Cari Blog Ini

Sabtu, 15 Maret 2014

makalah hukum perdata



BAB I
Pendahuluan

Latar belakang
 Terbentuknya  suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga Keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
Sedangkan definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi  karena pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting karena ada sangkut  paut nya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan.
Perkawinan sebagai peristiwa hukum tentu memiliki akibat hukum. Perkawinan di Indonesia mempunyai akibat yaitu timbulnya hubungan antara suami istri, timbulnya harta benda dalam perkawinan, dan timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Hubungan antara anak dan orangtua akan timbul sejak dilahirkan. Anak yang memiliki hubungan sah menurut hukum akan memiliki hak yang dilindungi. Namun jika diperlukan dalam kasus tertentu bayi dalam janin bisa dianggap subjek hukum. Berlakunya seorang manusia sebagai subjek hukum dimulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat seorang meninggal dunia. Namun “Anak yang ada dalam kandungan ibunya dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan di anak menghendaki”.

 Pengertian hukum keluarga
            Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata  familierecht (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat. Ali affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Adapun pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
a.   Van Apeldoorn
                 Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.
b.  C.S.T Kansil
         Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari
pergaulan hidup kekeluargaan.
          c.    R. Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan
hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
                 
Sumber Hukum Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan sumber hukum tak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini :
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  2. Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdehuwelijk), Stb. 1898 Nomor 158.
  3. Ordonasi perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon, Stb.1933 Nomor 74.
  4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam).
  5. UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
  6. PP Nomor  9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  7. PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Selain dari yang ke-7 ini yang menjadi sumber hukum keluarga tertulis adalah Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam saja.

Asas-Asas Hukum keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor 1 tahun 1974 dirumuskan beberapa asas yang cukup prinsip dalam Hukum Keluarga, yaitu:
a)      Asas monogamy, asas ini mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami.
b)      Asas konsensual, yakni asas yang mengandung makna bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat persetujuan atau consensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan.
c)      Asas persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan harta benda yang dimilikinya. (Pasal 119 KUHPerdata).
d)     Asas proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat. ( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan).
e)      Asas tak dapat dibagi-bagi,yaitu suatu asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya terdapat seorang wali.




BAB II
Permasalahan

Hak-hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang Undang pokok perkawinan No.1 tahun 1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua.
Ketentuan hukum tentang kekuasaan orang tua dapat diperoleh dalam pasal 298 sampai 329 BW., terbagi dalam 3 bagian:
1. Kekuasan orang tua terhadap diri anak ( pasal 298-306 BW )
2. Kekuasan orang tua terhadap harta benda anak (PasaI 307-319 BW)
3. Hubungan orang tua dan anak tanpa memandang umur anak dan tak terbatas pada orang tua itu saja, tetapi meliputi pula nenek pihak ayah dan ibu (PasaI 320-329 BW).
Kekuasaan orang tua adalah kekuasaan, kewajiban-kewajiban terhadap anak mereka yang sah yang masih dibawah umur sampai anak tersebut dewasa dan juga sampai anak tersebut melangsungkan perkawinan. Kekuasaan dan kewajiban menyangkut tentang diri pribadi ataupun mengenai harta kekayaan selama perkawinan berlangsung. Didalam menjalankan kewajiban, jika orang tua tersebut menjalankan tugasnya tidak secara wajar dan tidak sebagaimana mestinya maka orang tua tersebut dapat dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua demi untuk kepentingan anak-anak.
Menurut pasal 299 BW selama perkawinan berlangsung maka selama anak-anak masih dibawah umur adalah berada dibawah kekuasaan orang tua. Selama salah seorang dari ayah dan ibu belum atau tidak dipecat dari kekuasaan orang tua.
Prinsip-prinsip Kekuasaan Orang Tua :
1.      Kekuasaan itu adalah kekuasaan kedua orang tua yang bersifat kolektif
2.      Kekuasaan itu hanya ada selama perkawinan berlangsung
3.      Kekuasaan itu berlangsung selama kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua orangtua terhadap anak-anaknya rnasih dilaksanakan secara wajar.
Menurut pasal 300 ayat 1 pada dasarnya kekuasaan dilakukan oleh suami. Dalam hal orang tua bercerai kekuasaan rnenjadi kekuasaan perwalian. Di dalam Undang-undang sebenarnya tidak memberikan perincian, maksud disini meliputi semua bidang si anak seperti memberi nafkah, mengenai harta kekayaan si anak dan menikmati hasil dari kekayaan si anak.
Dalam hal bapak tidak boleh melakukan kekuasaan orang tua itu maka ibulah yang melakukannya (pasal 300 ayat 2 BW). Sedang jika si ibu tidak dapat rnelakukan kekuasaan orang tua itu, maka pengadilanlah yang akan rnenentukan atau mengangkat seorang wali (Pasal 300 ayat 3 BW). Jadi sekalipun asasnya itu sama, akan tetapi sesungguhnya hal itu hanya merupakan kesamaan diatas kertas saja, sebab menurut pasal 300 ayat 1 BW yang melakukan kekuasaan orang tua itu adalah bapak.
Ketentuan ini diadakan oleh karena ada kekhawatiran, bahwa tidak akan ada persesuaian pendapatan antara bapak dan ibu, sehingga akhirnya hakimlah yang harus turut campur. Ikut campur pihak ketiga ini dirasakan kurang baik. Maka dari itu ditentukan bahwa bapaklah yang dapat menentukan tentang pendidikan dan memberikan nafkah kepada anaknya. Terhadap anak-anak luar kawin wajar tidak ada kekuasaan orang tua, sebab tidak ada perkawinan ( pasal 306 BW ).












Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW) yang sebenarnya merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, padahal sistem hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan (muamalat). Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke Voogdij).
Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve voogdij). Tetapi ada juga kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair voogdij).
Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan tertentu menurut undang-undang dibenarkan untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan oleh penulis, maka penulis dapat mengambil rumusan dari permasalahan mengenai kekuasaan orang tua dan perwalian yaitu :
1.      Bagaimana kekuasaan orang tua terhadap harta benda dan diri anak menurut kitab undang-undang hukum perdata dan menurut undang-undang pokok perkawinan no.1 tahun 1974 ?
2.      Apa yang menyebabkan terjadinya perwalian dan Bagaimana ketentuan perwalian di atur menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan kitab undang-undang hukum perdata ?


BAB III
Pembahasan

1.     Kekuasaan Orang Tua Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kekuasaan orang tua menurut Undang-undang hukum perdata meliputi 3 bagian yaitu:
  Kekuasaan orang tua terhadap diri anak
Pasal 299 BW menentukan bahwa selama perkawinan orang tua masih berlangsung, maka anak-anak berada dalam kekuasaan orang tua sampai anak itu menjadi dewasa, selama kekuasaan orang tuanya itu tidak dicabut (ontzet) atau dibebaskan (ontheving). Dengan demikian kekuasan orang tua itu mulai berlaku semenjak anaknya lahir atau semenjak pengesahan anak, dan akan berakhir apabila anak, menjadi dewasa, kecuali apabila perkawinan orang tua itu bubar atau kekuasaannya dicabut atau dibebaskan.
Apabila kita bertitik tolak dari pasal 299 BW diatas, maka sesungguhnya dari pasal itu dapat disimpulkan 3 asas yaitu :
a)    Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua
Kekuasaan orang tua itu dimiliki oleh kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, tetapi lazimnya dilakukan oleh ayah, kecuali jika ia dicabut atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua, atau berada dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Ibu baru dapat menjalankan kekuasaan orang tua, apabila bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti karena sakit keras, sakit ingatan,sedang berpergian, selama mereka tidak berada dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Mana kala ibu juga tidak mampu melakukannya, maka oleh pengadilan negeri diangkatlah seorang wali.

b)  Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka, apabila perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hilang.
Sebagaimana telah diketahui bahwa apabila perkawinan bubar, maka berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur. Hal ini tiada lain dari konsekuensi menunjukkan asas bahwa kekuasaan orang tua hanya ada selama ada perkawinan orang tua itu sendiri.
Dengan perkataan lain apabila pada saat bubarnya perkawinan masih ada anak yang belum dewasa, maka pada saat itu kekuasaan orang tua menjadi perwalian yang akan ditunjuk berdasarkan kepentingan anak yang masih belum dewasa.

c)  Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas alasan-alasan tertentu.
Di Indonesia pembatasan terhadap kekuasaan orang tua yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu adalah pencabutan dan pembebasan kekuasaan orang tua. Di Indonesia karena belum ada hakim khusus untuk anak-anak, maka baik pencabutan ataupun pembebasan kekuasaan orang tua dimintakan kepada hakim perdata. Dan pencabutan itu dapat dilakukan bukan saja terhadap salah satu dari mereka, melainkan dapat keduanya baik terhadap salah seorang atau terhadap semua anak-anak.

 Kekuasaan orang tua terhadap harta benda anak
a)      Pengurusan
Pengurusan ada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, yang pada umumnya pada bapak dengan maksud agar anak itu diwakili dalam segala tindakannya yang masih dianggap tidak cakap. Pasal 307 BW mengatakan, bahwa siapa yang melakukan kekuasaan orang tua atas anak, mempunyai hak pengurusan atas harta benda anak itu. Perbuatan diatas membawa konsekuensi untuk memberikan perhitungan dan pertanggungjawaban. Hal ini sama dengan hal-hal didalam perwalian, akan tetapi dalam bidang perwalian anak tidak mempunyai hak hipotik terhadap barang-barang ayahnya, yang berbeda dengan diatur dalam perwalian.
Pasal 309 BW mengatakan, penguasaan oleh orang tua hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan tentang pemindahan barang-barang anak yang masih kedalam hal perwalian. Pelaksanaan pengurusan itu terikat kepada ketentuan-ketentuan tentang perwalian dalam menjalankan penguasaan atas barang-barang anak itu. Baru kalau pelaksanaan pengurusan itu tidak ada karena suatu sebab, maka pengurusan itu jatuh pada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua.

b)      Menikmati Hasil
Pasal 311 ayat 1 BW mengatakan, bahwa bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian mendapat penikmatan hasil atas harta benda anak-anak itu. Ayat 2 menentukan bahwa jika kedua orang tua dihentikan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka kedua orang tua yang berikutnya yang akan memperoleh kenikmatan hasil atas kekayaan anak-anak itu.
Pasal 311 ayat 3 BW mengatakan bahwa jika salah seorang orang tua itu meninggal dunia atau dicabut dari kekuasaan orang tua atau perwalian dan kemudian orang tua yang berikutnya yang melakukan kekuasaan orang tua dihentikan atau dibebaskan maka penghentian atau pembebasan itu tidak mempengaruhi kenikmatan hasilnya. Penikmatan keuntungan adalah suatu hak pribadi yang tidak dapat dipindah tangankan kepada orang lain dan merupakan suatu hak atas harta benda anak yang diperoleh orang tua, sedang isinya adalah apa yang dihasilkan oleh harta benda anak itu, sesudah dikurangi dengan bebanbeban yang melekat pada harta benda itu.





Kekuasaan Orang Tua Menurut Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Apabila suatu perkawinan memperoleh keturunan, maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri yang bersangkutan, akan tetapi juga menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anak ini dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 diatur dalam pasal 45 sampai 49. Dalam pasal 45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus.
Disamping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua ini meliputi juga untuk mewakili anak yang belum dewasa ini dalam melakukan perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan (pasal 47).
Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya ( pasal 48 ). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang lain keluarga dalam garis turns keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau penjabat yang berwenang.
Kekuasaan orangtua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (pasal 49). Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban.
Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya (pasal 46).
a)      Syarat-syarat pencabutan kekuasaan orang tua
            i. Permintaannya harus diajukan oleh:
·         Orang tua yang lain
·         Keluarga saudara atau periparan sampai derajat keempat
·         Dewan perwalian
·         Kejaksaan
            ii. Pencabutan ini hanya dalam hal-hat tertentu yaitu dalam hal-hal :
·         Penyalah gunaan kekuasaan orang tua. Seperti sangat mengabaikan kewajiban untuk pemberian pendidikan dan pemeliharaan.
·         Tingkah laku yang jelek, yang terserah kepada hakim untuk menentukan batasbatasnya
·         Bila mana dijatuhi hukuman oleh karena melakukan kejahatan yang sengaja dilakukan bersama-sama dengan anak itu.
·         Bila mana dijatuhi hukum karena suatu kejahatan yang dilakukan terhadap anak itu
·         Dijatuhi hukuman badan lebih dari 2 tahun lamanya.
Akibat pemecatan kekuasaan orang tua, yang kekuasaannya dipecat mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya yaitu untuk penghidupan dan pendidikan anak-anak. Orang tua yang dipecat kekuasaannya tetap harus menyerahkan sejumlah biaya tertentu kepada dewan perwalian yang jumlahnya ditetapkan oleh hakim. Orang tua yang dipecat dapat kembali dalam kedudukannya atas kemauan sendiri atau atas tuntutan pihak kejasaan. Orang tua yang memegang kekuasaan dapat meminta supaya dilepaskan dari kekuasaan orang tua tersebut jika ia merasa tidak mampu untuk menjalankan tugasnya dan kepentingan si anak tidak dipenuhi. Dengan pelepasan itu dasar untuk mengajukan permohonan kekuasaan adalah ketidakmampuan orang tua untuk memelihara dan mendidik anaknya.
b)      Berakhirnya kekuasaan orang tua pada kondisi sebagai berikut:
              i.            Meninggalnya orang tua tersebut
            ii.            Putusnya perkawinan kedua orang tua
          iii.            Di pecat orang tua dan kekuasaan orang tua
          iv.            Dilepaskannya orang tua dan kekuasaan orang tua
            v.            Sampai anak berusia dewasa
          vi.            Kawinnya sianak

c)      Pada pelepasan yang berhak mengajukan tuntutan adalah:
                    i.   Dewan perwalian
                  ii.   Penuntut umum
d)     Pemecatan dilakukan atas permohonan sebagai berikut
                 i.      Orang tua yang tidak memegang kekuasaan orang tua
               ii.      Salah seorang dan keluarga sedarah dan anak itu sampai derajat yang keempat
             iii.      Dewan perwalian
             iv.      Penuntut umum







2.     Ketentuan perwalian menurut KUH Perdata
Seperti diketahui bahwa dalam KUHPerdata ada juga disebutkan pengertian dari Perwalian itu, yaitu pada pasal 330 ayat (3) menyatakan :
“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.

Perwalian pada umumnya
Di dalam sistem perwalian menurut KUH Perdata ada dikenal beberapa asas, yakni :
  1. Asas tak dapat dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )
Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUHPerdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal, yaitu :
·      Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, pasal 351 KUHPerdata.
·      Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige diluar Indonesia didasarkan pasal 361 KUHPerdata.

a)   Asas persetujuan dari keluarga.
   Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata

b)   Orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai Wali
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:
·      Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354 KUHPerdata.
Pasal 345 KUH Perdata menyatakan :
” Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.”
Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.
Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.
Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain”
Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.
·      Perwalian yang diangkat oleh Hakim.
Pasal 359 KUH Perdata menentukan :
“Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”.
Orang-orang yang berwenang menjadi Wali
1.   Wewenang menjadi wali
Pada pasa l332 b (1) KUH Perdata menyatakan “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya”.
Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin maka dalam pasal 332 b (2) KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.
Selanjutnya pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata menyatakan :
“Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin itu atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula.”
Wewenang Badan Hukum Menjadi Wali
Biasanya kewenangan perhimpunan, yayasan dan lembaga-lembaga sebagai wali adalah menunjukkan bapak atau ibu, maka dalam pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali. Tetapi hal ini akan berbeda kalau perwalian itu diperintahkan oleh pengadilan.
Pasal 365 a (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “dalam hal sebuah badan hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan”.
Sesungguhnya tidak hanya panitera pengadilan saja yang wajib memberitahukan hal itu tetapi juga pengurus badan hukum tersebut dan sanksi akan dipecat sebagai wali kalau kewajiban memberitahukan itu tidak dilaksanakan. Sedangkan kejaksaan atau seorang pegawai yang ditunjuknya, demikianpula dewan perwalian, sewaktu-waktu dapat memeriksa rumah dan tempat perawatan anak-anak tersebut.
  1. Yang tidak mempunyai kewajiban menerima pengangkatan menjadi Wali
a)      Seorang yang dianggap sebagai seorang wali adalah salah seorang orang tua.
b)      Seorang isteri yang diangkat menjadi wali.
c)      Perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial lainnya kecuali kalau perwalian itu diberikan atau diperintahkan kepadanya atau permohonannya sendiri atau atas pertanyaan mereka sendiri.
  1. Yang dapat meminta pembebsan untuk diangkat sebagai wali.
Dalam pasal 377 (1) KUH Perdata, menyebutkan :
a)   Mereka yang akan melakukan jawatan negara berada diluar Indonesia.
b)   Anggota tentara darat dan laut dalam menunaikan tugasnya.
c)   Mereka yang akan melakukan jabatan umum yang terus menerus atau untuk suatu waktu tertentu harus berada di luar propinsi.
d)  Mereka yang telah berusia di atas 60 tahun.
e)   Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit yang lama akan sembuh.
f)    Mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan anak yang dimaksud, padahal dalam daerah hukum tempat perwalian itu ditugaskan atau diperintahkan masih ada keluarga sedarah atau semenda yang mampu menjalankan tugas perwalian itu.
Menurut pasal 377 (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa “si bapak dan si ibu tidak boleh meminta supaya dilepaskan dari perwalian anak-anak mereka, karena salah satu alasan tersebut di atas”.
Menurut pasal 379 KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan orang yang digolongkan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu :
  1. Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).
  2. Mereka yang belum dewasa (minderjarigen)
  3. Mereka yang berada dibawah pengampuan.
  4. Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan.
  5. Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.
Mulainya Perwalian
Dalam pasal 331a KUHPerdata, disebutkan
  1. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.
  2. Jika seorang willi diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meniggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
  3. Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.
Berdasarkan pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali badan hukum harus mengangkat sumpah dimuka balai harta peninggalan.
Wewenang Wali          
    1. Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian).
Dalam pasal 383 (1) KUH Perdata,
“Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan.”
Artinya wali bertanggung jawab atas semua tindakan anak yang menjadi perwaliannya.
Dalam ayat 2 pasal tersebut ditentukan , “si belum dewasa harus menghormati walinya.” Artinya si anak yang memperoleh perwalian berkewajiban menghormati si walinya.
  1. Pengurusan dari Wali
Pasal 383 (1) KUH Perdata juga menyebutkan :
“… pun ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan perdata.”
Namun demikian pada keadaan tertentu pupil dapat bertindak sendiri atau didampingi oleh walinya, misalnya dalam hal pupil itu akan menikah.
Barang-barang yang termasuk pengawasan wali.
Menurut pasal 385 (2) KUH Perdata, barang-barang tersebut adalah berupa barang-barang yang dihadiahkan atau diwariskan kepada pupil dengan ketentuan barang tersebut akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa pengurus.
Tugas dan Kewajiban Wali
Adapun kewajiban wali adalah :
  • Kewajiban memberitahukan kepada Balai Hart Peninggalan.
Pasal 368 KUH Perdata apabjla kewajjban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
  • Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
  • Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (pasa1335 KUH Perdata).
  • Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan. (pasal 338 KUH Perdata).
  • Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (pasal 389 KUH Perdata)
  • Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (pasal 392 KUH Perdata)
  • Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.




Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :
  1. dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
  • Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
  • Matinya si anak.
  • Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
  • Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.

  1. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
  • Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
  • Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata).
Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri.
Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam pasal 382 KUH Perdata menyatakan :
  1. Jika wali berkelakuan buruk.
  2. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan kecakapannya.
  3. Jika wali dalam keadaan pailit.
  4. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut.
  5. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
  6. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 368 KUHPerdata).
  7. Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 372 KUHPerdata).


Ketentuan perwalian menurut UU No.1 tahun 1974.
Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 50 disebutkan :
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
  2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
  3. Syarat-syarat Perwalian.
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah:
  • Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
  • Anak-anak yang belum kawin.
  • Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
  • Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
  • Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :
  1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.
  2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
  3. Kewajiban Wali
Menurut pasal 51 Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan:
  1. Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
  2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut .
  3. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
  4. Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
Berakhirnya Perwalian
Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya , dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini, yaitu dalam hal :
  1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.
  2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai (pasal 53 (2) UU No.1 tahun 1974).
Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal 54 UU No.1 tahun 1974 menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.









BAB 4
PENUTUP

KESIMPULAN
1.    Kekuasaan orangtua terbagi 3 bagian:
  • Kekuasaan orangtua terhadap diri anak
  • Kekuasaan orangtua terhadap harta benda anak
  • Tentang kewajiban timbal balik antara orangtua dan keluarga sedarah dengan anak.
 Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya.
Kekuasaan orang tua yang dipecat dikarenakan orang tua tidak menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.
2.    Dari uraian-uraian tersebut diatas, jelas terlihat bahwa pada prinsipnya terdapat Dimana menurut KUHPerdata anak-anak yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum berumur 21 tahun atau belum kawin (pasal 330 ayat 3 KUHPerdata) sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum mecapai umur 18 tahun atau belum kawin (pasal 50 ayat 1).
Dalam hal pengangkatan wali didalam KUHPerdata ada dibedakan tiga jenis perwalian, yaitu :
·       Perwalian dari suami atau isteri yang hidup lebih lama(pasal 345-354).
·      Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan wasiat atau akta tersendiri (pasal 355 ayat 1).
·       Perwalian yang diangkat oleh hakim (pasal 359).
 Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan: Perwalian hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (pasal 51 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974).
     Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan, untuk orang yang beragama Islam saat ini yang kita pakai sebagai undang-undang di Indonesia adalah ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata khusus dipergunakan hanya sebagai pedoman hukum bukan sebagai undang-undang (asas Lex Spesialis Derogat Lex  Generalis)

SARAN
1. Menurut saya hendaknya Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Dan bila terjadi perselisihan hendaknya diselesaikan secara musyawarah terlebih dahulu sebelum memutuskan melalui ranah hukum, dan sebagai warga Negara Indonesia kita berhak untuk memilih sumber hukum yang akan kita pakai dalam suatu perbuatan hukum misalnya dalam hal perkawinan baik itu menggunakan KUHPerdata atau melalui UU perkawinan hal itu juga berlaku terhadap kekuasaan orangtua terhadap anaknya.
Dengan demikian semoga masyarakat lebih mengetahui tentang hak-hak kekuasaan orang tua terhadap anak dan juga perwalian dalam hal perkawinan.

2. Perwalian juga disebut sebagai pengganti dari tugas orang tua anak yang bertindak sebagai pengawasan bagi anak dan memeliharanya serta melindungi hartanya dengan sebaik-baiknya. Pengasuhan anak merupakan upaya pemeliharaan anak baik dari segi pemeliharaan anak dari perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh anak serta memberi pendidikan yang layak kepada anak.
Keluarga mempunyai peran penting untuk membentuk karakter anak yang baik, bermoral dan bertabat. Keluarga juga harus memberikan pengawasan yang layak kepada anak ,agar anak tidak terkena kedalam hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh hukum.
Dan walaupun  terdapat perbedaan-perbedaan mengenai penggunaan hukum dalam perwalian, untuk orang yang beragama Islam saat ini yang kita pakai sebagai undang-undang di Indonesia adalah ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata khusus dipergunakan hanya sebagai pedoman hukum bukan sebagai undang-undang (asas Lex Spesialis Derogat Lex  Generalis).




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar