Cari Blog Ini

Sabtu, 15 Maret 2014

Makalah Ilmu Perundang-Undangan “Analisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan”



Makalah Ilmu Perundang-Undangan
“Analisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan”
Description: https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRKtTu9e0U-ryp1qVm1sTnkfa6nfjfN6lMaB08rdEE3CBxZWteV
Di susun oleh :
1.    Farid hikmatullah                                   (12400164)
2.    Suroto                                                       (12400070)
3.    Ari Hermawan                                         (12400179)
4.    Sugiarto                                                    (12400158)
5.    Muhammad Salim                                   (12400069)
6.    Ridwan Makaramah                     (12400004)
7.    Natalie                                                      (11400040)

Kelas : 3 C (sore) ILMU HUKUM







Jakarta 2013
KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan  Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 Tentang ORGANISASI KEMASYARAKATAN”.  
Makalah ini berisikan tentang informasi analisa undang-undang atau yang lebih khususnya membahas undang-undang No 17 tahun 2013 . Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang undang-undang ini.  
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalahini.     
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.











BAB I PENDAHULUAN
 Latar Belakang
Ormas pada hakekatnya didirikan secara sukarela oleh warga negara, yang memiliki kesamaan tujuan dan kepentingan untuk melakukan sesuatu kepada masyarakat, yang pada akhirnya hal tersebut akan mendukung pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.Terdapat tiga pilar dasar yang ada di dalamnya, yaitu kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat.
Kehadiran Undang-Undang Nomor  8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Nomor 8 Tahun 1985) tidak dipungkiri merupakan alat rezim Orde Baru (Orba) untuk mengontrol dan menekan Ormas. Sebab Ormas dirasa merupakan tool yang sangat efektif dalam memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap keberadaan civil society. Dan hal ini tentu bertentangan dengan misi pemerintah Orba yang selalu berupa untuk menegakkan stabilitas keamanan dan ketertiban.
Akhir-akhir ini masyarakat khususnya yang datang dari kalangan organisasi masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan penggiat sosial datang ke DPR untuk mengajukan aspirasinya terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU Organisasi Masyarakat (RUU Ormas).
Sesungguhnya dalam konstitusi telah disebutkan dengan jelas mengenai kebebasan masyarakat untuk membentuk serikat dan berorganisasi. Dalam  Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD tahun 1945) dinyatakan, bahwa  kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian Pasal  28E ayat (3) UUD  tahun 1945 menyatakan lebih lanjut, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.





Alasan Pemilihan Judul
Pada kesempatan ini penulis mengambil judul “Organisasi Masyarakat” karena pada dasarnya setiap individu adalah bagian daripada masyarakat, oleh karena itu dituntut untuk ikut serta dalam setiap kegiatan dan aktifitas masyarakat. Dan sebagai upaya untuk membangun bangsa dan negara setiap masyarakat dituntut untuk memberikan buah pikir dan sumbangsih untuk negara yang salah satunya dilakukan dengan membentuk organisasi masyarakat.
Dengan organisasi masyarakat ini pula dididik untuk menjadi individu yang bertanggung jawab, berwawasan luas dan memiliki kredibilitas dalam mengemban suatu tugas. Organisasi masyarakat menjadi bagian daripada tujuan negara yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Manfaat
            Dengan disusunnya makalah ini diharapkan masyarakat lebih mengerti tentang bagaimana berorganisasi. Banyak terdapat kontra tentang undang-undang ini .  Maka kita akan membahasnya dalam makalah ini .













BAB II PEMBAHASAN
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani pengesahan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU yang baru ini mengatur sanksi bagi organisasi yang melakukan kekerasan.
            Hal tersebut ditegaskan pemerintah seperti yang dilansir dalam situs www.setkab.go.id. Penandatanganan dilakukan Senin (22/7) setelah sebelumnya disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI, 2 Juli lalu. Sesuai dengan bunyi pasal 87, undang-undang tersebut mulai berlaku sejak diundangkan yakni 22 Juli 2013.
            Dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. "Presiden Sudah Tandatangani Undang-Undangnya, jika Ormas Lakukan Tindak Kekerasan Bisa terkena Sanksi,".
Disebutkan bahwa ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan. Ormas juga tidak boleh melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.
Hal lain yang dilarang adalah melakukan kegiatan separatis, melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.
Disebutkan, pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar ketentuan mengenai larangan dimaksud.
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, serta penghentian sementara kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Pasal 65 ayat (1) menyebutkan dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap ormas lingkup nasional, pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung.
Kemudian pada pasal 68 ayat 2 disebutkan, jika ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sementara, pemerintah akan menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum. “Sanksi pencabutan badan hukum dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum.”
Ketua Pansus RUU Ormas Abdul Malik Haramain menjabarkan ada delapan pasal yang mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu yakni sebagai berikut:
1. Pasal 7 yang awalnya mengatur tentang bidang kegiatan organisasi akhirnya dihapuskan.
Malik menjelaskan, bidang kegiatan organisasi nantinya diserahkan sesuai AD/ART ormas. Dengan demikian, ormas bebas menjalankan bidang apa pun sesuai AD/ART miliknya.

2. Bab IX Pasal 35, yang awalnya mengatur tentang kepentingan organisasi akhirnya dihapus dan diserahkan kepada tiap anggota yang berhak dan diatur kembali dalam AD/ART ormas.
3. Pasal 47 ayat (2) dan (3) ada penambahan syarat bagi ormas yang didirikan Warga Negara Asing (WNA) dan badan hukum asing, yaitu salah satu jabatan ketua, sekretaris, atau bendahara harus dijabat oleh Warga Negara Indonesia.
Malik mengatakan, dengan adanya syarat ini, maka diharapkan ormas bisa lebih produktif dan tidak menjadi kontraproduktif.

4. Pasal 52 huruf D mencantumkan penjelasan tentang kegiatan politik.
Di bagian penjelasan, yang dimaksud dengan kegiatan politik dijabarkan menjadi kegiatan yang mengganggu stabilitas politik dalam negeri, penggalangan dana, dan propaganda politik. Dengan adanya penjelasan ini, Malik menyatakan bahwa hal yang dilarang adalah praktik politik praktis dan intervensi politik terhadap parpol.

5. Pasal 59 ayat 1 huruf A yang awalnya terdapat kerancuan, akhirnya Pansus merumuskan dan melakukan penyempurnaan sehingga rumusannya menjadi larangan untuk menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau lambang negara RI menjadi bendera atau lambang ormas.
Peraturan ini terkait dengan larangan dalam Pasal 57 Ayat C Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan.
6. Pasal 59 Ayat 5, ketentuan yang dihilangkan diatur dalam Pasal 60 Ayat 2 huruf D, sehingga rumusannya menjadi "melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Pasal ini muncul agar pemerintah dan aparat hukum bisa mengantisipasi ormas yang melakukan kegiatan di luar wewenangnya seperti aksi sweeping.

7. Pasal 65 Ayat 3, terkait sanksi penghentian sementara yang awalnya pemerintah daerah harus meminta persetujuan dari Forkominda, akhirnya karena Forkominda tidak ada di tingkat kabupaten, maka diganti dengan pertimbangan Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan, dan Kepala Kepolisian setempat.
Menurut Malik, sanksi penghentian sementara bagi ormas ini hanya mencakup sanksi bagi kegiatan publik yang dilakukan ormas. Sementara itu, untuk kegiatan internal seperti melakukan rapat-rapat tetap bisa dilakukan. Penghentian sementara dilakukan maksimal selama enam bulan.

8. Pasal 83 huruf B tentang ketentuan peralihan.
Pasal tersebut tetap mencantumkan keistimewaan bagi ormas-ormas yang sudah ada sejak zaman kemerdekaan. Ormas-ormas tersebut tidak perlu lagi melakukan pendaftaran karena dianggap sebagai aset bangsa.
Dalam proses pengesahannya, sebanyak enam fraksi mendukung pengesahan itu, sementara tiga fraksi lainnya yakni Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menolak pengesahan ini.
Keputusan diambil dengan mekanisme voting, dengan hasil 311 anggota Dewan setuju RUU Ormas disahkan. Dengan rincian, 107 anggota Fraksi Partai Demokrat, 75 anggota Fraksi Partai Golkar, 62 anggota Fraksi PDI Perjuangan, 35 anggota Fraksi PKS, 22 anggota Fraksi PPP, dan 10 anggota Fraksi PKB. Sementara itu, sebanyak 50 orang menyatakan menolak mengesahkan RUU itu, yakni 26 anggota Fraksi PAN, 18 anggota Fraksi Gerindra, dan 6 anggota Fraksi Hanura.

Bab 3 Analisis Undang-Undang No 17 Tahun 2013
Rapat Paripurna DPR pada 25 Juni 2013 belum sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat menjadi Undang-Undang walaupun semua fraksi menerima, kecuali Fraksi Partai Amanat Nasional. Menurut Muhammad Najib, anggota Pansus RUU Ormas F-PAN yang juga mantan aktivis Muhammadiyah, mengatakan F-PAN lebih condong menyetujui pengesahan RUU Ormas karena sejumlah ormas mengubah posisi mereka dari menentang menjadi mendukung. DPR sendiri, bila tidak aral melintang, akan mengesahkan RUU Ormas pada 2 Juli 2013.
PEMBAHASAN RUU Ormas sudah memakan waktu sangat lama. Ide Pemerintah membuat RUU Ormas yang kemudian disambut legislatif sudah terjadi sejak 2011. Sehingga dapat dibayangkan berapa besar anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk membahasnya sampai saat ini. Meskipun demikian, menurut catatan berbagai kalangan, setidaknya ada 98 ormas yang menolak RUU ini, termasuk salah satunya Muhammadiyah.
Menurut Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, RUU Ormas akan membalikkan arah jarum jam sejarah ke arah otoritarianisme dan represif. Ini sangat berbahaya bagi masyarakat karena melemahkan konsolidasi demokrasi Indonesia dan mempersempit ruang partisipasi publik. Din Syamsuddin menilai pembahasan RUU Ormas sudah keliru sejak awal karena bertolak belakang dengan Pasal 28 UUD 1945 yang memberi masyarakat kebebasan untuk berserikat dan berkumpul.
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Syaiful Bahri menilai RUU Ormas lebih represif dibandingkan UU Nomor 8 Tahun 1985. UU Nomor 8 Tahun 1985 lebih sederhana karena hanya memuat 20 pasal sedangkan RUU Ormas memuat 88 pasal. Menurut Syaiful, PP Muhammadiyah menolak RUU Ormas karena akan mengarah kepada rezim birokrasi perizinan.
Kalangan yang menolak RUU Ormas pada dasarnya menyebutkan bahwa RUU Ormas  merupakan instrumen negara yang masuk ke wilayah privat dari kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi. Negara menjadi penentu dapat atau tidaknya seseorang berserikat. Ada juga yang menyatakan negara akan mengontrol seluruh aktivitas politik warga negara dengan berlindung di balik politik perizinan, pelaporan, dan pengawasan.
Mereka yang menolak juga mempersoalkan Pasal 16 yang berbunyi pendaftaran ormas yang tidak berbadan hukum harus memiliki surat keterangan terdaftar yang diberikan oleh menteri bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan nasional; gubernur bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan provinsi; dan bupati/ walikota bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan kabupaten/kota.
Pasal 21 dan 61 juga dinilai menuai kontroversi karena berpotensi melanggar HAM. Dalam Pasal 61, diantaranya, disebutkan bahwa ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan. Pasal itu layaknya pasal karet yang sangat subyektif.  BERDASARKAN teori pendulum, pro dan kontra terhadap RUU Ormas ataupun perkembangan dinamika politik Indonesia saat ini sebenarnya masih dalam tahap keteraturan dengan dinamika yang berlawanan, dengan tidak jarang menempatkan pihak negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) berada dalam posisi sebagai “common enemy”.
Dari berbagai alasan yang dikemukakan pihak kontra, KAMI menilai mereka adalah penganut “invisible hand theory”, yaitu sebuah teori yang menyakini bahwa perjalanan hidup di dunia ini dengan segala dinamikanya berjalan dengan sendirinya karena dapat berjalan sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri. Kelompok inilah yang seringkali menilai kondisi saat ini sebagai kondisi negara “autopilot” karena ketidakhadiran negara atau pemerintah. Padahal mereka juga yang memposisikan dan mendesain agar peran negara/pemerintah minimal. Sedangkan apabila terjadi permasalahan, maka negara atau pemerintah yang ditunjuk sebagai “biang keladi” dengan melakukan pembiaran.
Kelompok yang menolak pengesahan RUU Ormas adalah kelompok yang asal “waton suloyo” (asal beda atau asal bunyi) karena rasionalisasi atas argumentasi penolakan mereka sangat lemah. Jika RUU Ormas dikatakan menabrak Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi, maka sebelum mengarah ke konklusi tersebut, ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh kelompok penolak RUU Ormas, yaitu “pihak mana yang diberikan wewenang dan legitimasi oleh rakyat untuk mengatur agar pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 berjalan dengan baik dan tidak merugikan hak dan kewajiban orang lain?” Jawabannya pasti jelas, yaitu negara atau pemerintah yang sah hasil Pemilu.

Di negara manapun, kebebasan tetap harus “diatur” agar tumbuh menjadi kebebasan yang ramah, bertanggung jawab, dan dewasa. Indonesia dalam mengatur kebebasan warganya masih cenderung lebih moderat dibandingkan negara-negara lain, seperti Malaysia yang mempunyai Internal Security Act (ISA), Amerika Serikat yang membolehkan CIA menyadap kebebasan warganya, dan Selandia yang memiliki banyak Undang- Undang terkait intelijen dan keamanan nasional.
Sementara itu, para penentang RUU Ormas yang mempersoalkan jumlah pasal Sebenarnya juga sangat dangkal. Sebab, secara logika rasional, jelas perkembangan lingkungan strategis global, regional, dan nasional pada situasi dan kondisi UU Nomor 8 Tahun 1985 berbeda dengan perkembangan saat RUU Ormas dibuat. Perbedaannya bagaikan “bumi dengan langit”. Sehingga wajar jika RUU Ormas memuat lebih banyak pasal dibandingkan UU Nomor 8 Tahun 1985. Sebab, sejatinya pasal dalam sebuah UU merepresentasi aspek yang meminimalisasi ancaman terhadap kepentingan nasional atau percepatan gerakan dinamika persoalan itu sendiri.
Publik sudah pasti tidak menginginkan kehadiran ormas yang menjadi “distributor anarkisme”. Sedangkan Pasal 16 – soal pendaftaran ormas – sejatinya dilandasi oleh semangat bukan untuk mengontrol melainkan membina (jika penolak RUU Ormas menganalisisnya secara obyektif bukan berdasarkan kepentingan politik praktis, maka akan mudah memahaminya).
Pada akhirnya, kehadiran RUU Ormas sebenarnya merupakan upaya kita bersama untuk menghindari terjadinya “proknastinasti” (policy of doing nothing) atau kebijakan tanpa berbuat apa-apa atau nihilisasi peran negara. Sebab, itu sangat berbahaya bagi konsolidasi demokrasi.





BAB  III  PENUTUP

Kesimpulan
  • Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
  • Sebagai warga negara kita berharap RUU Ormas benar-benar dapat menata keberadaan organisasi masyarakat yang hadir di tengah masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Penataan Ormas bukan berarti, pemerintah dapat dengan semena-mena melakukan intervensi dan melakukan pembubaran terhadap Ormas bermasalah. Sebagai negara hukum, sudah semestinya pembubaran Ormas hanya dapat dilakukan melalui pengadilan dan bukan oleh pemerintah.
  • Pendidikan hukum  pada undang-undang tentang organisasi masyrakat adalah mendidik masyarakat tentang bagaimana berorganisasi. Dalam undang-undang ini tercantum asas dan tujuan(pasal 2-4), fungsi hak dan kewajiban (pasal 5-8), keanggotaan dan kepengurusan(pasal 9 dan pasal 10) keuangan(pasal 11), pembinaan(pasal 12), pembekuan dan pembubaran (pasal 13-17) .
  • Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sebab, saat ini Indonesia  menjamin kebebasan berserikat berkumpul.





Saran – saran
Untuk peningkatan organisasi masyarakat yang berkualitas, maka saran yang penulis berikan antara lain :
1.      Memberikan pengertian dasar kepada masyarakat tentang arti Organisasi Masyarakat.
2.      Pemerintah memberikan kebebasan bertanggung jawab kepada masyarakat untuk mengembangkan organisasi masyarakat.
3.      Masyarakat hendaknya berfikiran kritis terhadap realita yang ada di masyarakat sehingga dapat ditampung saran dan pendapatnya.




















DAFTAR PUSTAKA






1 komentar: