
belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam
segala tindakan-tindakan.”
Artinya
wali bertanggung jawab atas semua tindakan anak yang menjadi perwaliannya.
Dalam
ayat 2 pasal tersebut ditentukan , “si belum dewasa harus menghormati walinya.”
Artinya si anak yang memperoleh perwalian berkewajiban menghormati si walinya.
- Pengurusan dari Wali
Pasal
383 (1) KUH Perdata juga menyebutkan :
“…
pun ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan perdata.”
Namun
demikian pada keadaan tertentu pupil dapat bertindak sendiri atau didampingi
oleh walinya, misalnya dalam hal pupil itu akan menikah.
Barang-barang yang termasuk
pengawasan wali.
Menurut
pasal 385 (2) KUH Perdata, barang-barang tersebut adalah berupa barang-barang
yang dihadiahkan atau diwariskan kepada pupil dengan ketentuan barang tersebut
akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa pengurus.
Tugas dan Kewajiban Wali
Adapun
kewajiban wali adalah :
- Kewajiban memberitahukan kepada Balai Hart Peninggalan.
Pasal 368 KUH Perdata apabjla
kewajjban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa
wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
- Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
- Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (pasa1335 KUH Perdata).
- Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan. (pasal 338 KUH Perdata).
- Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (pasal 389 KUH Perdata)
- Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (pasal 392 KUH Perdata)
- Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.
Berakhirnya
Perwalian
Berakhirnya
perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :
- dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
- Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
- Matinya si anak.
- Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
- Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.
- Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
- Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
- Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata).
Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih
mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri.
Alasan
lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam pasal 382 KUH Perdata
menyatakan :
- Jika wali berkelakuan buruk.
- Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan kecakapannya.
- Jika wali dalam keadaan pailit.
- Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut.
- Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
- Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 368 KUHPerdata).
- Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 372 KUHPerdata).
Ketentuan perwalian menurut UU No.1
tahun 1974.
Menurut
ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 50 disebutkan :
- Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
- Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
- Syarat-syarat Perwalian.
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.1
tahun 1974 menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian
adalah:
- Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
- Anak-anak yang belum kawin.
- Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
- Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
- Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut
UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :
- Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.
- Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
- Kewajiban Wali
Menurut
pasal 51 Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan:
- Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
- Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut .
- Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
- Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali
berlaku pasal 48 Undang-undang ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak
diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan
kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
Berakhirnya Perwalian
Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut
dari kekuasaannya , dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang
ini, yaitu dalam hal :
- Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.
- Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk
orang lain sebagai (pasal 53 (2) UU No.1 tahun 1974).
Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian pada si anak
maka menurut ketentuan pasal 54 UU No.1 tahun 1974 menyatakan, wali yang telah
menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya,
atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan,
yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB 4
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Kekuasaan orangtua
terbagi 3 bagian:
- Kekuasaan orangtua terhadap diri anak
- Kekuasaan orangtua terhadap harta benda anak
- Tentang kewajiban timbal balik antara orangtua dan keluarga sedarah dengan anak.
Kewajiban anak yang utama terhadap orang
tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya.
Dan bila mana anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya dengan
sebaik-baiknya menurut kemampuannya.
Kekuasaan
orang tua yang dipecat dikarenakan orang tua tidak menjalankan hak dan
kewajiban sebagaimana mestinya.
2. Dari uraian-uraian tersebut diatas,
jelas terlihat bahwa pada prinsipnya terdapat Dimana menurut KUHPerdata
anak-anak yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum berumur 21 tahun
atau belum kawin (pasal 330 ayat 3 KUHPerdata) sedangkan menurut UU No.1 tahun
1974 yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum mecapai umur 18 tahun
atau belum kawin (pasal 50 ayat 1).
Dalam hal
pengangkatan wali didalam KUHPerdata ada dibedakan tiga jenis perwalian, yaitu
:
· Perwalian dari suami atau isteri
yang hidup lebih lama(pasal 345-354).
· Perwalian yang ditunjuk oleh bapak
atau ibu dengan wasiat atau akta tersendiri (pasal 355 ayat 1).
· Perwalian yang diangkat oleh hakim
(pasal 359).
Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan: Perwalian hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua
yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat
wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (pasal 51 ayat 1 UU No. 1
tahun 1974).
Walaupun
terdapat perbedaan-perbedaan, untuk orang yang beragama Islam saat ini yang
kita pakai sebagai undang-undang di Indonesia adalah ketentuan UU No.1 tahun
1974 tentang perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata
khusus dipergunakan hanya sebagai pedoman hukum bukan sebagai undang-undang (asas
Lex Spesialis Derogat Lex Generalis)
SARAN
1. Menurut saya hendaknya Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah
menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana
anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya
menurut kemampuannya. Dan bila terjadi perselisihan hendaknya diselesaikan
secara musyawarah terlebih dahulu sebelum memutuskan melalui ranah hukum, dan
sebagai warga Negara Indonesia kita berhak untuk memilih sumber hukum yang akan
kita pakai dalam suatu perbuatan hukum misalnya dalam hal perkawinan baik itu
menggunakan KUHPerdata atau melalui UU perkawinan hal itu juga berlaku terhadap
kekuasaan orangtua terhadap anaknya.
Dengan demikian semoga
masyarakat lebih mengetahui tentang hak-hak kekuasaan orang tua terhadap anak
dan juga perwalian dalam hal perkawinan.
2. Perwalian juga disebut sebagai
pengganti dari tugas orang tua anak yang bertindak sebagai pengawasan bagi anak
dan memeliharanya serta melindungi hartanya dengan sebaik-baiknya. Pengasuhan
anak merupakan upaya pemeliharaan anak baik dari segi pemeliharaan anak dari
perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh anak serta memberi pendidikan yang
layak kepada anak.
Keluarga mempunyai peran penting
untuk membentuk karakter anak yang baik, bermoral dan bertabat. Keluarga juga
harus memberikan pengawasan yang layak kepada anak ,agar anak tidak terkena
kedalam hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh hukum.
Dan walaupun terdapat perbedaan-perbedaan mengenai
penggunaan hukum dalam perwalian, untuk orang yang beragama Islam saat ini yang
kita pakai sebagai undang-undang di Indonesia adalah ketentuan UU No.1 tahun
1974 tentang perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata
khusus dipergunakan hanya sebagai pedoman hukum bukan sebagai undang-undang (asas
Lex Spesialis Derogat Lex Generalis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar