Makalah Ilmu Perundang-undangan
“Peran DPR dan Pemerintah dalam Pembentukan Undang-Undang di
Indonesia”
Di susun oleh :
1. Farid hikmatullah
2. Suroto
3. Rahmat maulana
4. Sugiarto
5. Muhammad salim
6. Natalie
Kelas : 3
C (sore)
Dosen
pembimbing : baginda harahap
Jakarta
2013
KATA
PENGANTAR
segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul ” muatan perundang-undangan dan peraturan
perundang-undangan”.Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata
penulis berharap kerangka acuan makalah ini dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan kepada para pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khusunya.
Jakarta,
november 2013
Daftar isi
Pembuka
Halaman
Judul
Kata
Pengantar
1
Daftar
isi
2
Latar
Belakang
3
Rumusan
Masalah
4
Tujuan
Penulisan
5
Isi
Makalah
Kajian
Teori
6
Muatan
peraturan
perundang-undangan
6
Pembentukan
peraturan
perundang-undangan
11
Kesimpulan
dan Saran
Kesimpulan
14
Saran
14
Daftar
pustaka
15
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sesudah menjalani kehidupan sebagai bangsa yang merdeka
selama setengah abad lebih, sampailah bangsa kita pada masa-masa kritis yang
cukup mendasar. Kita tidak lagi sekadar menghadapi persoalan-persoalan yang
berkadar kuantitatif lagi, melainkan sudah bernilai kualitatif dalam membentuk
hukum (peraturan perundang-undangan), melaksanakan, dan menegakkannya.
Berdiri di atas tahun 2007, apalagi membandingkannya dengan
keadaan pada tahun 1945 dan lebih maju lagi pada permulaan abad kedua puluh,
Indonesia memang sudah berubah sangat besar dan perubahan itu berlangsung
dengan cepat dan semakin cepat. Hukum pun dibuat untuk mencapai perkembangan
tersebut, walaupun sangat tersengal-sengal. Sebagaimana kita sadari bersama
bahwa hukum berusaha mencapai perkembangan tersebut, namun ternyata
masyarakatnya belum siap untuk melaksanakan hukum yang dibuatnya itu. Padahal
hukum harus ada dalam masyarakat dengan tugas menjaga ketertiban, keamanan, dan
memberikan keadilan.
Tentang keadaan tersebut, Satjipto Rahardjo pernah bertanya
apakah “hukum untuk masyarakat” atau “masyarakat untuk hukum”?. Memilih yang
pertama menimbulkan suasana yang dinamis, sedangkan yang kedua statis dan
stagnant atau macet. Kiranya cukup jelas bahwa kemacetan tersebut terjadi karena
masyarakat yang berubah itu dipaksa untuk dimasukkan ke dalam bagan-bagan hukum
yang ada.
Kendati kita memilih yang pertama yakni “hukum untuk
masyarakat”, bagi suatu bangsa yang berubah dengan cepat, siasat tersebut tidak
sepenuhnya menjamin bahwa keadaan akan teratasi dengan baik. Sebab pertanyaan
yang kemudian bisa diajukan adalah “seberapa besar” perubahan dilakukan agar
hukum benar-benar dapat disiapkan untuk melayani masyarakatnya dengan baik?
Mochtar Kusumaatmadja, tampaknya juga bertanya dan pesimis
terhadap hukum di Indonesia, karena tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari
pentingnya fungsi hukum pembangunan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat
menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentang pembangunan ini
terdapat suatu kelesuan (melaise) atau kekurangpercayaan akan hukum dan gunanya
dalam masyarakat.
Harkristuti Harkrisnowo juga merasa pilu tentang hukum di
Indonesia. Harkristuti menyatakan bahwa di tengah suasana Indonesia yang masih
mengalami berbagai cobaan besar sejak masa fin du siecle (akhir
millenium) sampai kini, tidaklah mudah bagi saya untuk memaparkan kondisi hukum
kita tanpa kepiluan yang merebak mendengar dan ratapan mereka yang terluka oleh
hukum, dan kegeraman yang membahana pada mereka yang memanfaatkan hukum sebagai
alat mencapai tujuan tanpa memakai hari nurani.
Pembangunan hukum di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun
1970-an dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan
komprehensif terhadap kinerja model hukum sebagai “sarana pembaruan masyarakat”.
Ketiadaan evaluasi tersebut sudah dapat diantisipasi semula oleh Mochtar
Kusumaatmadja yang antara lain mengemukakan bahwa ukuran keberhasilan
pembangunan hukum tidak sama dengan pembangunan fisik karena pembangunan fisik
jelas dapat dinilai dalam bentuk angka-angka termasuk keberhasilan ataupun
kegagalannya.
Romli lebih lanjut menyatakan bahwa proses legislasi dengan
produk perundang-undangan bukanlah proses yang steril dari kepentingan
politik karena ia merupakan proses politik. Bahkan implementasi
perundang-undangan tersebut dikenal dengan sebutan “penegakan hukum” atau “law
enforcement”, juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik.
Jika demikian halnya, maka hukum di Indonesia, termasuk
pembentukannya, tampaknya di luar hukum dalam bentuknya yang murni, yaitu tidak
sesuai dengan dunia ide seperti yang dikemukakan oleh Plato. Machfud MD sendiri
terkejut terhadap masyarakat yang heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu
dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat,
penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan
memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan
berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk
hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang
kekuasaan dominan. Mereka bertanya: mengapa hal itu harus terjadi?.
Ternyata hukum tidak seteril dari subsistem kemasyarakatan
lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan
hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara
hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti
bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak
mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan
produk hukum yang berkarakter seperti apa. Upaya untuk memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah
politik hukum.
Politik hukum, kadangkala juga merambah di lingkungan dalam
pemerintah pada waktu rancangan peraturan tersebut dibahas antar departemen
terkait dengan masalah kepentingan sektor dan kepentingan lainnya. Apakah hal
ini termasuk dalam wilayah politik hukum? Kepentingan sektor inilah yang
kemudian mempengaruhi politik hukum yang memang sejak semula diharapkan politik
hukum dapat bermanfaat atau berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekali lagi,
sterilisasi politik hukum dikotori oleh kepentingan sektor.
Sumber daya manusia, terutama legislator yang dinilai lemah
dalam merumuskan dan menuangkan keinginan politik hukumnya dan jumlah perancang
peraturan perundang-undangan yang masih minim, juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya kesenjangan antara kuantitas dan kualitas produk peraturan
perundang-undangan.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
deskripsi diatas maka penulis perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek
pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai
berikut :
1. Bagaimana peran DPR dan Pemerintah
selaku pembentuk RUU dalam upaya pembentukkan Undang-undang di Indonesia?
2. Bagaimana perkembangan penyusunan
Program Legislasi Nasional saat ini?
3. Bagaimana keberadaan naskah
akademis dan proses harmonisasi?
4. Bagaimana peran perancang peraturan
perundang-undangan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peran Pembentuk RUU
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah
program legislasi yang diajukan, setiap tahun terus bertambah, padahal oleh
Baleg dan Pemerintah telah ditetapkan sebanyak 284 RUU dalam Program Legislasi
Nasional 2005-2009. Ternyata, perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri. Pasal 17 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di
luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).” Ketentuan ini kemudian
digunakan oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk mengembangkan keinginannya mengatur
sesuatu dalam undang-undang di luar Prolegnas. Dari keinginan tersebut,
ternyata membawa dampak yang sangat luas terhadap pencapaian atau target yang
semula telah disepakati yang berakibat terbengkalainya Prolegnas itu sendiri.
Departemen Hukum dan HAM, yang mewakili Pemerintah dalam
penyusunan Prolegnas, selalu menghadapi persoalan karena tidak dapat melarang
atau membatasi prakarsa departemen/LPND dalam mengajukan usulan prolegnas baru,
apalagi jika program yang diusulkan tersebut benar-benar penting dan perlu
untuk melaksanakan penyelenggaraan negara dan kepemerintahan, misalnya,
penyelenggaraan pemilu dan parpol serta keinginan untuk mengubah pengaturan
mengenai Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung.
Posisi tawar terhadap pengajuan prolegnas baru merupakan
salah satu persoalan tersendiri karena ternyata DPR-RI, melalui Balegnya, juga
mengajukan usulan prolegnas baru di luar yang 284 RUU tersebut. Dengan
demikian, makna Prolegnas 2005-2009 sebagai acuan instrumen perencanaan yang
terpadu dan sistematis belum sepenuhnya mengikat. Jika Pasal 17 ayat (3)
tersebut dibiarkan berkembang dan tanpa kendali, maka yang terjadi adalah
munculnya inflasi jumlah RUU yang berakibat “lebih besar dari pasak”, terkait
dengan kemampuan DPR-RI dan Pemerintah untuk menyelesaikan program tersebut.
Pemerintah pada dasarnya menunggu diundang untuk membahas suatu RUU karena
konsekuensi dari pergeseran kekuasaan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD
1945 dan UU P3. Jadi, kemampuan DPR-RI lebih dipertaruhkan untuk menyelesaikan
RUU, dibandingkan dengan Pemerintah.
Peran legislatif sebagai poros utama pembentukan
undang-undang sering kali terabaikan karena banyaknya pekerjaan di luar
pembentukan RUU yang harus diemban oleh anggota dewan, misalnya,
pekerjaan-pekerjaan melakukan fit and proper test untuk jabatan
pemerintahan tertentu dan raker-raker lain di luar pembentukan rancangan
undang-undang.
B.
Perkembangan Program Legislasi
Nasional yang Belum Fokus
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
prosedur penyusunan peraturan perundang-undangan, selain sebagian ditentukan
dalam UU P3, secara rinci juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tentang
Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan
Presiden Nomor 68 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP, dan
Rpresiden.
Dalam
Perpres 61 ditentukan bahwa penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI
dikoordinasikan oleh Badan Legislasi sedangkan penyusunan Prolegnas di
lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri (Menteri Hukum dan HAM).
Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dan Pemerintah dilakukan dengan
memperhatikan konsepsi RUU yang meliputi:
- latar belakang dan tujuan penyusunan;
- sasaran yang akan diwujudkan;
- pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan
- jangkauan dan arah pengaturan.
Terkait
dengan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, Menteri meminta kepada
menteri lain dan pimpinan LPND mengenai perencanaan pembentukan RUU di
lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan
tanggung jawabnya. Penyampaian perencanaan pembentukan RUU disertai dengan
pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dalam hal menteri lain atau pimpinan LPND telah
menyusun naskah akademis, maka naskah akademis tersebut wajib disertakan dalam
penyampaian perencanaan pembentukan RUU.
Setelah
RUU disampaikan, Menteri melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan (pemrakarsa) dan
bersama-sama dengan menteri lain dan pimpinan LPND yang terkait dengan
substansi RUU. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU
diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan:
- falsafah negara;
- tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya;
- UUD Negara RI Tahun 1945;
- undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya; dan
- kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dengan RUU tersebut.
Upaya
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dilaksanakan melalui
forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri. Dalam hal konsepsi RUU
terebut disertai dengan naskah akademis, maka naskah akademis dijadikan bahan
pembahasan dalam forum konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut, dapat
diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang
sosial, politik, profesi, atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Konsepsi
RUU yang telah memperoleh pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi, oleh Menteri wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada
Presiden sebagai Prolegnas yang disusun di lingkungan Pemerintah sebelum
dikoordinasikan dengan DPR-RI.
Dalam
hal Presiden memandang perlu untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut atas
dan/atau memberikan arahan terhadap konsepsi RUU, Presiden menugaskan Menteri
untuk mengkoordinasikan kembali konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan dengan
menteri lain atau pimpinan LPND yang terkait. Hasil koordinasi tersebut oleh
Menteri dilaporkan kepada Presiden. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan
Pemerintah, oleh Menteri dikoordinasikan dengan DPR-RI melalui Badan Legislasi
dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
Setelah
melakukan koordinasi dengan DPR-RI, Menteri mengkonsultasikan dahulu
masing-masing konsepsi RUU yang dihasilkan oleh DPR-RI kepada menteri lain atau
pimpinan LPND sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya dengan
masalah yang akan diatur dalam RUU. Konsultasi tersebut dilaksanakan dalam
rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RU, termasuk
kesiapan dalam pembentukannya. Pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi RUU tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan
keselarasan konsepsi di atas.
Hasil
penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dan konsultasi dalam rangka
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU, oleh Menteri
dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden sebelum dikoordinasikan
kembali dengan DPR-RI.
Setelah
dilakukan perencanaan melalui Prolegnas, di lingkungan Pemerintah, telah diatur
mengenai tata cara mempersiapkan RUU yang telah ditentukan dalam Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP,
dan Rperpres (Perpres 68).
Dalam
Perpres 68 ditentukan bahwa penyusunan RUU dilakukan pemrakarsa berdasarkan
Prolegnas. Penyusunan RUU yang didasarkan pada Prolegnas tidak memerlukan
persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Pemrakarsa melaporkan penyiapan dan
penyusunan RUU kepada Presiden secara berkala.
Dalam
keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah
terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan
disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:
- urgensi dan tujuan penyusunan;
- sasaran yang ingin diwujudkan;
- pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
- jangkauan serta arah pengaturan.
Keadaan tertentu di atas
adalah:
- menetapkan Perpu menjadi UU;
- meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
- mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
- keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri.
Dengan
adanya ketentuan di atas, keinginan DPR-RI dan Pemerintah untuk mertatifikasi
konvensi atau penjanjian internasional setiap saat bisa dilakukan. Dalam proses
pembahasan (baik antardep maupun di DPR) lebih mudah dibandingkan dengan
penyusunan RUU biasa karena substansinya hanya 2 pasal dan rata-rata 3 x
pertemuan sudah dapat diselesaikan.
Dalam
mempersiapkan RUU, sebagaimana dilakukan selama ini, pengaturan dalam Perpres
68 ditentukan mengenai pembentukan panitia antadepartemen dan pemrakarsa dapat
mempersiapkan naskah akademisnya terlebih dahulu. Dalam rapat antardepartemen,
pemrakarsa dapat mengundang pakar baik dari perguruan tinggi maupun pihak
lainnya. Setelah RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan kesempatan untuk
mengadakan sosialiasi kepada masyarakat (sebagai asas keterbukaan) untuk
mendapatkan masukan atas substansi RUU.
Namun
sayangnya, prosedur di atas, dalam praktiknya belum sepenuhnya dijalankan
sebagaimana mestinya, baik oleh Pemerintah maupun oleh DPR-RI. Hal inilah yang
mengakibatkan penyusunan RUU tidak optimal. Jumlah yang 284 tersebut, jika
ditelaah, ada beberapa yang hanya sekadar dicantumkan judulnya (nama RUU) saja,
padahal naskah akademiknya dan substansi RUU sendiri belum dipersiapkan. Dengan
demikian, alasan mengapa RUU perlu disusun, sering tidak mampu dijawab oleh
pemrakarsa, alias masih dalam angan-angan. Dijumpai pula beberapa nama RUU yang
tumpang tindih, misalnya, RUU-RUU di bidang pemerintahan, yakni RUU tentang
Pelayanan Publik, RUU tentang Administrasi Pemerintahan, RUU tentang
Etika Pemerintahan, RUU tentang Perilaku Aparat Negara, RUU tentang
Standar Pelayanan Publik, RUU tentang Konflik Kepentingan Pejabat Publik, RUU
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, RUU tentang Pemerintah Pusat, RUU tentang Kepegawaian Daerah, RUU
tentang Kepegawaian POLRI, RUU tentang Kesekretariatan Negara, dll. RUU-RUU
di bidang kesehatan, misalnya, RUU tentang Karantina Kesehatan, RUU tentang
Praktik Kefarmasian, RUU tentang Praktik Perawat, RUU tentang Praktik Bidan,
RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan, RUU tentang Bahan Berbahaya, RUU
tentang Kesehatan, RUU tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera, dll.
Masalah
nama-nama RUU di atas akan membingungkan bagi pembentuk RUU terkait dengan
ruang lingkup pengaturan dan materi muatan yang akan diatur. Belum lagi bagi
pembentuk RUU yang dihadapkan pada nama-nama RUU yang belum jelas pengaturan
dan ruang lingkupnya, misalnya, RUU tentang Energi (aturan pelaksanaannya
tersebar dalam undang-undang yang mengatur Mineral dan Batubara, Migas, dan
Ketegalistrikan), RUU tentang Etika Kehidupan Berbangsa, RUU tentang Kode Etik
Hakim, RUU tentang Kebijakan Penghapusan Perkosaan dan Kekerasan Seksual, RUU
tentang Kebijakan Penghapusan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja, RUU tentang
Kebijakan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau Pekerja di Sektor Informal, RUU
tentang Anti Penyiksaan, RUU tentang Demokrasi Ekonomi, RUU tentang Bentuk
Kredit Peminjaman Bank dan Hipotik Bagi Perempuan, RUU tentang Pengaturan
Hak-hak Perempuan, RUU tentang Kebudayaan, RUU tentang Kebumian, dan RUU
tentang Anti Diskriminasi, Ras, dan Etnik.
C.
Keberadaan Naskah Akademis dan
Proses Harmonisasi
Naskah akademik (NA) adalah naskah
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi
latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan RUU (Pasal 1 Perpres Nomor 68 Tahun
2005). Perlu tidaknya NA dalam Perpres tersebut merupakan pilihan bagi
Pemerintah untuk menyediakan, sedangka bagi DPR-RI melalui Tata Tertibnya,
penyediaan NA diwajibkan dalam setiap penyusunan RUU. Secara tidak langsung,
kewajiban tersebut berimbas bagi Pemerintah untuk selalu menyediakan. Jika
Pemerintah tidak menyediakan, kemungkinan besar RUU yang diajukan tidak dapat
masuk dalam Prolegnas sebagai daftar prioritas.
Mengapa NA dianggap penting untuk dijadikan landasan
penyusunan suatu RUU? Sesuai dengan definisi di atas, setidak-tidaknya suatu
RUU dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang
berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan
lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan.
NA dalam proses penyusunan suatu RUU merupakan potret atau
peta tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui
undang-undang yang akan dibentuk dan disahkan. Makna yang sering dikemukakan
oleh pembentuk undang-undang bahwa dalam pertimbangan RUU selalu dicantumkan
segi filosofis, sosiologis, dan yuridis, mengingatkan kepada kita semua betapa
segi tersebut penting karena terkait dengan konstatasi fakta yang ada dan
bagaimana fakta tersebut dapat dipecahkan melalui cara-cara yang filosofis dan
yuridis.
Dengan NA, fakta yang dianggap bermasalah dipecahkan secara
bersama oleh Pemerintah dan DPR-RI, tanpa mementingkan golongan atau
kepentingan individu. Jika NA selalu mendasarkan pada urgensi dan tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau objek
yang akan diatur, serta jangkauan serta arah pengaturan yang memang dikehendaki
oleh masyarakat, maka proses bottom up yang selama ini diinginkan oleh
masyarakat, akan terwujud. Jika suatu RUU yang dihasilkan melalui proses bottom
up, diharapkan undang-undang yang dihasilkan akan berlaku sesuai dengan
kehendak rakyat dan berlakunya langgeng.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Pemerintah sering kali
tidak dapat menolak departemen/LPND untuk menyusun RUU yang kemudian dimintakan
untuk diharmonisasi di Departemen Hukum dan HAM, walaupun RUU yang diajukan
tersebut tidak termasuk dalam Prolegnas. Sebaliknya, beberapa RUU yang telah
masuk dalam Prolegnas, pemrakarsa sering mengalami kesulitan untuk membentuknya
karena belum dipersiapkannya NA dan alasan-alasan lainnya. Belum lagi terhadap
RUU-RUU yang tidak jelas ruang lingkup pengaturan dan materi muatan yang
diaturnya sebagaimana diuraikan di atas.
Kesulitan lain yang dihadapi oleh Departemen Hukum dan HAM
adalah masih adanya egoisme sektoral dari instansi pemrakarsa terkait dengan
pengaturan kewenangan yang dimilikinya. Yang lebih sulit lagi adalah apabila
RUU tersebut merupakan inisiatif DPR yang di dalamnya mengatur banyak
kepentingan yang tumpang tindih dengan kewenangan lainnya. Dengan demikian,
harmonisasi dilakukan pada saat pembahasan yang sebelumnya dipersiapkan dalam
daftar inventarisasi masalah (DIM).
Dari pengalaman di atas, untuk tidak menimbulkan polemik
dalam tingkat pembahasan, proses harmonisasi seharusnya dilakukan sejak NA
dibuat sampai di tingkat penyusunan peraturan, baik dilakukan oleh Pemerintah
maupun oleh DPR-RI. Sering didengar bahwa sewaktu DPR-RI membahas RUU dengan
Pemerintah, muncul RUU tandingan yang berasal dari luar dengan mengatasnamakan
kepentingan tertentu. Hal-hal inilah yang kemudian mempengaruhi kualitas
substansi RUU dilihat dari prospek, ekspektasi, dan harapan politik hukum,
terutama pembangunan hukum nasional.
D.
Peran Perancang Peraturan
Perundang-Undangan
Dalam Penjelasan UU P3 disebutkan
bahwa Untuk menunjang pembentukan peraturan perundang-undangan, diperlukan
peran tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional
yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan
rancangan peraturan perundang-undanganan. Makna ”berkualitas” sebagaimana
ditentukan dalam penjelasan tersebut tampaknya akan mengalami hambatan dan
tantangan tersendiri dalam bidang kepemerintahan karena masih berbenah di
sana-sini mengingat jabatan tersebut relatif anyar atau baru dibanding jabatan
fungsional lainnya seperti jabatan peneliti atau jaksa penuntut umum. Mencari
format mengenai kompetensi dan sertifikasi jabatan fungsional perancang serta
kurikulum dalam diklat perancang, diperlukan kerja keras dan ketekunan yang
luar biasa. Hal ini masih dalam proses penyelesaian di lingkungan Departemen
Hukum dan HAM.
Perancang adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun peraturan perundang-undangan
dan/atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah. Kedudukan jabatan
fungsional termasuk dalam rumpun hukum dan peradilan dan tugas perancang
adalah menyiapkan, melakukan, dan menyelesaikan seluruh kegiatan teknis
fungsional perancangan peraturan perundang-undangan di lingkungan unit
peraturan perundang undangan instansi pemerintah. Tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak serta kedudukan perancang telah mempunyai dasar hukum yang
kuat berdasarkan peraturan perundang-undangan, yakni:
1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999;
2)
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai
Negeri Sipil;
3)
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang Rangkap Jabatan;
4)
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional
Pegawai Negeri Sipil;
5)
Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Fungsional Perancang;
6)
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
41/Kep/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan
Perundang-undangan
7)
Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor. M.390-kp.04.12 Tahun 2002 dan Nomor 01 Tahun 2002
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan
Perundang-undangan dan Angka Kreditnya
8)
Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia no.04.pr.07.10 tahun 2004
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan HAM.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan di atas, pada
dasarnya tidak perlu diragukan lagi bahwa eksistensi perancang (atau calon
perancang) di tanah air telah dipayungi oleh hukum dalam menjalankan tugas,
fungsi, hak, dan tanggung jawabnya. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Hukum
dan HAM, tinggal meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta menghitung
kebutuhan perancang pada seluruh instansi pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di daerah, termasuk di lingkungan DPR-RI atau DPRD.
Permasalahan klasik yang selama ini dihadapi dalam
penyediaan perancang adalah kurangnya kualitas dan kuantitas perancang di
beberapa instansi pemerintah karena salah satu masalah yang belum seluruhnya
dipecahkan adalah ketersediaan kurikulum di fakultas hukum baik pada
universitas negeri maupun swasta mengenai mata pelajaran wajib tentang
perancangan peraturan perundang-undangan, sehingga lulusan sarjana hukum kurang
memahami mengenai perancangan peraturan perundang-undangan. Bidang yang satu
ini juga sering menjadi pertanyaan bagi dekan fakultas hukum, apakah termasuk
pada bidang hukum tata negara atau hukum administrasi negara atau hukum tata
pemerintahan atau bidang tersendiri? Departemen Pendidikan Nasional harus sudah
menentukan bahwa bidang perancangan peraturan perundang-undangan merupakan
kurikulum wajib (bukan pilihan) dan ditetapkan jumlah SKS-nya sesuai dengan
kebutuhan, misalnya, diperlukan jam mata kuliah pelatihan perancangan peraturan
perundang-undangan.
Di samping masalah di atas, mutasi ke jabatan
struktural atau jabatan lainnya yang menjanjikan, membuat pejabat
fungsional perancang beralih atau berpindah ke jabatan struktural. Budaya
terstruktur untuk berkuasa tampaknya masih kental di lingkungan pegawai negeri
sehingga pilihan tertuju pada jabatan struktural, dan malah pada jabatan
struktural tertentu diperebutkan.
Insentif atau penghargaan bagi pejabat fungsional perancang
perlu segera diwujudkan, termasuk tunjangan fungsional yang memadai dan masa
jabatan usia pensiun bagi perancang. Tanpa hal ini, jangan diharap kualitas dan
kuantitas pejabat fungsional perancang akan meningkat.
Kualitas perancang akan diuji dengan ketentuan Pasal 4 (1)
Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran yang
menentukan bahwa “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan
sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di
jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel,
asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat
tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau di tempat lain
di daerah.” Betapa ketentuan di atas sangat subjektif untuk setiap orang yang
dianggap oleh penegak hukum sebagai pelacur. Pembentuk Perda mungkin belum
menyadari bahwa ketentuan tersebut dapat disalahgunakan oleh penegak hukum
karena subjektivitasnya yang mencolok. Bagaimana penegak hukum dengan mudah
menangkap orang jika orang tersebut sikap atau perilakunya mencurigakan dilihat
dari anggapan penegak hukum. Belum lagi locus delicti- nya yang begitu
luas, yakni rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan,
warung kopi, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong
jalan atau di tempat lain di daerah. Seharusnya tempat yang dituju hanya tempat
yang memang sering digunakan, misalnya, warung remang-remang yang sering
dijadikan praktik prostitusi atau tempat hiburan tertentu untuk para hidung
belang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang penting untuk dipahami oleh
pembentuk peraturan perundang-undangan adalah mengenai materi muatan peraturan.
Materi muatan terkait erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait
dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan delegasian,
materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma peraturan
harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugas masing-masing
yang berasal dari delegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya dan tetap pula memperhatikan peraturan perundang-undangan
lainnya yang lebih tinggi tingkatannya atau sederajat.
Pengetahuan
mengenai bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan sangat penting dalam
perancangan peraturan perundang-undangan karena :
- setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dapat ditunjukkan secara jelas peraturan perundang-undangan tertentu yang menjadi landasan atau dasarnya (landasan yuridis);
- tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan, melainkan hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi yang dapat mendelegasikan ke peraturan perundang-undangan sederajat atau lebih rendah. Jadi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak dapat dijadikan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjukkan betapa pentingnya aturan mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan (lihat UU Nomor 10 Tahun 2004);
- pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih rendah. Prinsip ini mengandung beberapa hal :
1) pencabutan peraturan
perundang-undangan yang ada hanya mungkin dilakukan oleh peraturan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi;
2) dalam hal peraturan
perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang sederajat lainnya, maka berlaku peraturan
perundang-undangan yang terbaru dan peraturan perundang-undangan yang lama
dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori);
3) dalam hal peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya;
- dalam hal peraturan perundang-undangan sederajat yang mengatur bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang umum yang berkaitan dengan bidang khusus tersebut dikesampingkan (lex specialis derogat lex generalis).
- pentingnya pengetahuan mengenai bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan kaitannya dengan materi muatan peraturan perundang-undangan. Materi muatan undang-undang adalah berbeda dengan materi muatan peraturan presiden. Materi muatan biasanya tergantung dari delegasian atau atribusian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Undang-undang dan Perda bermateri muatan salah satunya adalah pengaturan hak asasi manusia dan pengaturan sanksi yang memberatkan atau membebani rakyat.
Yang
lebih penting adalah bahwa pembentuk peraturan harus memahami makna
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
yang meliputi :
a) kejelasan
tujuan (setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai);
b) kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang);
c) kesesuaian
antara jenis dan materi muatan (dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya);
d) dapat
dilaksanakan (setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis);
e) kedayagunaan
dan kehasilgunaan (setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara);
f) kejelasan
rumusan (setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya); dan
g) keterbukaan
(dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan).
Asas-asas
tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan perundang-undangan
dan penentu kebijakan. Semua asas di atas, harus terpateri dalam diri mereka
yang akan membentuk peraturan perundang-undangan yang biasanya diwujudkan dalam
bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah
pentingnya membentuk peraturan ini? Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi
kemaslahatan masyarakat? Tidakkah instrumen lain, selain peraturan, sudah
cukup? Dalam menyusun substansi yang diinginkan oleh penentu kebijakan,
pembentuk peraturan harus selalu bertanya, apakah rumusan tersebut sudah jelas
dan tidak menimbulkan penafsiran?
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, Moral
dan Etika Pembangunan Hukum Nasional: Reorientasi Politik Perundang-undangan, Makalah
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Bali, 14-18 Juli
2003
Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep
Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2002
M.D.,
Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar