Cari Blog Ini

Senin, 04 Agustus 2014

Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Philippina (10 Pebruari 1976)



Bab 1
                                                                   Pendahuluan
Latar Belakang
Ekstradisi pertama kali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari Mesir dengan Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya tahap-tahap permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi.
Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap perkembangan lembaga ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang kita akui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek negatifnya. Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan, perbankan, kejahatan komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat yang cukup meresahkan masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga berpengaruh pada negara-negara lain.
Dengan demikian untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja sama antara negara-negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan misalnya, dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuh untuk memberantas kejahatan. Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.
Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi, negara-negara yang bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek pemberantasan kejahatan dimana individu sipelaku kejahatan tetap diberikan hak dan kewajiban. Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang modern memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Apalagi masalah hak asasi manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah merupakan wujud dari pengakuan hak asasi manusia untuk menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang.
Pada masa sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya perjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan penjahat-penjahat pelarian untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatan belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara negara-negara yang mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berarti bahwa adanya perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam melaksanakan penyerahan penjahat tersebut.
Bab 2
Pembahasan
Ekstradisi
Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi biasanya digunakan dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.
Pada umumnya, ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak.
Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut adalah ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung). Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.


Definisi Ekstradisi Menurut Para Sarjana
L. Oppenheim menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.
J. G. Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.
Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri. ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni:
Unsur Subjek
Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni:
  1. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan.
  2. Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.
Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state).
Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta (the resquithing State).
Unsur objek
Yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Unsur Tata cara dan Prosedur
Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati.
Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, maka si tersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional.
Unsur Tujuan
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta.
Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.
Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Philippina (10 Pebruari 1976)
Untuk mengembangkan kerja sama yang efektif dalam penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi, perlu diadakan kerja sama dengan negara tetangga, agar orang-orang yang dicari atau yang telah dipidana dan melarikan diri ke luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari hukuman yang seharusnya diterima.
Kerja sama yang efektif itu hanya dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration of justice) yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa pembangunan nasional dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya dengan ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan tersebut besar pengaruhnya terhadap pembangunan nasional tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah Indonesia telah
mengadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah Malaysia, yang merupakan perjanjian yang pertama bagi Indonesia.
Disamping itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan dengan beberapa negara, khususnya negara-negara ASEAN mengenai kemungkinan untuk mengadakan perjanjian ekstradisi. Selain dengan Negara-negara ASEAN juga akan diadakan Perjanjian Ekstradisi dengan negara-negara lain.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional
mengenai ekstradisi seperti:
  1. Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana, baik menurut sistem hukum Indonesia maupun sistem hukum Philipina (Double Criminality);
  2. Kejahatan politik tidak diserahkan;
  3. Hak untuk tidak menyerahkan warga negara sendiri, dan lain-lainnya.
Disamping itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Prosedur penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional masing-masing negara.
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini disertai dengan Protokol dimana ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah pemilik tunggal dari pulau yang dikenal sebagai Las Palmas (P.Miangas) sebagai hasil dari putusan perwasitan tertanggal 4 April 1928 yang menyelesaikan sengketa antara Amerika Serikat dan Negeri Belanda. Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran yang berlainan atas bagian dan Perjanjian Ekstradisi ini yang mengenai hal wilayah.



UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIKINDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
Pasal 1
Mengesahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Philippina serta
Protokol tertanggal 10 Pebruari 1976, yang salinan naskahnya dilampirkan pada undang-undang
ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Juli1976
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara mereka dalam masalah ekstradisi.
Telah mencapai Persetujuan sebagai berikut:
Pasal I
KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI
Masing-masing pihak yang mengadakan Perjanjian bersepakat untuk saling menyerahkan dalam hal-hal dan sesuai dengan syarat-syarat yang tercantum dalam Perjanjian ini, orang-orang yang diketemukan dalam wilayahnya yang didakwa, dituntut atau dinyatakan bersalah atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal II Perjanjian ini yang dilakukan dalam wilayah Pihak lainnya atau diluar wilayah tersebut menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal IV.
Pasal II
KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN
1.    Orang-orang yang diserahkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian ini adalah mereka yang didakwa, dituntut atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dibawah ini, dengan ketentuan bahwa kejahatan itu menurut hukum kedua pihak yang mengadakan perjannjian dapat dihukum dengan hukuman mati atau perampasan kemerdekaan dengan jangka waktu diatas satu tahun:
  1. Pembunuhan berencana, pembunuhan bapak atau ibu sendiri, pembunuhan anak, dan pembunuhan lainnya.
  2. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan, persetubuhan yang tidak sah dengan atau terhadap wanita dibawah umur yang ditentukan oleh hukum pidana dari masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian.
  3. Penculikan, penculikan anak.
  4. Penganiayaan berat yang mengakibatkan cacat badan, penganiayaan, pembunuhan berencana yang gagal atau pembunuhan yang gagal.
  5. Penahanan secara melawan hukum atau sewenang-wenang
  6. Perbudakan, perhambaan
  7. Perampokan, pencurian
  8. Penggelapan, penipuan
  9. Pemerasan, ancaman, paksaan
  10. Penyuapan, korupsi
  11. Pemalsuan dokumen, sumpah palsu
  12. Pemalsuan barang, pemalsuan uang
  13. Penyelundupan
  14. Menimbulkan kebakaran, pengrusakan barang
  15. Pembajakan udara, pembajakan laut, pemberontakan di kapal
  16. kejahatan yang bersangkutan dengan narkotika, obat-obat berbahaya atau terlarang atau bahan-bahan kimia terlarang
  17. Kejahatan yang bersangkutan dengan senjata api, bahan-bahan peledak atau bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.
2.    Penyerahan juga akan dilakukan untuk penyertaan dalam salah satu kejahatan yang disebutkan dalam Pasal ini, tidak saja sebagai pelaku utama atau peserta, melainkan juga sebagai pembantu, demikian juga halnya dengan percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut diatas, bila penyertaan, percobaan atau permufakatan jahat itu dapat dihukum menurut hukum kedua pihak yang mengadakan perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan diatas satu tahun.
3.     Penyerahan dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan Pihak yang diminta terhadap sesuatu kejahatan lainnya, yang dapat diserahkan sesuai dengan hukum Kedua Pihak yang mengadakan perjanjian.
4.     Jika penyerahan diminta untuk suatu kejahatan yang tercantum dalam ayat A, B atau C Pasal ini dan kejahatan itu dapat dihukum menurut hukum kedua pihak yang mengadakan Perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan diatas satu tahun, kejahatan tersebut dapat diserahkan menurut ketentuan-ketentuan Perjanjian ini tidak perduli apakah hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian menempatkan kejahatan itu dalam penggolongan kejahatan yang sama atau menamakannya dengan istilah yang sama, asal saja unsur-unsurnya sesuai dengan salah satu kejahatan-kejahatan atau lebih yang disebutkan dalam Pasal ini menurut hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian ini.
Pasal III
TEMPAT DILAKUKANNYA KEJAHATAN
Pihak yang diminta dapat menolak penyerahan orang yang diminta untuk kejahatan yang menurut hukum Pihak yang diminta dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayahnya atau ditempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya.
Pasal IV
WILAYAH
1.    Didalam Perjanjian ini, yang dimaksud wilayah dari Pihak yang mengadakan Perjanjian, ialah semua wilayah dibawah yurisdiksi Pihak yang mengadakan Perjanjian itu, meliputi ruang angkasa, wilayah perairan dan landas kontinen dan kendaraan-kendaraan air dan pesawat udara yang terdaftar di negara Pihak yang mengadakan Perjanjian, bila pesawat udara itu sedang dalam penerbangan atau bila kendaraan air itu berada di laut bebas waktu kejahatan itu dilakukan. Menurut Perjanjian ini, sebuah pesawat udara akan dianggap berada dalam penerbangan pada saat ketika pintunya ditutup untuk embarkasi sampai saat ketika pintu itu dibuka untuk disembarkasi.
2.    Bila kejahatan yang dimintakan penyerahannya itu dilakukan diluar wilayah Negara Peminta, pejabat pelaksana dari Negara yang Diminta berwenang untuk melakukan penyerahan jika menurut hukum dari negara yang diminta kejahatan itu dilakukan itu dalam keadaan yang sama juga diancam dengan hukuman.
3.    Penentuan wilayah Pihak yang diminta diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya.



Pasal V
KEJAHATAN POLITIK
1.    Penyerahan tidak akan dilakukan jika kejahatan yang dimintakan penyerahan itu dianggap oleh Pihak yang diminta sebagai kejahatan politik.
2.    Jika timbul persoalan apakah suatu perkara merupakan suatu kejahatan politik, maka keputusan para pejabat dari negara yang diminta akan menentukan.
3.    Menghilangkan atau percobaan menghilangkan nyawa Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dari masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian atau anggota keluarganya tidak akan dianggap sebagai kejahatan politik sebagaimana dimaksud oleh Perjanjian ini.
Pasal VI
PENYERAHAN WARGA NEGARA
1.    masing-masing pihak mempunyai hak untuk menolak penyerahan warga negaranya.
2.    Jika Pihak yang Diminta tidak menyerahkan warga negaranya, Pihak itu atas permintaan Pihak Peminta wajib menyerahkan perkara bersangkutan kepada pejabat yang berwenang dari pihak yag diminta untuk penuntutan. Untuk maksud ini berkas perkara-berkas perkara, keterangan-keterangan dan bukti-bukti mengenai kejahatan itu wajib diserahkan oleh Pihak Peminta kepada Pihak yang diminta.
3.    Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat B pasal ini, Pihak yang diminta tidak akan diwajibkan untuk menyerahkan perkara itu kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan penuntutan jika pejabat yang berwenang itu tidak mempunyai yurisdiksi.
Pasal VII
PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN UNTUK MENYERAHKAN
Penyerahan tidak akan dilakukan dalam salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
1.    Bila orang yang dimintakan penyerahannya telah diadili dan dibebaskan atau telah menjalani hukumannya di negara ketiga untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
2.    Bila penuntutan atau pelaksanaan hukuman untuk kejahatan telah gugur karena kadaluarsa menurut salah satu dari Pihak yang mengadakan Perjanjian.
3.    Bila kejahatan merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum atau peraturan-peraturan militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum
Pasal VIII
LARANGAN PENGULANGAN PENUNTUTAN ATAU PERADILAN
1.    Penyerahan juga tidak akan dilakukan dalam salah satu hal berikut ini : Bila putusan terakhir pengadilan sudah dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang dari Pihak yang diminta terhadap orang yang diminta bertalian dengan kejahatan atau kejahatan-kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
2.    Bila orang yang dimintakan penyerahannya sedang atau telah dituntut atau telah diadili dan dibebaskan atau dihukum oleh Negara yang diminta untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Pasal IX
AZAS KEKHUSUSAN
Seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dihukum atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum penyerahannya, selain daripada kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:
1.    Bila Pihak yang diminta menyerahkan orang itu menyetujuinya, permohonan persetujuan disampaikan kepada Pihak yang diminta, disertai dengan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII. Persetujuan akan diberikan jika kejahatan itu termasuk kejahatan yang dapat dimintakan penyerahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal II Perjanjian ini; dan
2.    Bila orang itu setelah mempunyai kesepakatan untuk meninggalkan wilayah Pihak kepada siapa ia diserahkan, tidak menggunakan kesempatan itu dalam waktu 45 hari setelah pembebasannya, atau kembali lagi ke wilayah itu sesudah ia meninggalkannya.
Pasal X
HUKUMAN MATI
Jika kejahatan yang dimintakan penyerahannya dapat dihukum dengan hukuman mati menurut hukum Pihak Peminta, tetapi jika untuk kejahatan itu tidak ditentukan hukuman mati oleh hukuman Pihak yang diminta atau jika hukuman mati biasanya tidak dilaksanakan, maka penyerahan dapat ditolak kecuali apabila pihak peminta dapat memberikan jaminan yang oleh Pihak yang diminta dipandang cukup bahwa hukuman mati tidak akan dilaksanakan.
Pasal XI
PENAHANAN SEMENTARA
1.    Dalam keadaan mendesak pejabat yang berwenang dari Pihak Peminta dapat meminta penahanan sementara terhadap seseorang yang dicari Pejabat-pejabat yang berwenang dari Pihak yang diminta akan mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukumnya.
2.    Dalam permintaan untuk penahanan sementara diterangkan bahwa dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII tersedia dan bahwa ada maksud untuk menyampaikan pemintaan penyerahan. Diterangkan juga untnuk kejahatan apa penyerahan itu akan diminta, bila dan dimana kejahatan itu dilakukan dan sedapat mungkin wajib memuat uraian tentang orang yang dicari.
3.    Permintaan untuk penahanan sementara disampaikan di Indonesia kepada National Central Bureau (NCB) Indonesia/ Interpol dan di Philipina kepada National Bureau of Investigation atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram atau melalui international Criminal Police Organization (Interpol).
4.    Pejabat Pihak Peminta akan diberitahukan dengan segera keputusan atas permintaannya.
5.    Penahanan sementara dapat diakhiri, jika dalam waktu 20 hari setelah penahanan Pihak yang diminta tidak menerima permintaan penyerahan dan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII.
6.    Pembebasan seseorang dari penahanan sementara tidak menghalangi penahanan kembali dan penyerahan jika permintaan untuk penyerahan diterima sesudah itu.
Pasal XII
PENYERAHAN ORANG YANG AKAN DISERAHKAN
1.     Pihak yang diminta akan memberitahukan keputusannya tentang permintaan penyerahan kepada pihak peminta melalui saluran diplomatik.
2.     Untuk setiap permintaan yang ditolak wajib diberikan alasan-alasannya.
3.     Jika permintaan disetujui, Pihak peminta wajib diberitahu tentang tempat dan tanggal penyerahan dan lamanya orang yang bersangkutan ditahan untuk maksud penyerahan.
4.     Jika orang yang diminta penyerahannya tidak diambil pada tanggal yang ditentukan, maka dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam ayat (5) pasal ini ia dapat dilepaskan sesuai melampaui 15 hari dan bagaimanapun juga wajib dilepaskan sesuah melampaui 30 hari dan pihak yang diminta dapat menolak penyerahannya untuk kejahatan yang sama.
5.     Jika keadaan diluar kekuasaannya tidak memungkinkan suatu Pihak untuk menyerahkan atau mengambil orang yang bersangkutan, maka pihak itu wajib memberitahukan Pihak lainnya. Kedua Pihak akan menetapkan bersama tanggal lain untuk penyerahan. Dalam hal demikian akan berlaku ketentuan-ketentuan dari ayat (4) Pasal ini.
Pasal XIII
PENYERAHAN YANG DITUNDA
Pihak yang diminta, sesudah mengambil keputusan tentang permintaan penyerahan dapat menunda penyerahan orang yang diminta, supaya orang itu dapat diperiksanya, atau jika ia sudah dijatuhi hukuman, supaya orang itu dapat menjalani hukumannya dalam wilayah Pihak itu untuk kejahatan lain dari pada kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Pasal XIV
PENYERAHAN BARANG
1.    Pihak yang diminta, sepanjang hukumannya memperbolehkan dan atas permintaan dari Pihak peminta wajib menyita dan menyerahkan barang:
1.     yang mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian, atau
2.     yang diperbolehkan sebagai hasil dari kejahatan itu dan yang terdapat pada orang yang dituntut pada waktu penahanan dilakukan atau yang diketemukan sesudah itu.
2.    Barang yang disebut dalam ayat (1) Pasal ini wajib diserahkan, sekalipun ekstradisi yang telah disetujui tidak dapat dilakukan karena kematian orang yang diminta penyerahannya atau karena ia melarikan diri.
3.    Apabila barang tersebut dapat disita atau dirampas dalam wilayah dari Pihak yang diminta, maka dalam hubungan dengan proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, pihak ini dapat menahannya untuk sementara atau menterahkannya sengan syarat bahwa barang itu akan dikembalikan.
4.    Setiap hak yang mungkin diperoleh Pihak yang diminta atau negara lain atas barang tersebut wajib dijamin. Dalam hal demikian, barang tersebut wajib dikembalikan tanpa biaya kepada pihak yang diminta secepat mungkin sesudah pemeriksaan pengadilan selesai.
Pasal XV
TATA CARA
Tata cara mengenai penyerahan dan penahanan sementara dari orang yang diminta penyerahannya, akan tunduk semata-mata pada hukum Pihak yang diminta.
Pasal XVI
BIAYA-BIAYA
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam wilayah pihak yang diminta berkenaan dengan penyerahan akan ditanggung oleh Pihak itu.
Pasal XVII
SURAT PERMINTAAN DAN DOKUMEN-DOKUMEN YANG DIPERLUKAN
1.    Permintaan penyerahan wajib dinyatakan secara tertulis dan dikirim di Indonesia kepada Menteri Kehakiman dan di Philipina kepada Secretary of Justice, melalui saluran diplomatik.
2.    Permintaan penyerahan wajib disertai:
1.      Lembaran asli atau salinan yang disahkan dari penghukuman dan pidana yang dapat segera dilaksanakan atau surat perintah penahanan atau surat perintah lainnya yang mempunyai akibat yang sama dan dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan dalam hukum Pihak Peminta
2.      Keterangan dari kejahatan yang dimintakan penyerahannya, waktu dan tempat kejahatan dilakukan, uraian yuridis dan penunjukkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan diuraikan secermat mungkin, dan
3.      Salinan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau jika ini tidak mungkin suatu keterangan tentang hukum yang bersangkutan dan uraian secermat mungkin dari orang yang diminta penyerahannya bersama-sama dengan keterangan lain apapun juga yang dapat membantu menentukan identitas dan kebangsaannya.
3.    Dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penyerahan akan dibuat dalam Bahasa Inggris.


Pasal XVIII
PERMINTAAN LEBIH DARI SATU
Pihak yang mengadakan perjanjian yang menerima dua permintaan atau lebih untuk penyerahan orang yang sama baik untuk kejahatan yang sama maupun untuk kejahatan yang berbeda, akan menentukan Negara-negara Peminta mana Pihak tersebut akan menyerahkan orang yang dicari, dengan mempertimbangkan keadaan dan terutama kemungkinan penyerahan kemudian diantara Negara-negara peminta, sifat beratnya setiap kejahatan, tempat dilakukannya kejahatan, kewarganegaraan orang yang dicari, tanggal diterimanya permintaan, dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi antara Pihak itu dengan Negara atau Negara-negara peminta lainnya.
Pasal XIX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Setiap perselisihan yang timbul antara kedua Pihak karena penafsiran dan pelaksanaan dari Perjanjian ini akan diselesaikan secara damai dengan musyawarah atau perundingan.
Pasal XX
KETENTUAN PERALIHAN
Suatu kejahatan yang telah dimulai sebelum tanggal Perjanjian ini mulai berlaku akan tetapi diselesaikan setelah tanggal perjanjian ini mulai berlaku akan diserahkan sesuai dengan Perjanjian ini.
Pasal XXI
MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal penukaran Piagam Ratifikasi.

Pasal XXII
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini dapat diakhiri setiap waktu oleh salah satu Pihak dengan memberitahukan maksud untuk melakukan itu 6 (enM0 bulan sebelumnya. Pengakhiran Perjanjian yang demikian itu tidak akan menghalangi statu proses yang telah dimulai sebelum pemberitahuan demikian dilakukan.
UNTUK MENYAKSIKANNYA, yang bertanda tangan di bawah ini yang dikuasakan secara sah oleh masing-masing Pemerintahnya telah menandatangani Perjanjian ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Yakarta pada tanggal sepuluh Februari 1976, dalam bahasa Indonesia, Philipina dan Bahasa Inggris, semua naskah adalah sama-sama sahnya. Dalam hal terjadi perbedaan tafsiran, maka nazca bahasa Inggris yang menentukan.











Bab 3
Penutup
Kesimpulan
Untuk mengembangkan kerjasama yang efektif dalam penegakkan hukum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi, perlu diadakan kerjasama dengan negara tetangga, agar orang-orang yang dicari atau yang telah dipidana dan melarikan diri ke luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari hukuman yang seharusnya diterima.
Kerjasama yang efektif itu hanya dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration of justice) yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa pembangunan nasional dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya dengan ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan tersebut besar pengaruhnya terhadap pembangunan nasional tersebut.
Implementasi ekstradisi di Indonesia
Perjanjian ekstradisi di Indonesia muncul sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan hukum maupun politis. Kepentingan hukum yang dimaksud adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi para pelaku kejahatan yang melarikan diri ke wilayah yuridiksi negara lain. Selain itu untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dari tindakan kejahatan yang dimaksud. Adapun kepentingan politisnya antara lain untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara lain agar tercipta komunikasi politik yang lebih baik.
Munculnya perjanjian ekstradisi ini juga tentunya tidak terlepas dari implementasi asas hukum internasional sebagaimana yang disampaikan oleh Hugo Grotius, yakni asas au dedere au punere. Artinya, pengadilan terhadap pelaku kejahatan dapat dilakukan oleh negara tempat kejahatan itu terjadi (locus delicti) atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yuridiksi untuk mengadili pelaku tersebut (Abdussalam, 2006:28).

Daftar Pustaka
Greig, D.W, International law, Butterworths, London, 1970
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990. 
I Wayan Parthiana, hukum pidana Internasional dan ekstradisi, yrama widya, bandung 2003
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta 2005
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2009
Lain-lain
http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/perjanjian-ekstradisi/271-perjanjian-ekstradisi-antara-pemerintah-republik-indonesia-dan-malaysia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar