Cari Blog Ini

Sabtu, 03 November 2012

makalah antropologi kebudayaan suku toraja


Makalah Antropologi
Kebudayaan Toraja






Disusun oleh : Cahya Intan Purnama
                        Farid Hikmatullah
                        Indra Yusuf Maulana
                        Laela Istiqomah
                        Mulyati Karabombang
                        Shafarudin
Kelas : 1PA08







FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2012





Kata Pengantar
Makalah ini disusun dengan metode penelitian dengan langsung mengunjungi anjungan Toraja, Sulawesi Selatan.
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami dan mengenal lebih lanjut tentang suku dan budaya yang ada di Indonesia khususnya di tanah Toraja. Dan tentunya, kami selaku pihak yang membuat makalah ini mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yng telah ikut membantu, terutama dosen pembimbing.
Pada akhirnya, kami membutuhkan segala saran dan masukan agar makalah ini dapat di jadikan pedoman untuk mahasiswa yang lebih baik dan juga teriring ucapan terima kasih.









Jakarta,    November 2012









Daftar Isi

KATA PENGANTAR................................................................................2
BAB 1
LATAR BELAKANG SUKU TORAJA..................................................5
PENDAHULUAN......................................................................................9
BAB 2
SISTEM KEKERABATAN.....................................................................15
PERNIKAHAN DAN PEMBATASAN JODOH...................................16
RUMAH TANGGA DAN KELUARGA INTI......................................17
KELOMPOK – KELOMPOK KEKERABATAN...............................17
AKTIVITAS TOLONG – MENOLONG
          PERTANIAN.................................................................................19
          PESTA PERNIKAHAN...............................................................19
          UPACARA PERNIKAHAN........................................................19
          PERISTIWA BENCANA ATAU KEMATIAN........................20
SISTEM RELIGI....................................................................................20
UNSUR – INSUR RELIGI
          UPACARA KEAGAMAAN........................................................20
          PEREALATAN UPACARA KEAGAMAAN...........................27
          UMAT KEAGAMAAN ..................................................28
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN..................................................29
DAFTAR PUSTAKA.................................................................30
         















BAB I
LATAR BELAKANG
Latar Belakang Kebudayaan Suku Toraja
Berbicara mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita terbayang sebuah etnik suku yang memiliki rumah panggung besar dengan atap menyerupai moncong perahu dan upacara adatnya yang melibatkan banyak orang untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini telah mengarungi banyak negara. Daya tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya, arsitektur tradisional yang inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri yang pada hari ini banyak diminati oleh wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan lokal yang nilai-nilainya masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja. Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan masih mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki kemiripan dengan budaya yang ada di Nias.
Melihat Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas Suku Toraja bertempat tinggal pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan. Lebih spesifik pada letaknya, Suku Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja yang terletak dalam satuan kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang mana memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki jumlah populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana Toraja di utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enkerang, sementara pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa.
Berada pada zona waktu indonesia tengah, Secara klimatologi Kabupaten Tana Toraja termasuk kedalam daerah yang beriklim Tropis Basah. Hal ini secara kasar bisa kita ketahui melihat letak keberadaan tempat yang berada di daerah pegunungan. Dalam segi temperatur udara, suhu di Tana Toraja berkisar antara 150c – 280 c dengan kelembaban udara yang berkisar antara 82 – 86 %. Curah hujan rata-rata di Tana Toraja berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/thn.
Jika pembaca sekiranya ingin mengunjungi Tana Toraja ada baiknya melihat masa-masa pembagian musim hujan dan musim kemarau yang umumnya ada di Kabupaten Tana Toraja. Untuk musim kemarau periode bulan april sampai dengan september merupakan rentang waktu datangnya kemarau tiba di Tana Toraja. Sedangkan musim penghujan biasanya tiba pada periode bulan Oktober sanpai dengan Maret. Menurut Oldement, tipe iklim di Kabupaten Tana Toraja adalah tipe C2 yaitu bulan basah (200 mm) selama 2 – 3 bulan berturut-turut dan bulan kering (100 mm) selama 2-3 bulan berturut-turut. Kondisi riil ini dianggap sangat mendukung sektor agraria daerah kabupaten Toraja.
Pada hari ini diperkirakan populasi masyarakat suku toraja telah mencapai sekitar satu juta jiwa. Sekitar 50% dari total jumlah masyarakat Suku Toraja masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten tetangga seperti Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Mamasa sisanya banyak masyarakat yang berasal dari Suku Toraja yang kini telah menetap di kota-kota lainnya di Sulawesi dan tidak sedikit juga yang merantau keluar Sulawesi. Kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Toraja adalah Kristen. Sementara sebagian ada yang menganut agama Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal dengan Aluk To Dolo.
Berbicara mengenai kepercayaan animisme yang dimiliki Suku Toraja. Aluk To Dolo memiliki makna sebagai kesadaran bahwasannya keberadaan manusia hidup di bumi pada hakikatnya hanyalah untuk sementara. Prinsip ini ditanamkan sedemikian kuatnya yang mana pada akhirnya menjadi pondasi utama kepercayaan asli masyarakat Toraja. Sebagai penguat pemahamannya bahwasannya selama tidak ada orang yang bisa menahan matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun mutlak keberadaannya dan tidak bisa ditunda kedatangannya.
Secara historis banyak yang meyakini bahwa Suku Toraja berasal dari Teluk Tongkin yang berada di daratan cina. Seorang Anthtropolog bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal Sulawesi Selatan atau pribumi dengan pendatang dari teluk tongkin tersebut. Berawalnya akulturasi antara masyarakat pribumi dengan pendatang ini dari berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah yang dapat dikatakan cukup banyak di sekitar hulu sungai yang pada hari ini diperkirakan letak lokasinya berada di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina yang memang dikenal akan kebiasaannya bermigrasi segera membangun pemukiman di daerah tersebut untuk kemudian membangun sebuah peradaban baru.
Nama Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to riaja yang mana berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Identitas mereka yang pada hari ini kita ketahui bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah kolonial belanda yang memberikan nama itu pada tahun 1909. Versi lain menyebutkan bahwasannya kata Toraja awal mulanya bernama toraya. Kata tersebut merupakan gabungan dari dua kata yaitu “to” yang berarti orang dan “raya” yang berasal dari kata maraya yang berarti besar. Artinya jika digabungkan menjadi suatu padanan makna orang-orang besar atau bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda kehidupan lama-lama penyebutan nama Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara itu kata Tana yang berada di depan kata Toraja memiliki arti sebuah negeri. Sehingga pada hari ini tempat pemukiman Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau negeri tempat orang-orang besar berada.
Sebelum masuknya pengaruh kolonial Belanda dan kristenisasi, di Tana Toraja memiliki sebuah pakem yang cukup jelas mengenai identitas diri mereka sebagai sebuah kelompok. Suku Toraja yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki sebuah identitas pengenalan diri yang diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan satu sama lain tidak merasa sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa yang sama. Meskipun ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi dialek, hierarki sosial, dan macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.
Pemberian nama Toraja banyak diduga mulanya merupakan pemberian oleh suku bugis Sindengreng dan Luwu. Orang dari Suku Sindengreng menamakan penduduk daerah yang bermukim di daerah dataran tinggi dengan sebutan to riaja yang berarti “orang yang berdiam di pegunungan” sementara orang-orang yang berasal dari suku bugis luwu menyebutnya dengan to riajang yang memiliki arti “orang yang berdiam di sebelah barat”.
Suku bangsa cina yang datang dari teluk tonkin ini sebenarnya terletak antara vietnam utara dan cina selatan. Pada awal kedatangannya mereka menempati wilayah di pesisir Sulawesi hingga akhirnya karena merasa membutuhkan situasi iklim yang sedikit banyak mirip dengan daerah asalnya, maka para pendatang ini memilih untuk bermukim di daerah dataran tinggi. Proses adaptasi yang cukup ekstrim diterima para pendatang memang membuat mereka secara rasional memilih untuk pindah dari pesisir menuju dataran tinggi itu.
Secara historis pemerintah kolonial belanda masuk dan menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi pada abad ke-17. Melalui perusahaan dagangnya yang bernama vereenigde Oost-Indische Compagnie atau yang familiar di telinga kita bernama VOC selama dua abad mereka berkuasa di sulawesi dan memonopoli segala bentuk perdagangan dan kekuasaan politik. Namun hal ini justru relatif tidak terlalu berpengaruh banyak dalam beberapa hal bagi keberlangsungan eksistensi masyarakat Suku Toraja. Pemerintah kollonial belanda mengacuhkan daerah Tana Toraja karena dinilai sulit untuk dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan produktif. Letaknya yang berada pada dataran tinggi memang menjadi salah satu alasan utama mengapa belanda tidak begitu mengeksploitasi sumber daya di daerah Tana Toraja.


Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial belanda yang mulai khawatir akan pesatnya perkembangan ajaran agama islam di Sulawesi Selatan terutama pada komunitas Suku Bugis. Belanda yang melihat bahwa keberadaan Suku Toraja yang relatif terisolir dari pengaruh luar akhirnya memutuskan untuk memusatkan proses kristenisasi di daerah Tana Toraja. Hal ini juga diperkuat karena masyarakat Tana Toraja masih menganut ajaran animisme mereka. Misionaris Belanda yang pada masa itu berusaha untuk menyebarkan ajarannya ternyata mendapat perlawanan kuat dari para masyarakat Suku Toraja. Hal ini dikarenakan penghapusan jalur perdagangan yang pada hakikatnya menguntungkan masyarakat Toraja. Beberapa orang asli Suku Toraja dipindah paksa ke dataran rendah oleh pemerintah kolonial Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak pada masa itu juga ditetapkan pada tingkatan yang amat tinggi dengan tujuan untuk mengikis kekayaan para elit masyarakat Suku Toraja. Pun begitu usaha-usaha belanda tersebut nyatanya tidak dapat merusak kebudayaan Toraja dan pada waktu itu hanya sedikit sekali terdapat populasi orang toraja yang menganut ajaran kristen.
Pada tahun 1930-an. Konflik pun tidak luput menyelimuti tana toraja yang mana kali ini melibatkan penduduk muslim yang bertempat tinggal di daerah dataran rendah dengan para penduduk toraja. Akibat dari insiden ini banyak orang toraja yang memilih untuk beraliansi dengan pemerintah kolonial belanda guna meraih kemenangan atas penduduk muslim yang notabenenya juga merupakan terhitung sebagai musuh belanda pada masa itu. akibat aliansi ini banyak penduduk toraja yang akhirnya memilih untuk mengganti kepercayaan mereka menjadi kristen dalam rangka meraih aliansi dengan belanda serta mendapat perlindungan politik supaya bisa melakukan perlawanan balik terhadap orang-orang bugis dari Makassar yang bergama Islam.
Pada periode antara tahun 1951 sampai 1965 setelah kemerdekaan indonesia Sulawesi Selatan mengalami kekacauan yang dipicu oleh pemberontakan Daarul Islam yang bertujuan untuk mendirikan negara islam di tanah Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut memiliki andil yang cukup besar mengapa perkembangan agama kristen di toraja semakin menunjukan peningkatan yang cukup signifikan.
Dekrit President yang diterbitkan pada tahun 1965 yang mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk to dolo) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekrit tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.I.
PENDAHULUAN
Pengertian
Asal-usul tentang pengertian Toraja, ada dua versi. Versi pertama mengatakan bahwa kata Toraja berasal dari kata “to” yang artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja. Jadi Toraja artinya orang-orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa Toraja berasal dari dua kata yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa Bugis) yang artinya orang-orang gunung. Jadi Toraja artinya orang-orang gunung.

 Latar Belakang Masalah
Saya memilih kebudayaan Toraja karena beberapa hal, yaitu :
- Kebudayaannya yang unik mendorong kami untuk mengenal lebih jauh tentang adat-istiadat suku Toraja,
- Merupakan salah satu bagian wilayah di Indonesia yang kurang dikenal, maka dari itu dengan makalah ini, saya berharap dapat memberitahu sekilas tentang Toraja, mengenai suku, objek wisata, dan makanan khas yang unik yang belum diketahui oleh masyarakat banyak.

Metode
Pencarian data melalui internet,
Dari buku “Ragam Budaya Daerah”,
Melakukan observasi.













BAB II
PEMBAHASAN

Asal-Usul
Menurut legenda, nenek moyang orang Toraja berasal dari Hindia Belakang (Siam). Mereka ber-imigrasi ke daerah selatan untuk mencari daerah baru. Mereka menggunakan kapal yang menyerupai rumah adat orang Toraja sekarang ini.
Asal-usul tentang pengertian Toraja, ada dua versi. Versi pertama mengatakan bahwa kata Toraja berasal dari kata “to” yang artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja. Jadi Toraja artinya orang-orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa Toraja berasal dari dua kata yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa Bugis) yang artinya orang-orang gunung. Jadi Toraja artinya orang-orang gunung. Kedua versi tersebut memiliki alasan yang berbeda-beda dan masuk akal.
Sejarah
1) Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self
bestur Luwu.
2) Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri berdasarkan
Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946.
3) Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarkan UU
Darurat Nomor 3 tahun 1957.
4) UU Nomor 22 tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah menjadi
Kabupaten Tana Toraja.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari Luwu. Orang Sidendereng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asalnya To= Tau (orang), Raya= dari kata Maraya (besar), artinya orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan nama Tana Toraja.




Ciri Khas Suku Toraja
Salah satu ciri khas suku Toraja adalah tempat pemakamannya. Rante, yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit, yang dalam bahasa Toraja disebut Simbuang batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang, dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.


Kesenian dan Kebudayaan

Lagu-Lagu khas Toraja

Ø Siulu’
Ø Lembang Sura’
Ø Marendeng Marampa’
Ø Siulu’ Umba Muola
Ø Passukaranku
Ø Katuoan Mala’bi’
Ø Susi Angin Mamiri
Ø Kelalambunmi Allo
Ø Tontong Kukilalai

Tarian Tradisional
- Tari Pa’gellu 
Tarian ini biasanya dibawakan oleh remaja (biasanya gadis), selama perayaan ucapan syukur, seperti pernikahan, panen, dan untuk menyambut tamu-tamu pada upacara formal. Para gadis menggunakan aksesoris yang terbuat dari emas dan perak dan terdapat dua atau empat remaja laki-laki yang memainkan genderang untuk mengiringi tarian. 
-                      Bone Balla’ or Ondo Samalele 

Para wanita dan remaja perempuan dari sebuah keluarga besar, yang baru saja menyelesaikan pembangunan 
Tongkonan mereka, menyajikan tarian ini untuk menunjukan rasa syukur mereka. Tarian ini diiringi oleh lagu yang disebut “Passengo”, sebuah musik untuk memuji Tuhan. Pada bagian akhir tarian, semua anggota keluarga ikut ambil bagian dalam tarian. 

Musik Tradisional 
-
Passuling 
Ini merupakan seruling tradisional Toraja, yang juga dikenal dengan nama “Suling Lembang”. Seruling dimainkan oleh kelompok laki-laki untuk mengiringi “Pa’Marakka” atau lagu duka yang dinyanyikan oleh para wanita. Mereka membawakan seni tradisional ini untuk menyambut tamu, yang hadir untuk menyampaikan rasa duka mereka kepada keluarga yang sedang berduka. 

- Pa’pelle/Pa’barrung 
Sebuah alat musik yang terlihat seperti terompet, terbuat dari jerami yang dirakit dengan daun kelapa. Biasanya dimainkan selama upacara pengucapan syukur setelah menyelesaikan pembangunan rumah 
Tongkonan

- Pa’pompang/Pa’bas 
Pa’pompang merupakan sebuah orkestra bambu yang dimainkan oleh murid yunior selama upacara nasional, seperti Hari Kemerdekaan, ulang tahun kota, dan festival nasional. Para murid memainkan lagu-lagu kontemporer, lagu daerah, dan lagu gereja. 

- Pa’tulali 
Sebuah alat musik bambu berukuran kecil yang dimainkan dengan cara ditiup untuk menghasilkan suara yang indah. 

- Pa’geso’geso’ 
Sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan batok kelapa dengan senar.
 







Ukiran dan Pahatan Asal Toraja
            Suku Toraja menggunakan ukiran untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial. Ukiran kayu ini juga merupakan wadah berkomunikasi orang Toraja. Ukiran kayu yang disebut Pa’ssura (tulisan) merupakan perwujudan budaya Tana Toraja.
            Ada sekitar 67 jenis ukiran dengan aneka corak dan warna pada kebudayaan Tana Toraja. Setiap ukiran memiliki nama khusus, motif hewan dan tanaman melambangkan kebijakan. Motif tanaman seperti gulma, air, serta hewan seperti kepiting dan kecebong melambangkan kesuburan.
            Selain seni ukir, dikenal seni pahat. Seni ini dapat dilihat dalam rumah tongkonan. Salah satu hasil seni pahat dalam kebudayaan Tana Toraja adalah Kabongo’, yaitu kepala kerbau yang dipahat dari kayu cendana atau kayu nangka dan dilengkapi tanduk kerbau asli.

Obyek Wisata di Tana Toraja

KE’TE’ KESU’
Ke’te’ kesu’ adalah obyek wisata yang sudah populer diantara turis domestik dan asing sejak tahun 1979 terletak dikampung Bonoran yang berjarak 4 km dari kota Rantepao, telah ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya dengan nomor registrasi 290 yang perlu dilestarikan/dilindungi. Obyek wisata ini sangat menarik, karena memilki suatu kompleks perumahan adat Toraja yang masih asli, yang terdiri dari beberapa Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura’ (lumpung padinya).
Tongkonan tersebut dari leluhur Puang ri Kesu’ difungsikan sebagai tempat bermustawarah, mengelola, menetapkan, dan melaksanakan aturan-aturan adat, baik aluk maupun pemali yang digunakan sebagai aturan hidup dan bermasyarakat di daerah Kesu’.

LONDA
Londa adalah salah satu dari sekian banyaknya obyek wisata yang menarik di Tana Toraja, yang letaknya di desa Tikunna Malenong. Londa merupakan sebuah kuburan alam berupa gua-gua batu di kaki gunung.
Di dalam gua itulah diletakkan jenazah-jenazah dalam sebuah peti yang disebut erong atau duni.erong adalah semacam peti mati yang terbuat kayu yang keras dan kuat. Bagian luar erong ditatah dengan ukiran yang indah.
Sebelum memasuki gua-gua alam, sedikit di atas gua terdapat jajaran patung yang disebut tau-tau yang dibuat dari kayu nangka agar dapat bertahan lama. Tau-tau ini merupakan duplikat dari jenazah yang dimakamkan. Dengan menghitung berapa jumlah tau-tau yang ada, dapat diketahui berapa jenazah yang dimakamkan dalam liang.
Untuk membedakan erong mana yang telah tua, dapat dilihat dari warnanya. Erong yang berwarna hitam adalah erong yang diletakkan ketika mereka masih menganut animisme dan erong yang berwarna kecoklatan adalah erong yang dimasukkan setelah masuknya agama Kristen. Jadi umurnya setua erong yang berwarna hitam. Tapi ada erong yang telah hancur sehingga kerangka-kerangka manusia berserakan di dalam gua itu.

BATU TOMANGA
Berlokasi di daerah Sesean yang beriklim dingin, sekitar 1300 m di atas permukaan laut. Di daerah ini terdapat 56 menhir batu dalam sebuah lingkaran dengan lima pohon kayu ditengahnya. Kebanyakan dari batu menhir itu berukuran dua sampai tiga m tingginya. Pemandangan yang sangat mempesona di atas rantepao dan lembah disekitarnya, dapat dilihat dari tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi.
Potensi Alam Toraja
Lampako Mampie adalah sebuah taman suaka margasatwa yang berada di Pulau Sulawesi dengan luas hampir 2000 ha. Suaka margasatwa ini tepatnya berada di bagian barat Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi pada kabupaten Polewali Mamasa. Kondisi lapangan dari taman suka margasatwa tersebut terdiri atas daerah wet land yang terdiri dari daerah berawa-rawa dengan secondary forest seluas 300 ha swamp forest dan beberapa daerah isolasi mangrove. Daerah suka margasatwa ini merupakan daerah yang sangat penting bagi tumbuhan dan hewan. Hewan utamanya adalah burung Mandar Sulawesi atau Ballidae atau Celebes Rails (Aramidopsis plateni) yang merupakan burung endemis yang hidup pada kawasan tersebut. Disamping itu, kawasan ini juga merupakan daerah untuk berkembang biak beberapa hewan lainnya, bahkan menjadi tempat persinggahan burung-burung yang bermigrasi.
Dengan melihat dari berbagai pengertian ekowisata, potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut, pengelolaan kawasan suaka yang mulai ditangani daerah dan keinginan masyarakat lokal untuk dapat membangun sebuah kawasan yang berasaskan lingkungan hidup, sehingga timbulah keinginan masyarakat daerah tersebut untuk dapat mengelola langsung kawasan suaka ini dengan tetap memperhatikan alam, disamping mereka juga mendapatkan insentif secara ekonomis untuk kelangsungan anak.


Sistem Kekerabatan
            Siulu (keluarga batih) merupakan unsur terkecil dalam sistem kekerabatan masyarakat Toraja. Di samping itu di kenal pula keluarga luas extended yang terdiri dari beberapa keluarga batih, yang masih seketurunan. Hubungan kekerabatan dapat terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu:
1.    Adanya pertalian darah (kandappi)
2.    Melalui perkawinan (rampean)
Untuk menjaga kelangsungan hubungan kekerabatan dilakukan dengan cara menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Misalnya hak penguasaan atas tanah, harta, kedudukan, dan sebagainya. Di samping itu kewajiban-kewajiban dari setiap kelompok kekearabatan harus dilaksanakan, misalnya yang dapat diketahui pada saat pembuatan rumah tongkonan secara bergotong royong, saling bantu dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat terutama upacara rambu solo’, mengerjakan sawah, panen, dan lain-lain. Dalam hal ini fungsi utama suatu keluarga adalah menanamkan nilai-nilai budaya yang berlaku kepada para anggotanya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya.
Sifat kekerabatan orang Toraja adalah parental. Kalau terjadi perceraian, anak – anak dapat ikut ayah atau ibu untuk menjamin kelangsungan hidup anak – anak sampai dewasa. Mengadopsi anak dibenarkan oleh hukum adat dan anak tersebut berhak warisan dari yang mengangkat anak tersebut.
Tanah milik usaha keluarga atau tanah milik TONGKONAN tidak boleh diwariskan, dan siapa yang membangun TONGKONAN, dialah yang menguasai tanah itu. Anggota keluarga yang lain dapat menggarap tanah tongkonan. Pada mulanya, orang toraja memakai nama diri sendiri. Tidak memakai nama keluarga, akan tetapi orang Toraja terutama golongan bangsawan memakai nama keluarga dan kebanyakan mengambil nama dari keluarga ayah. Namun, dari nama keluarga ibu dapat juga diambil sebagai nama keluarga. Misalnya, banyak orang Toraja bernama SAMPE, dan kalau nama keluarga ayah misalnya LANGI’ jadi bernama SAMPE LANGI’. Kalau nama ibu misalnya LINO dapat juga dipakai SAMPE LINO. Orang Toraja termasuk bagian ras suku proto Malaya seperti misalnya orang TOLOTANG, orang batak di Sumatera Utara, orang dayak di Kalimantan.
Pernikahan dan Perbatasan Jodoh
Pada prinsipnya pesta perkawainan orang pelajar adalah sederhana. Mengingat bahwa hanya upacara penguburan yang dapat di adakan sebesar kemampuan seseorang. Pada upacara pesta perkawainan jarang orang memotong kerbau, ada yang menganggap tabu tapi ada pulana yng di bolehkan oleh adat.
Perkawinan di padang sebagai batu ujian pertama untuk mengarungi penghidupan rumah tangga. Karna itu, prinsip berdikari pada pesta perkawinan tetap di hargai. Kehidupan baru tidak di mulai dengan kemewahan menikmati serba hadia hasil kringat kawan dan handai taulan tetapi kedua pengantin  harus belajar memutar otak untuk brusaha hidup dan mengidupi rumah tangganya sendiri. Hadiah perkawinan dari handai taulan hanyalah restu belaka atau untuk dimakan sendiri. Hal ini berlaku pula bagi yang ingin mengadakan haru ulang tahun. Sumbangan hanya diberikan kepada yang berduka dan tidak membantu pada orang yang mengundang untuk bergembira atau yang mengadakan pesta.
Biaya perkawinan di tanggung oleh yang bersangkutan kalau sudah ada mata pencarian sendiri. tetapi kalau belum mampu biaya tersebut dipikul bersama oleh kedua belah pihak orang tua laki-laki dan orang tua perempuan dengan asas musyawarah tanpa memberatkan satu sama lain. Keluarga terdekat pun dapat memberikan sumbangan ke keluarga yang terbatas. Biaya perkawinan tidak boleh diberatkan pada pengantin laki-laki karna kalau terjadi demikian akan timbul penilaian negatif terhadap pihak permpuan.
Tempat perkawinan di adakan di rumah orang tua perempuan dan setelah perkawinan di resmikan, mereka dapat tinggal untuk sementara di rumah orang tua perempuan atau pindah dan tinggal untuk sementara di rumah orang tua laki-laki. Hidup dengan mertua adalah sesuatu yang tidak terpuji, karena itu sedapat mungkin pengantin baru mengusahakan tempat baru untuk dapat berusaha sendiri dan dapat mengatur rumah tangga sendiri.
            Perkawinan pada umumnya didahului dengan pihak laki – laki mengadakan lamaran setelah dapat yakin lamaran akan diterima oleh pihak perempuan. Menurut adat, seorang anak bangsawan kawin dengan anak golongan terendah seperti anak turunan hamba. Perkawinan tidak dapat diadakan antara tosisallang. Yaitu ada diantara keluarga laki – laki atau keluarga perempuan pernah saling membunuh.
            Umur kawin, umumnya antara 17 dan 18 sampai 20 tahun. Prinsip monogami adalah yang terbaik namun poligami sering juga terjadi pada golongan bangsawan yang kaya.
Perkawinan selalu didahului dengan ikatan sanksi adat yang disebut :
TANA’ dalam bahasa Toraja. Ada 4 tingkatan Tana’ (ikatan perjanjian) :
1.                  Tana’ kua – kua untuk keluarga terendah, tingkat sosial atau golongan hamba. Ikatan perjanjian adat satu ekor babi.
2.                  Tana’ karurung untuk golongan biasa dengan dua ekor kerbau.
3.                  Tana’ bassi untuk golongan bangsawan dengan enam ekor kerbau.
4.                  Tana’ bulaan untuk golongan bangsawan tinggi dengan 24 ekor kerbau.
Kalau pihak laki – laki yang menjadi penyebab perceraian maka dialah yang membayar Ikatan Tana’ sebesar yang telah ditentukan tingkat sosial masyarakatnya. Kalau pihak wanita yang menjadi penyebab perceraian maka dialah yang harus membayar ikatan Tana’ kepada pihak laki – laki.

Rumah Tangga dan Keluarga Inti
Rumah tangga dan keluarga Inti (nuclear family) masyarakat Toraja adalah Monogami, yaitu terdiri dari seorang suami, seorang isteri dan anak-anak yang belum menikah.

Kelompok – kelompok Kekerabatan
Orang Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya baik dalam aktivitas pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap, maupun tutur bahasa masing-masing mempunyai disiplin sendiri.
                Tingkatan pertama TOKAPUA (TANA’ BULAAN). Tingkatan ini adalah golongan rulling class dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat, dan pemuka masyarakat. Banyak istilah dalam bahasa Toraja untuk menyebutkan golongan ini. Istilah itu seperti: ANAK PATALO, KAYU KALANDONA TONDOK, TODI BULLE ULUNNA, dan lain sebagainya. Semua istilah tidak lazim dipergunakan dalam bahasa sehari-hari tetapi dipakai dalam acara resmi atau pertemuan formil lainnya. Kata TOKAPUA juga tidak dipakai dalam bahasa sehari-hari, biasa diganti dengan kata TOSUGI’ kalau golongan bangsawan itu termasuk kaya. Bahasa sehari-hari untuk golongan TOKAPUA ini berlainan di tiap tempat di Toraja. Di daerah bagian selatan yang dikenal dengan nama TALLU LEMBANGNA yang mencakup Makale, Sangalla dan Mengkendek, golongan Tokapua disebut PUANG misalnya PUANG MAKALE, PUANG SANGALLA, dan PUANG MENGKENDEK. Di daerah barat Toraja, golongan Tokapua disebut MA’DIKA seperti MA’DIKA ULUSALU. Di daerah bagian Tengah Toraja, golongan Tokapua disebut SIAMBE’ untuk laki-laki dan SINDO’ untuk perempuan, misalnya SIAMBE’ DO BUNTUPUNE, SIAMBE’ lan TANDUNG LA’BO, SINDO’ lan NANGGALA, SINDO’ dio KE’TE’, dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut adalah pusat keluarga bangsawan. Di Daerah bagian Utara, golongan Tokapua disebut PUANG seperti PUANG SA’DAN, PUANG BALUSU. Ada juga bagian daerah yang menyebut golongan bangsawan ini dengan PONG, seperti PONG TIKU di Pangala’, PONG MASANGKA di Bori’. Pada umumnya, golongan bangsawan ini memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak dahulu dan mereka pula yang menguasai tanah persawahan di Tana Toraja 10%.
                Golongan menengah masyarakat Toraja disebut TOMAKAKA (TANA’ BASSI). Golongan ini erat hubungannya dengan golongan TOKAPUA. Mereka adalah golongan bebas, mereka juga memiliki tanah persawahan namun tidak sebanyak yang dimiliki golongan bangsawan. TOMAKAKA yang tidak memiliki harta benda disebut TOMAKAKA KANDIAN. Persentase TOMAKAKA dalam masyarakat sekitar 20%.
                Golongan terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja adalah TOBUDA (TANA’ KARURUNG – TANA’ KUA-KUA). Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka adalah penggarap tanah bangsawan, kaum tani dan pekerja yang ulet, tekun dan hidup sangat sederhana. Mereka adalah golongan termasuk golongan KAUNAN atau golongan budak dahulu. Semua kaum bangsawan mempunyai lusinan budak. Golongan hamba ini adalah yang paling dipercaya atasannya karena nenek mereka telah bersumpah setia turun temurun, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Mereka ada sekitar 70% dari masyarakat. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi seperti TOKAPUA dan TOMAKAKA.


Pertanian
            Pada umumnya, sumber mata pencaharian orang Toraja ialah bercocok tanam, memelihara binatang ternak seperti ayam, itik, babi, kerbau, ikan mas dan mengusahakan kerajinan tangan seperti mengukir, menganyam, membuat sepatu, membuat kursi rotan dan menenun kain. Hasil utama pertanian daerah ini adalah padi, kopi, jagung, kentang, kacang-kacangan dan cengkeh.
            Areal pertanian tidak begitu luas disbanding jumlah penduduknya. Hasil pertanian yang berarti ialah padi, jagung, ubi – ubian, kacang – kacangan, kentang dan sayur – sayuran. Tanaman komoditi yang berarti ialah kopi, kentang, kacang ijo dan kedele, juga cengkeh mulai membawa harapan.





Peternakan
            Peternakan babi merupakan Home Industri di Toraja. Kebutuhan daging untuk kota Ujung Pandang dan Pare – Pare hampir seluruhnya disuplai dari Tana Toraja. Peternakan kerbau sudah agak terdesak dengan perkebunan rakyat menanam cengkeh. Peternakan itik dan ayam juga cukup lumayan. Kambing dan sapi jarang dipelihara, demikian halnya dengan kuda. Orang Toraja tidak suka makan daging kambing dan kuda.
Pesta Pernikahan
Perkawinan Adat Toraja yang disebut Rampanan Kapa' merupakan prosesi adat yang sangat dimuliakan masyarakat Toraja, karena merupakan bagian terbentuknya susunan pondasi kebudayaan suku Toraja. Tampak perbedaan yang jelas antara prosesi adat perkawinan Toraja dengan perkawinan di daerah lain. Karena bukanlah penghulu agama yang mensyahkan perkawinan itu ,tetapi dilaksanakan oleh Pemerintah Adat yang dinamakan Ada’ dan perkawinan itu diatur oleh peraturan dari ajaran adat Aluk Todolo yang disebut Aluk Rampanan Kapa’. Prosesi perkawinan di Toraja terlaksana karena adanya persetujuan kedua belah pihak, kemudian disyahkan dalam perjanjian disaksikan oleh pemerintah adat dan seluruh keluarga.
Dari jauh sudah tampak Mobil Pendoloan, yaitu mobil khusus yang berjalan didepan Mobil Pengantin, memasuki lokasi pesta. Mobil Pendoloan itu diikuti oleh Mobil Pengantin dibelakangnya kemudian berhenti tidak jauh dari pusat pesta, untuk menurunkan pengantin dan rombongan yang menyertainya.
Pengantin lelaki kemudian membawa pengantin perempuan menuju Gereja untuk disyahkan secara agama , kemudian kembali ke lokasi pesta. Pada saat menuju lokasi pesta, di depan ada pasukan yang membawa Doke semacam Tombak, kemudian disusul dengan barisan pagar ayu yang berbaju adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang. Ada dua warna baju para pagar ayu, yaitu merah dan putih, kemudian di belakang mereka berjalanlah pasangan pengantin dengan diiringi oleh Payung Kebesaran, selanjutnya menyusullah para keluarga dari keluarga kedua mempelai. Kedua mempelai itu berjalan menuju kursi pelaminan yang telah disediakan.
Peristiwa Bencana Alam atau Kematian
Masyarakat Toraja gotong royong dalam membantu masyarakat lain yang terkena musibah. Tanpa pemberitahuan atau permintaan bantuan, masyarakat Toraja memiliki inisiatif tersendiri untuk saling membantu. Masyarakat Toraja memiliki rasa kepedulian yang sangat tinggi.
Sistem Religi
Kepercayaan Orang Toraja
            Orang Toraja mempunyai agama sendiri dan mereka mempertahankan sampai sekarang. Kepercayaan ini disebut ALUK TODOLO, penganutnya masih banyak dibagian pelosok Tana Toraja. Pada saat sekarang ini  sudah sebagian besar orang Toraja yang menganut agama Kristen dan Islam. Orang Toraja Kristen yang tinggal di Toraja masih tetap menghargai tradisi dan adat istiadat Toraja sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama yang dianutnya. Penganut agama Kristen jumlahnya sekitar 55% dan penganut ALUK TODOLO  sekitar 40% dari orang Toraja.
Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan aluk todolo umumnya selalu diadakan di Tana Toraja adalah berhubungan erat dengan upacara keagamaan atau acara adat dengan memotong ayam, babi, atau kerbau. Kehidupan masyarakat Toraja sepanjang tahun terlibat dalam upacara keagamaan seperti pesta panen padi, pesta rumah adat dan pemakaman orang mati.
Upacara keagamaan itu terbagi dua :
1.                  Upacara Rambu Tuka atau Aluk Rampe Matallo.
Upacara rambu tuka ialah menyembah kepada Dewata dan Puang Matua dengan memotong ayam, babi, atau kerbau dibawah pimpinan Tominaa. Upacara ini disebut rambu tuka sebagai bahasa sastra yang mengidentikkan sebagai upacara syukur yang mennggembirakan atau yang baik – baik. Upacara rambu tuka sering disebut juga aluk rampe matallo atau upacara keagamaan yang dilaksanakan pada pagi hari di bagian timur dari letak rumah. Pemimpin agama selalu menghadap ke timur, mempersembahkan korban yang dibawakan.
Upacara Rambu Tuka’ antara lain :
a.                   Mangrara Bauna
Pembangunan rumah Tongkonan yang dibiayai oleh biaya bersama atas nama keluarga, diadakan pesta yang dihadiri oleh seluruh keluarga yang masing – masing anggota memotong seekor babi besar. Pada upacara ini, diadakan macam – macam tarian adat seperti Ma’gellu tarian daobulan dan lain – lain.
b.                  Ma’bugi’
Upacara syukuran dalam kampung sesudah panen disebut Ma’Bugi’. Ma’Bugi’ juga diadakan untuk syukuran kampung sesudah terjadi wabah penyakit agar tidak terulang lagi. Kalau ada orang mati dalam kampung yang belum dikuburkan, tidak boleh diadakan Ma’bughi’. Orang kampung memotong ayam, dan memasak nasi ketan dalam bamboo kemudian dimakan bersama dengan minum tuak (nira).
c.                   Maro
Pesta maro diadakan untuk menyembuhkan orang sakit yang diganggu roh halus. Maro dapat juga diadakan pada saat acara mangrara banua. Uniknya, cara menyembuhkan orang sakit pada upacara ini yaitu dengan setiap malam dikelilingi oleh orang yang mengadakan tarian maro. Ditengah kerumunan massa yang menari pada malam hari, setelah orang sakit sudah mendapat keringat dan sudah beberapa orang dukun kemasukan roh halus, maka pengobatan diadakan dengan darah yang menetes dari dahi dukun dan darah yang diambil dari lidah dukun yang dilukai. Luka – luka dukun akan segera sembuh sesudah mengadakan kontak dengan “Dewata” dengan mempergunakan daun pohon “tabang”. Proses ini berlangsung tiap malam selama acara maro berlangsung sampai orang sakit sembuh.
Contoh lagu Maro :
Padu’ku lalongmi api, patibarrakmi ruaya
Soyananmi tanduk balo, tendengmi ma ‘lana – lana
Tiromi a ‘ganna londong, pasiruanna muane
To aluk misa – misanna

Deatai randan langi, puangri lelean uran
Tia’ langkan moko mai, laying kaluppini’ moko
Rorak manuk manuk moko
Anmu sumare book ‘ku, anmu tulak tingayona
Ullangda’ pa ‘pioanku.
Mupatumbang pia ona’, mulangi’ balaiona
Lungsu’ sala – sala ona’
Angku dido ‘domo tumbang, anku dipakaulemo
Lele tangdi tongananamo’
Artinya :
Minta api dinyalakan pada malam gelap gulita ini
                      Untuk menerangi kegelapan malam
                      Lihatlah ia laki – laki jantan
                      Dengan gaya ajaib yang tidak ada bandingannya

                      Dewata yang bersemayam di upuk timur
                      Tuhan yang bertahta di kawasan sana
                      Datanglah kemari terbang bagaikan burung elang
                      Melayang kearibaanku bagaikan burung merpati
                      Bantu dan kuatkanlah aku, dalam kewajiban baktiku

d.                  Merok
Suatu pesta besar yang diadakan sebagai kelengkapan dari pesta upacara kematian seorang bangsawan yang diadakan kalau keluarga yang bersangkutan sudah merasa mampu. Acara merok brelangsung beberapa hari dan setiap malam para pemimpin agama aluk todolo berkumpul menginpentarisir segala atribut dan seluk beluk adat untuk diperbarui dalam pikiran. Seekor kerbau dipotong sebagai persembahan kepada Puang Matua dan malam hari sebelum hari terakhir, kerbau ini ditingga’ / disomba mengenai asal mula makhluk diciptakan oleh Puang Matua melalui sauna sibarrung dimana nenek manusia, nenek kerbau dan aluk diadakan. Untuk itulah kerbau dipelihara untuk dikembalikan pada fungsinya sebagai hewan korban.
Pesta morok dapat juga diadakan sebagai syukuran besar dari satu keluarga bahagia karena kaya. Pesta morok diadakan di beberapa tempat untuk acara rumah tongkonan.
e.                   Ma’sassiri
Pesta panen sebagai penutup dari upacara orang mati yang tergolong menengah, upacara pemakaman golongan menengah diakhiri dengan ma’sassiri yaitu 2 atau 4 ekor babi dipotong.
f.                   Ma’bua
Ini adalah pesta adat rambu tuka yang paling menarik dan paling besar, tetapi tidak semua daerah lingkungan adat adat mengadakan pesta ma’bua ini. Pesta ma’bua hampir tiap tahun diadakan oleh keluarga yang mampu. Anak gadis diberi pakaian lengkap dan menjadi tontonan yang menarik. Yang lebih menarik pada upacara ini adalah saat membawa obor api pada malam hari.
g.                  Ma’bate
Sebagai lanjutan dari pesta marok dan pesta ma’bua, pada hari terakhir penutupan acara, semua orang kampung pergi ke tempat terbuka berpesta ria dengan memotong babi dan ayam. Di tempat terbuka ini, didirikan menara tinggi yang dihiasi dengan kain MAA’, semacam kain ikat antic dan parang antic yang khusus, yakni parang yang dulu digunakan untuk peperangan. Baik kain MAA’ maupun parang antic (La’bo’ Todolo) sudah jarang ditemukan karena hampir punah di Toraja. Kain dan parang ini dibeli turis asing untuk benda souvenir, diboyong pulang ke Eropa atau Jepang. Setelah selesai acara makan di arena terbuka, diadakan tarian adat seperti tarian Ma’dandan, tarian Ma’gellu dan tarian Maro.
h.                  Sisemba’
Pesta panen, suatu atraksi massal, perkelahian antar kampung yang mempergunakan kaki, tidak boleh mempergunakan tangan dan senjata lain. Tiap kampung menurunkan jago – jago sembak di arena terbuka. Sisemba mempunyai pula syarat – syarat lain : Tidak boleh menyepak lawan yang jatuh atau yang sudah menyerah. Kalau lawan pingsan atau patah tulang harus segera diberi pertolongan.
1.                  Upacara Rambu Solo atau Aluk Rampe Matampu’
Upacara ini adalah semua upacara keagamaan yang mempersembahkan babi dan kerbau untuk arwah leluhur atau untuk orang yang meninggal dunia seperti upacara pemakaman secara adat, upacara ma’nene’. Upacara ma’nene’ adalah upacara memotong babi atau kerbau untuk orang yang sudah dikuburkan bertempat di pemakaman liang batu.
Kematian membawa malapetaka, penderitaan batin keluarga yang ditinggalkan dan bukan itu saja, tetapi membwa konsekuensi tanggung jawab solider seluruh anggota keluarga dan persyaratan agama dan adat yang harus dipenuhi agar jiwa seseorang akan damai dan selamat meninggalkan dunia yang fana ini menuju ke dunia yang tentram di Puya.
Dengan memberikan segala pengorbanan materi yangs anggup disediakan, anggota keluarga merasa menunaikan kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dapat dielakkan selama anggota keluarga itu masih bersedia mengikuti tradisi adat, agama, dan persentase keluarga di mata orang di kampung.
Hampir seluruh kehidupan masyarakat Toraja difokuskan untuk upacara sesudah meninggal dunia, namun dalam melaksanakan upacara pemakaman secara adat dan terbuka, bergantung dengan kedudukan dalam masyarakat dan kemampuan seseorang.
Tingkat – tingkat upacara pemakaman dalam aluk todolo :
a.                   Disilli : upacara pemakaman yang paling sederhana. Dulu, orang miskin dari tingkatan budak sering dikuburkan dengan cara yang menyedihkan, misalnya dengan hanya membekali mayat dengan  telur ayam, tetapi sekarang rata – rata keluarga menguburkan orang mati dengan memotong seekor babi. Upacara penguburan disilli adalah aluk golongan masyarakat budak, terutama untuk menguburkan anak yang belum dewasa.
Anak yang lahir dan meninggal ditanam bersama urihnya tanpa upacara keagamaan. Sedangkan, anak yang meninggal sebelum giginya tumbuh, dimasukkan ke dalam pohon kayu besar dengan upacara sederhana dan tanpa pembalut kain.Pohon tempat penguburan ini disebut LIANG PIA atau PASSILLIRAN. Kedua cara penguburan ini, berlaku bagi semua golonga, baik golongan bangsawan maupun golongan rendahan.
b.                  Dipasangi Bongi
Upacara penguburan orang mati yang acaranya hanya satu malam di rumah dan hanya seekor kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini bagi orang tua dari golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu ekonominya.
c.                   Dipatallung Bongi
Upacara penguburan ini berlangsung selama tiga malam di rumah. Empat ekor kerbau dipotong dan babi sekitar sepuluh ekor. Hari kedua, tamu datang membawa sumbangan berupa babi, tuak, dan umbi – umbian. Beberapa tempat nasi tidak boleh dimakan di tempat itu dan semua keluarga terdekat mempunyai kewajiban untuk pantang makan nasi selama berlangsungnya upacara dan beberapa hari sesudah upacara. Selama tiga malam berturut – turut diadakan acara ma’badong.
d.                  Dipalimang Bongi
Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima hari lima malam. Hari ketiga adalah hari penerimaan tamu. Tamu atau kenalan mendapat kesempatan membawakan sumbangan berupa minuman tuak, buah – buahan, umbi – umbian, kerbau, rokok ataupun  gula pasir.
Sembilan ekor kerbau dan puluhan ekor babi dipotong. Patung orang yang meninggal itu dibuat dari bamboo. Patung itu disebut TAU – TAU LAMPA. Tau – tau ini dihiasi dengan pakaian adat tetapi pada waktu hari penguburan, pakaian dan perhiasan diambil kembali.
Tidak semua kampung mengadakan pemakaman seperti ini. Upacara pemakaman ini merupakan upacara tingkat yang paling tinggi.
Pada malam terakhir diadakan persiapan untuk satu acara khusus yang disebut acara MA’PARANDO, dimana semua cucu almarhum yang sudah gadis, diarak pada malam hari, duduk diatas bahu laki – laki dengan perhiasan semacam pakaian penari yang terdiri dari perhiasan emas goyang dan kandaure. Mereka dibawa keliling rumah tiga kali dengan memakai obor. Para penonton memuji kecantikan gadis, namun adapula yang mencemoohnya. Orang yang mencemooh tidak dimarahi selama masih dalam batas – batas norma kesusilaan. Sepanjang lima malam selalu dilakukan ma’badong. Seluruh anggota keluarga berpantang tidak makan nasi sampai seluruh embel – embel acara selesai.
e.                   Dipapitung Bongi
Upacaranya 7 hari 7 malam. Setiap malam dan setiap hari ada acara pemotongan kerbau dan babi. Keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Acara hari penerimaan tamu lebih meriah banyak babi dipotong, kerbau 9 sampai 20 ekor. Kepala kerbau diperuntukkan bagi rumah tongkonan dan daging kerbau diberikan kepada tamu dan penduduk desa.
f.                   Dirapai
Upacara penguburan orang mati yang paling mahal ialah mangrapai karena dua kali diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah tongkonan dan kemudian diistirahatkan satu tahun, baru upacara kedua diadakan. Upacara pertama dalam bahasa daerah disebut dialuk pia. Pada upacara kedua, orang mati diarak dengan pikulan ratusan orang dari rumah tongkonan ke rante (tempat upacara kedua). Upacara ini disebut ma’paolo / ma’pasonglo’. Orang mati dibungkus kain merah dilapisi emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan yang dihiasai emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang berhias yang siap untuk diadu satu lawan satu. Setelah tiba dir ante, mayat dinaikkan ke satu bangunan tinggi khusus tempat orang mati itu (lakkian). Acara – acara lain menyusul, seperti acara adu kerbau, acara sisemba, dan acara tari – tarian.
Dirapai dibagi menjadi tiga :
1.                  Rapasan dilayu-layu dengan target terendah dua belas ekor kerbau.
2.                  Rapasan sundun dengan target minimum 24 ekor kerbau yang dipotong.
3.                  Rapasan sapurandanan dengan jumlah kerbau yang dipotong paling rendah 30 ekor.
Ketiga type rapasan ini memotong babi ratusan ekor dan puluhan kerbau belang yang mahal harganya.
Pada rapasan sapurandanan, kerbau yang dipotong terdiri dari semua warna bulu kecuali warna kerbau putih (tedong bulan). Jenis kerbau dan tingkatan nilanya :
1.                  Tedong bulan (kerbau putih), tidak termasuk penilaian.
2.                  Tedong sambao’ (kerbau abu - abu), dinilai paling rendah.
3.                  Tedong todi’, berwarna putih sediikit di antara dahi dan tanduk.
4.                  Tedong pangloli, berwarna putih pada ujung ekor.
5.                  Tedong pudu’, berwarna hitam.
6.                  Tedo bonga sori dan kapila, berwarna belang pada bagian kepala.
7.                  Tedong bonga dan saleko, berwarna belang, bernilai paling tinggi.
Selain itu,  kerbau dinilai dari bagusnya tenduk dan kegemukan badannya. Kerbau belian dan kerbau sambo ra’tuk termasuk yang mahal harganya. Balian ialah kerbau yang dikebiri dan panjang tanduknya. Sedangkan kerbau sambo’ ratuk berwarna putih bintik – bintik di seluruh badan.
Peralatan Upacara Keagamaan
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya. Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau, Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya,
Sedangkan penggunaan musiknya yaitu Musik suling, nyanyian, lagu, puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman dalam "masa tertidur"




Kelompok / Umat Keagamaan
Pada awalnya, masyarakat Toraja menganut kepercayaan Aluk Todolo. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat Toraja sudah mulai menganut agama, seperti agama Kristen, Hindu, bahkan Islam. Hingga kini, pada umumnya masyarakat Toraja menganut agama Kristen. Penganut Aluk Todolo sekitar 55% dan penganut agama Kristen sekitar 40%.

























BAB III
 PENUTUP

Kesimpulan
Sebenarnya Indonesia memiliki ragam kebudayaan dan suku-suku didalamnya, tetapi banyak masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan apa saja yang ada dinegerinya. Salah satu contohnya adalah Toraja, suku yang berdiam di provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan yang unik. Dari mulai suku-suku, bahasa, adat perkawinan, upacara adat kematian, makanan khas, dan objek wisata yang beragam dan unik.

Saran/info
Kebudayaan Indonesia yang beragam seharusnya tidak kita sia-siakan begitu saja, sebagai bangsa yang mencintai tanah air, kita harus mampu melestarikan kebudayaan-kebudayaan bangsa. Jika kita tidak mampu melestarikannya, kebudayaan yang kita miliki semakin lama akan semakin punah. Oleh sebab itu, kita harus dapat mempelajari sedikit banyaknya tentang kebudayaan-kebudayaan daerah, biarpun kebudayaan tersebut bukan berasal dari daerah kita.
















Daftar Pustaka
Anjungan Toraja – Taman Mini Indonesia Indah
Ragam Budaya Daerah
























Lampiran

             

   




      

      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar