Makalah ilmu perundang-undangan
“Analisis mengenai muatan dan peraturan perundang-undangan”
Di susun oleh :
1.
Farid
Hikmatullah
2.
Muhammad
salim
3.
Suroto
4.
Rahmat
maulana
5.
Sugiarto
6.
Natalie
Kelas : 3 C (Sore)
Dosen
Pembimbing : baginda harahap
Jakarta 2013
KATA
PENGANTAR
segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul ” muatan perundang-undangan dan peraturan
perundang-undangan”.Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata
penulis berharap kerangka acuan makalah ini dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan kepada para pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khusunya.
Jakarta,
november 2013
Daftar isi
Pembuka
Halaman
Judul
Kata
Pengantar
1
Daftar
isi
2
Latar
Belakang
3
Rumusan
Masalah
4
Tujuan
Penulisan
5
Isi
Makalah
Kajian
Teori
6
Muatan
peraturan
perundang-undangan
6
Pembentukan
peraturan
perundang-undangan
11
Kesimpulan
dan Saran
Kesimpulan
14
Saran
14
Daftar
pustaka
15
Latar
Belakang
Mengingat
akan pentingnya arti sebuah pengaturan yang merupakan dasar dari pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam mengatur hubungan antar Negara dan warga
Negara. peraturan perundang-undangan juga dapat dipahami sebagai bagian
dari social contrct (kontrak social) yang memuat aturan main dalam berbangsa
dan bernegara.serta satu-satunya peraturan yang di buat untuk memberikan
batasan-batasan tertentu terhadaap jalananya pemerinetahan.sehingga dengan hal
itu merupkan hal yang pentinglah kiranya bagi kita untuk mempeljari dan
memahami semua hal yang berhubungan dengan konstitusi dan
perundang-undangan.oleh kerena itu kami akan mencoba memeberikan sedikit
gambaran tentang konstitusi ini secara umum dan bagaimana peranannya dalam
sebuah Negara.
Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini kami memberikan suatu gambaran yang jelas tentang muatan peraturan
perundang-undangan dalam suatu negara yang dijalankan melalui penegakan
hukum dibawahnya,bagaimana keberadaan konstitusi ini dalam sebuah
negara,yang mana dalam prakteknya di indonesia peraturan perundang-undangan ini
pernah mangalami amandemen,tentang demokrasi di negara hukum dan upaya
menumbuhkan kesadaran penegakan hukum.
Tujuan
Penulisan
Adapun
yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca sekalian
mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang setiap negara memilikinya termasuk juga negara
kita indonesia.yang mana dengan memiliki pemahaman tentang konstitusi dan
perundang-undangan ini kita sebagi generasi penerus bangsa akan mempunyai arah
dan pedoman yang jelas dalam melanjutkan pembangunan ini di masa yang akan
datang yang pada prinsipnya semua agenda penting kenegaraan, serta– prinsip
dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, telah tercoverdalam
konstitusi dan dilaksanakandalam bentuk perundang-undangan.untuk itu kami rasa
perlu dalam makalah ini mengajak rekan-rekan sekalian untuk mempelari semua hal
yang berhubungan dengan konstitusi ini dan menumbuhkan kesadaran berkonstitusi
kita sebagai warga Negara.
Kajian
Teori
Muatan
peraturan perundang-undangan, tolok ukurnya hanya dapat dikonsepkan secara
umum. Semakin tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin
abstrak dan mendasar materi muatannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah
kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula
materi muatannya. Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan
tentang materi muatan peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan
salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauannya.
Pasal
8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi muatan yang harus diatur
dengan undang-undang berisi hal-hal yang:
1.
Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-U[1]ndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
a.
Hak-hak asasi manusia
b.
Hak dan kewajiban warga negara
c.
Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara
d.
Wilayah negara dan pembagian daerah
e.
Kewarganegaraan dan kependudukan
f.
Keuangan Negara
2.
Diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-undang.
Sedangkan
materi muatan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang sama dengan materi
muatan undang-undang (Pasal 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004). Pasal 10
menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian sesuai dengan tingkat
hierarkinya, bahwa Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh
undang-undang atau materi yang melaksanakan Peraturan Pemerintah (Pasal 11).
Mengenai Peraturan Derah dinyatakan dalam Pasal 12 bahwa materi muatan Peraturan
Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi
muatan peraturan perundang-undangan juga mengandung asas-asas yang harus ada
dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Asas-asas dan suatu peraturan
perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya
itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan
perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan yang paling luas jangkauannya.
Pasal
8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi muatan yang harus diatur
dengan undang-undang berisi hal-hal yang:
1.
Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang meliputi:
a.
Hak-hak asasi manusia;
tersebut
sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.
Ayat (1) sebagai berikut, Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung
asas pengayoman, kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka
tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
ketertiban dan kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. Sedangkan ayat (2), menyatakan “Selain asas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain
sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.
Apa
yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan peraturan
perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1)
sebagai berikut:
1.
Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
2.
Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
3.
Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
4.
Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.
5.
Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6.
Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
7.
Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
kecuali.
8.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
9.
Asas ketertiban dan kepastian hukum; Bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
10.
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan negara.
Penjelasan
Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara
lain:
1.
Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
2.
Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
Selain
kedua ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tersebut, pembentukan peraturan
perundang-undangan juga harus berpedoman, serta bersumber dan berdasar pada
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dirumuskan sebagai
berikut, Pasal 2 berbunyi, “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum
Negara”. Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) berbunyi, “Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan”. Kedua pasal tersebut dapat dipahami atau dimaknai agar
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan Pancasila
sebagai Cita Hukum (rechtsidee) dan Norma Dasar Negara, sehingga kedua
pasal tersebut berkaitan erat dengan Penjelasan Umum UUD 1945. Dari rumusan
Penjelasan UUD 1945 menjadi jelaslah bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah Pancasila merupakan Norma Dasar
Negara atau Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) dan
sekaligus merupakan Cita Hukum.
Pembukaan
UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara, yang menurut istilah
Notonagoro merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia atau menurut
Hans Nawiasky adalah Staatsfundamentalnorm, ialah norma yang merupakan
dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung),
termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm
ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia
terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
Sedangkan konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan keputusan politik (eine
Gessamtenschiedung uber Art und Form einer polistichen Einheit), yang
disepakati oleh suatu bangsa. Apabila Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa
pokok-pokok pikiran yang terkandung Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Cita Hukum
(Recthsidee), maka Pancasila adalah juga berfungsi sebagai suatu pedoman
dan sekaligus tolok ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat, yang
dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Materi
muatan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang (Perpu) sama dengan materi
muatan Undang-Undang. Materimuatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi
untuk menjalankanUndang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan
Peraturan Presiden(Perpres) berisi materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undangatau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Materi muatan
PeraturanDaerah (Perda) adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraanotonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah sertapenjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Daritata urutan (hirarki) dan jenis di atas, tampak bahwa semakin
ke bawah, materimuatan peraturan masing-masing semakin mengkerucut.Dengan
mengkerucutnyamateri muatan, orang akan lebih mempermudah menentukan materi
muatan yang terbawah karena yang terakhir ini sebagai hasil residu peraturan di
atasnya.
Khusus
untuk materi muatanPerda di atas harus dikaitkan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah yang telah menentukan pembagian
urusan pemerintahan danpengaturan mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah,
dan urusan-urusanpemerintah daerah yang lain yang menjadi kewenangan daerah
untuk mengatur dalamPerdanya. Hal ini untuk lebih mempermudah penentuan materi
muatan, norma, danpenerapannya..
Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah yang telah menentukan pembagian
urusan pemerintahan danpengaturan mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah,
dan urusan-urusanpemerintah daerah yang lain yang menjadi kewenangan daerah
untuk mengatur dalamPerdanya. Hal ini untuk lebih mempermudah penentuan materi
muatan, norma, danpenerapannya..
Sebagaimana
digambarkan di atas, untuk mempermudahpenentuan materi muatan peraturan
perundang-undangan, digunakan penelaahansecara residu, di samping pemahaman
mengenai materi muatan itu sendiri. MateriMuatan peraturan perundang-undangan
adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangansesuai dengan
jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Di
dalam ilmu peraturan perundang-undangan, telahdikenal teori berjenjang yang
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkatperaturan, semakin meningkat
keabstrakannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkatperaturan, semakin meningkat
kekonkritannya. Hipotesis yang dapat digambarkanadalah jika peraturan yang
paling rendah, penormaannya masih bersifat abstrak,maka peraturan tersebut
kemungkinan besar tidak bias dilaksanakan atauditegakkan secara langsung karena
masih memerlukan peraturan pelaksanaan ataupetunjuk pelaksanaan. Undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan presidendan peraturan daerah, seyogyanya
langsung dapat dilaksanakan secara berjenjang,dengan catatan bahwa materi
muatan undang-undang disesuaikan lagi dengan macamundang-undang itu sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa macam undang-undangterdiri atas:
- undang-undang hukum pidana
- undang-undang hukum perdata
- undang-undang hukum administrasi
- undang-undang pengesahan
- undang-undang penetapan
- undang-undang arahan atau pedoman.
Materi
muatanUndang-Undang Dasar (UUD), sudah barangtentu lebih abstrak daripada
materi muatan Undang-Undang. Keabstrakan UUD,biasanya ditunjukkan oleh
sifat keuniversalannya atau sifat keumumannya (normayang umum dan perlu
penjabaran oleh peraturan di bawahnya). Kadangkala, sifattersebut juga
mengandung suatu asas atau mempunyai norma asasi. Asasi atautidak asasinya
suatu norma, orang yang menyatakan itu dalam kesimpulan tesisatau pendapatnya.
Hal ini sering pula berlaku bagi undang-undang karenaundang-undang sering
menjadi kendaraan UUD sehingga muatannya bersinggungan(tumpang tindih) dengan
muatan UUD, terutama dengan macam undang-undang yangberisi arahan atau pedoman.
Pada
saat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia (HAM)
diundangkan, orang banyak bertanya mengenai materi muatanUndang-Undang tersebut
apakah materi yang ada di dalamnya bukan materi muatanUUD (kecuali pengaturan
mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Pasal 9 Undang-Undangtentang HAM
menentukan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankanhidup, dan
meningkatkan taraf kehidupannya”. Kemudian, Pasal 11 menentukan “Setiaporang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melaluiperkawinan
yang sah”.
Jika
kita akan membandingkan dengan KUHP, maka akantampak materi muatan pada kedua
Undang-Undang tersebut. Pasal 338 KUHPmenentukan bahwa “Barangsiapa menghilangkan
nyawa orang lain, dipidana denganpidana ….”. Orang sudah harus menduga bahwa
Pasal 338 tersebut sebagai cerminanatau wujud dari ketentuan “Setiap orang
berhak untuk hidup” (Pasal 9Undang-Undang tentang HAM). Untuk membedakan kedua
norma di atas terkait denganmateri muatan adalah dengan melihat apakah norma
tersebut langsung bisadilaksanakan dan ditegakkan. Jika Bedu membunuh Amin,
maka Bedu dikenakan Pasal338 KUHP, bukan Pasal 9 Undang-Undang tentang HAM.
Sesuai dengan hukum acarapidana (KUHAP), polisi dapat menangkap Bedu untuk
ditahan dan kemudian diprosesuntuk diajukan ke penuntut umum, lalu diajukan ke
persidangan.
Jika
kita setuju dengan cara pemahaman “residu”,dikaitkan dengan tata urutan
peraturan perundang-undangan, maka seyogyanyaperaturan perundang-undangan di
bawah undang-undang juga harus lebih mudah ataulangsung dilaksanakan
(diterapkan) dan ditegakkan dibandingkan denganundang-undang itu sendiri.
Pembentuk peraturan perundang-undangan (di bawahUUD) harus merancang normanya
agar substansi peraturan perundang-undangan dapatlangsung diterapkan dan
ditegakkan, yakni dengan menjauhkan diri untukmerancang normanya kepada sifat
universalitas dan asas-asas yang berlaku umum(nasional). Perancang peratuarn
perundang-undangan harus memikikirkan bagaimanasuatu peraturan tidak terlalu
banyak berisi delegasian dari peraturanperundang-undangan di atasnya sehingga
tidak terjebak pada materi muatan yanglebih abstrak. Agak aneh jika ada suatu
peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang berisi asas-asas dan berisi
hak dan kewajiban yang membebanimasyarakat. Aneh juga jika suatu Perda
menentukan bahwa “Setiap orang yangmelakukan penganiayaan terhadap orang lain
yang mengakibatkan luka dipidanadengan pidana.
Pemahaman
“residu” tidak hanya terkait dengan pola diatas, melainkan juga pada tata
urutan yang secara formal telah ditentukan dalamPasal 7 UU P 3, artinya, urutan
tersebut menggambarkan makna deduktif materimuatan peraturan
perundang-undangan. Tata urutan peraturan semakin ke bawahsemakin konkret dan
langsung dapat dilaksanakan karena kesederhanaan materinya(walaupun kadangkala
peraturan di bawah, yang biasanya lebih teknis, sangatkompleks dan rumit).
Pemahaman residu juga terkait dengan macam norma danpenerapan hukumnya.
Pembentukan
peraturan perundang-undangan
Partisipasi
masyarakat dalam pembentukan UU
Proses
pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat dilakukan dalam berbagai model
pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan politik suatu negara.
Partisipasi masyarakat ini akan tergant[2]ung dari kesadaran masyarakat dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk memberikan
kejelasan lebih lanjut tentang pendekatan ini, menarik untuk disimak uraian
penulis dalam buku ini berkaitan dengan adanya pemahaman terhadap masing-masing
model partisipasi publik tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Model Pertama : Pure Representative Democracy
Dalam
model partisipasi publik yang pertama ini, sifat partisipasi masyarakatnya
masih “pure” atau murni. Artinya, rakyat selaku warga negara dalam suatu negara
demokrasi keterlibatannya dalam pengambilan keputusan publik dilakukan
oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum untuk duduk dalam lembaga
perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat hanya tinggal menerima saja apa yang akan
diproduk oleh legislatur dalam pembentukan UU.
b.
Model Kedua : A Basic Model of Public Participation
Dalam
model yang kedua ini digambarkan bahwa rakyat telah melakukan interaksi
keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui
pemilihan umum tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan kontak dengan
lembaga perwakilan. Meskipun demikian model partisipasi ini belum dapat dikatakan
sebagai bentuk dan hakekat interaksi yang sebenarnya.
c.
Model Ketiga : A Realism Model of Public Participation
Dalam
model pilihan yang ketiga ini, public participation pelaku-pelakunya cenderung
dilakukan dan didominasi oleh adanya kelompok-kelompok kepentingan dan
organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Publik, selain ikut dalam
pemilihan umum juga melakukan interaksi dengan lembaga perwakilan. Akan
tetapi tidak semua warga negara melakukan public participation dalam
bentuk membangun kontak interaksi dengan lembaga perwakilan. Pelaku-pelaku
public participation telah mengarah pada kelompok-kelompok kepentingan dan
organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Dengan demikian terdapat
kecenderungan untuk memahami “public” dalam konteks yang terbatas.
d.
Model Keempat : The Possible Ideal for South Africa
Model
alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari berbagai partisipasi
masyarkat ini, merupakan perluasan dalam memasukkan tiga kelompok partisipan,
yaitu : those who are organized and strong; those who are organized but weak;
and those who are weak and unorganized. Dengan menerapkan model ini, pemerintah
dapat mengembangkan visi strategis yang dapat ditujukan kepada ketiga kelompok
tersebut secara bersama-sama. Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua
tambahan dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai
mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.
Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Latar belakang menjelaskan mengenai
perlunya suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau
pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah dalam
latar belakang mempunyai arah pada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis
dan yuridis untuk mendukung apakah penyusunan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah perlu dilakukan.
Identifikasi
masalah memuat rumusan masalah yang ditemukan dan diuraikan dalam Akademik.
mencakup empat hal yang dimuat, yaitu :
1.
permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi;
2.
mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai
dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membena rkan pelibatan negara
dalam penyelesaian masalah tersebut;
3.
apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis serta yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah; dan
4.
apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah
pengaturan.
Tujuan
perumusan disesuaikan dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.
merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut;
2.
merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat;
3.
merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah; dan
4.
merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan
dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.
Landasan
Konstitusional
- Kekuasaan membentuk UU berada di DPR (Pasal 20 Ayat (1))
- Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR (Pasal 5 Ayat (1))
- RUU dibahas oleh DPR dan Presiden secara bersama (Pasal 20 Ayat (2))
- Presiden mengesahkan RUU menjadi UU (Pasal 20 Ayat (4))
- Meskipun tidak disahkan oleh Presiden, suatu RUU tetap syah menjadi UU (Pasal 20 Ayat (5))
Mekanisme
- Penyusunan RUU di lingkungan pemerintah diatur dalam Kepres No. 188/1999 (tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU)
Catatan:Keppres
No. 188/1998 (yang mengganti InPres 15/1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU
dan RPP) ditetapkan tanggal 29 Oktober 1998, lahir jauh sebelum terjadi
amandemen UUD 1945, sehingga ada beberapa hal yang harus disesuaikan dengan
perkembangan baru, khususnya yang berkaitan dengan perubahan Pasal 5 dan Pasal
20 (kewenangan membentuk UU yang selama ini ada pada Presiden dialihkan ke
DPR), hak-uji Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang ke UUD 1945,
serta pembentukan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebagai (salah satu) pembentuk
undang-undang. Perubahan di atas mempengaruhi pula prosedur atau tata cara
penyusunan RUU yang dimuat dalam Keppres No. 188/1998, karena Presiden tidak
lagi sebagai “legislator utama” tetapi sudah menjadi “legislator-serta”
(medewetgever).
- Pembahasan
RUU di lingkungan DPR diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI (Keputusan
DPR-RI No. 03A/DPR-RI/I/2001-2002)
Pembahasan RUU di DPR terdiri atas 2 (dua) tingkat pembicaraan:
I. Pembicaraan Tingkat I, meliputi:
pemandangan umum fraksi terhadap RUU yang berasal dari pemerintah atau
tanggapan pemerintah terhadap RUU yang berasal dari DPR
- jawaban pemerintah atas pemandangan umum fraksi, atau jawaban pimpinan komisi, pimpinan badan legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus atas tanggapan pemerintah; dan
- pembahasan RUU oleh DPR dan pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
II. Pembicaraan
Tingkat II, meliputi:
pengambilan
keputusan dalam rapat paripurna, yang didahului oleh:
1. laporan hasil pembicaraaan tingkat I
2. pendapat akhir fraksi yang disampaikan oleh anggotanya, apabila dipandang perlu, dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksi; dan penyampaian sambutan pemerintah
1. laporan hasil pembicaraaan tingkat I
2. pendapat akhir fraksi yang disampaikan oleh anggotanya, apabila dipandang perlu, dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksi; dan penyampaian sambutan pemerintah
Kesimpulan
Hieraki
peraturan perundang-undangan di indonesia menurut Undang-Undang No 10/2004
tentang pembentukan peraturan perundang –undangan :
1.
UUD 1945
2.
Undang-Undang
3.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Peraturan Presiden
6.
Peraturan Daerah.
Saran
Sebagai
generasi penerus bangsa kita harus tahu dan memahami akan pentingnya konstitusi
bagi negara,serta berusaha untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dengan
konstitusi ini untuk dapat kita jadikan pedoman dalam mengatasi setiap masalah
dalam kapasitas kita sebagai warga negara.
Karena
adanya konstitusi ini tidak lain di tujukan untuk menjamin hak asasi kita
sebagi warga negara agar kekuasaan tidak disalah gunakan dengan adanya norma
yang memberi arah terhadap jalannya pemerintahan sehingga para penguasa tidak
bisa berlaku semena-mena.
Daftar Pustaka
2 Tim Redaksi HIMPUNAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA (4 Jilid) Ichtiar Baru Van Hoeve Tanggal terbit 2006
[2]
DR. Saifudin, S.H., M.H. Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar