Cari Blog Ini

Senin, 04 Agustus 2014

Review Jurnal Psikologi Religiusitas dan Psychological Well‐Being Pada Korban Gempa



Religiusitas dan Psychological WellBeing  Pada Korban Gempa
Penulis : Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati Utami 
JURNAL PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA VOLUME 34, NO. 2, 164 – 176 
Abstract
Tujuan dari studi ini yaitu untuk meneliti korelasi antara religiusitas dan psikologi well-being dari korban gempabumi yang selamat dijogjakarta. Beberapa riset menunjukan religiusitas memberikan beberapa keuntungan untuuk mencapai well-being.ukuran variable keduanya yaitu baik dari skala psikologi wellbeing dan skala religiusitas. Hasilnya menunjukan bahwa ada korelasi positif antara religiusitas dan psikologi wellbeing (r=0,  505;  p<0,05). Religiusitas berkontribusi efektif 25,5%  (R2=0,255) ke psikologi  wellbeing.
Analisis test menunjukan tidak ada perbedaan psikologi well-being oleh perbedaan jenis kelamin dan tidak ada psikologi well-being yang disebabkan oleh tingkat pendidikan dan status pernikahan.
Keyword : psikologi well-being, religiusitas, korban selamat gempa bumi
Latar belakang

Letak  geologis  negara  Indonesia  yang  berada  pada  pertemuan  dua  lempeng  bumi  yang  aktif  di  dunia  menyebabkan  daerah  Indonesia  rawan  akan terjadinya musibah bencana alam.  Gempa  tektonikyang  terjadi  pada  27 Mei  2006  di  Daerah  Istimewa  Yogya karta dan Jawa Tengah merupakan salah  satu  bencana  alam  yang  banyak  memakan  korban  jiwa.
Menurut  data  statistik  Bappenas  (dalam  http://  rehayogyajateng.bappenas.go.id/index.p hp?option=com_context&task=view&id=21&Itemid=60, 2006) gempa bumi berkekuatan  5,6  Skala  Richter  ini  menyebabkan korban jiwa yang meninggal di  daerah  Yogyakarta  dan  Jawa  Tengah  sebesar  5.760  jiwa,  korban  yang  mengalami  luka  berat  sebesar  37.339  orang, dan korban yang mengalami luka  ringan  7.862  orang.  Korban  meninggal  terbesar  terjadi  di  Daerah  Istimewa  Yogyakarta  yaitu  sekitar  4.697  jiwa,  terutama  daerah  Bantul  yang  menelan  4.143  jiwa,  sedangkan  jumlah  korban  yang  meninggal propinsi  Jawa  Tengah sebesar 1063 jiwa. Selain menimbulkan korban jiwa, musibah gempa ini  juga  menimbulkan  kerugian  di  bidang  materi yang cukup besar. 
Trauma  pasca  gempa  yang  terjadi  ditambah  dengan  beban  untuk  hidup  dalam keadaan yang serba kekurangan,  menyebabkan  individu  menjadi  stres,  merasa  tidak  berdaya,  dan  mengalami  perasaanduka  yang  mendalam. Individu  yang  menghadapi  masa  krisis  pada  umumnya  mengalami goncangan  mental  yang  cukup  berat.  Keadaan  ini  jika  terus  menerus  dibiarkan  akan  membuat  individu  menjadi  tidak  “sehat” mentalnya. 
Menurut keterangan  dr. Santosa MKes, Direktur RSJ Grhasia dalam  http://222.124.164.132/article.  php?sid=59315,  2006)  sebanyak  126  korban gempa bumi di Y mengalami  gangguan  jiwa,  beberapa  diantaranya  juga  mengalami  luka  fisik.  Di  RS  Jiwa  Grhasia sebanyak 77 pasien sempat men jalani  rawat  inap  dan  49  diantaranya  sudah bisa rawat jalan. 
Namun,  terdapat  fenomena  lain  yang menunjukkan bahwa tidak semua  korban  gempa  mengalami  gangguan  mental seperti yang disebutkan di atas.  Meskipun sebagian besar korban gempa  di  Bantul  banyak  yang  kehilangan  rumah  dan  harta  benda  yang  mereka  miliki,  mereka terlihat tabah dan menerima musibah ini dengan sabar Mereka masih bisa berkata “ora apa-apa,  iki  mung  kelangan  bandha,  anggere  awake  dhewe  ora  kelangan  pengareparep” yang dalam Bahasa Indonesia berarti tidak apaapa, kita hanya kehilangan harta, asal bukan  kehilangan  pengharapan  (dalam  http://  mirifica.net/wmview.php?ArtID=  3284,  2006). 
Ketabahan  warga  Yogya  menghadapi peristiwa gempa juga dikemukakan  Wahid (dalam http://www.kompas.com/ kompascetak/0311/05/Bentara/661693.  htm, 2006) yang menulis bahwa seorang  kopral  marinir  Amerika  Serikat  yang  bertugas membantu  korban  gempa  di  Bantul, membuat tulisandi Kompas (4/8/  2006)  untuk mengungkapkan  kekagumannya dengan judul: Apa yang membuat  rakyat kecil yang penuh penderitaan itu bisa  begitu  tabah  menghadapi  cobaan?  Beliau  berpendapat  bahwa  rakyat  kecil  yang  tengah  menderita  itu  amat  tabah  dan  tetap  optimis  meskipun  mengalami  penderitaan  dahsyat  karena  kehilangan  harta benda dan kerabat mereka. Banyak  di  antara  mereka  yang menunjukkan  ketahanan diri yang luar biasa. Mereka masih mampu tersenyum, menunjukkan keramahan,  saling  membantu  di  antara  sesama korban.  
Tujuan penelitian
meneliti korelasi antara religiusitas dan psikologi well-being dari korban gempabumi yang selamat dijogjakarta

Metode 
A. Subjek penelitian 
Penelitian ini dilakukan pada korban  gempa  bumi  di  desa  Timbulharjo,  Kecamatan  Sewon,  Bantul,  Propinsi  Daerah  Istimewa  Yogyakarta.  Alasan  utama peneliti memilih daerah tersebut adalah karena desa Timbulharjo merupakan  salah  satu  daerah  di  Kabupaten  Bantul  yang  mengalami  tingkat  kerusakan prasarana fisik yang cukup berat.  Penelitian dilakukan di RT 01 dan RT 02  dukuh  Gandok  serta  RT  04  dan  RT  05  dukuh  Ngasem.  Subjek  penelitian  ini  berjumlah  66  orang  korban  gempa  (33  laki  –  laki  dan  33  perempuan)  yang  berusia 20 – 50 tahun. Alasan pemilihan  subjek  dewasa  adalah  karena  menurut  Mirowsky  dan  Ross,  (1999)  pada  usia  dewasa,  individu  mencapai  wellbeing  yang tinggi.  
Ditinjau  dari  tingkat  pendidikan,  subjek  penelitian  dapat  dikelompokkan menjadi  tiga,  yaitu kelompok  subjek  yang  tidak  sekolah  untuk  subjek  yang  sama  sekali  tidak  pernah  mengenyam  pendidikan formal di sekolah berjumlah  4  orang,  tingkat  pendidikan  rendah  untuk  subjek  yang  pernah  mengenyam  pendidikan minimal SD dan SLTP (wajib  belajar  9  tahun)  berjumlah  22  orang,  serta  tingkat  pendidikan  tinggi  untuk  subjek yang melanjutkan pendidikan ke  bangku  SLTA  hingga  kuliah,  baik  program  diploma  maupun  sarjana  berjumlah 40 orang.
B. Instrumen penelitian 
1. Skala Psychological WellBeing 
Skala Psychological WellBeing Kor ban  Gempa  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  disusun  peneliti  dan  rekan  peneliti,  Rianti  Puji  Wahyuni,  dan  merupakan  adaptasi  dari  Skala  Psychological WellBeing yang disusun  Ryff  (dalam  Springer  dan  Hauser,  2005).  Skala  ini  mengungkap  psycho logical wellbeing pada korban gempa  selama 6 bulan terakhir pasca gempa. 
Berdasarkan  hasil  uji  coba  Skala  Psychological WellBeing Korban Gem pa, pada 53 subjek uji coba mengha silkan 38 aitem yang sahih (koefisien  korelasi  aitemtotal  bergerak  dari  0,304  sampai  0,774).  Koefisien  reliabilitas  Alpha  skala  ini  sebesar  0,936. 
2.  Skala Religiusitas 
Skala Religiusitas yang digunakan  dalam  penelitian  ini  disusun  oleh  penulis  berdasarkan  konsep  religiusitas yang dikemukakan oleh Glock &  Stark  (dalam  Ancok  dan  Suroso,  1994). Beberapa aitem Skala Religiusitas ini diambil dari Skala Religiusitas  yang  dipakai  oleh  Andriyani  (2003),  Hamdun (2003), dan Fitri (2000). 
Skala  Religiusitas  yang  dipakai  dalam  penelitian  ini  terdiri  dari  dua  skala,  yaitu  Skala  Religiusitas  I  dan  Skala Religiusitas II. Skala Religiusitas  I  berisi  aitem  untuk  mengukur  kognisi  (dimensi  knowledge),  sedangkan Skala Religiusitas II berisi aitem  untuk  mengukur  sikap  dan  perilaku  religius  (dimensi  ritual,  experience,  consecuency, dan ideology). 
Berdasarkan  hasil  analisis  aitem  Skala Religiusitas I pada 66 subjek uji  coba,  menghasilkan  19  aitem  yang  sahih  dengan  daya  diskriminasi  aitem,  diperoleh  dari  point  biserial  yang bergerak dari 0,164 hingga 0,650  dan indeks kesukaran aitem berkisar  0,255  0,980. Hasil analisis reliabilitas  Alpha  Skala  Religiusitas  I  adalah  sebesar 0,839. 
Berdasarkan  hasil  analisis  aitem  Skala Religiusitas II pada 50 subjek uji  coba,  menghasilkan  26  aitem  yang  sahih  (koefisien  korelasi  aitem total  terkoreksi bergerak dari 0,325 sampai  0,657). Hasil analisis reliabilitas Alpha  Skala Religiusitas II ini adalah sebesar  0,889 
Reliabilitas Skala Religiusitas dihitung dengan menggunakan reliabilitas  komposit,  yaitu  merupakan  reliabilitas dari skala yang mengukur suatu  variabel  yang  terdiri  dari  beberapa komponen berbeda (Azwar,  2005). Variabel religiusitas terdiri dari  dua  komponen,  yaitu:  (1)  kognisi  (dimensi pengetahuan), dan (2) sikap  dan perilaku religius (dimensi ritual,  experience,  consecuency,  dan  ideology).  Hasil  analisis  reliabilitas  komposit  Skala  Religiusitas  adalah  sebesar  0,885. 
C.  Prosedur pelaksanaan penelitian 
Pengambilan  data  penelitian  dilakukan  dengan  cara  peneliti  bersama  salah  satu  penduduk  yang  juga  mahasiswa  UGM  mendatangi  rumah  subjek  satu  persatu.  Subjek  diberikan dua skala yaitu Skala Psychological WellBeing dan Skala Religiusitas I dan II. Bagi  subjek  yang  mampu  membaca  dan  menulis  langsung  dapat  mengisi  skala  tersebut setelah diterangkan cara pengisiannya. Bagi subjek yang tidak mampu  membaca  dan  menulis  maka  proses  pengisian  skala  dilakukan  dengan  cara  membacakan kepada subjek dan menu liskan jawabannya pada lembar jawaban  oleh peneliti.  
D. Analisis data penelitian 
Pengujian hipotesis penelitian dila kukan  secara  kuantitatif  dengan  meng gunakan metode statistik, yaitu dengan  teknik korelasi product moment dari Karl  Pearson  (Hadi,  2000)..  Datanya  diolah  dengan menggunakan software SPSS 13,0  for Windows.  
Hasil
Sebelum  dilakukan  analisis  data  penelitian,  dilakukan  uji  normalitas  sebaran dan linearitas hubungan antara  variabel religiusitas (variabel bebas) dan  variabel  psychological  wellbeing  korban  gempa  (variabel  tergantung).  Hasil  uji  normalitas  dengan  menggunakan  One  Sample  KomogorovSmirnov  test  menun jukkan bahwa sebaran data psychological  wellbeing normal (p = 0,558; p>0,05) dan  sebaran data religiusitas juga normal (p  = 0, 800; p>0,05. Hasil uji linearitas juga  menunjukkan  bahwa  korelasi  antara  variabel  psychological  wellbeing  korban  gempa dan religiusitas adalah linear (p =  0,000; p<0,05). Berdasarkan hasil tersebut  maka uji korelasi product moment dapat  dilakukan. 
Hasil  uji  korelasi  product  moment,  menunjukkan  adanya  korelasi  positif  yang  signifikan  antara  religiusitas  dan  psychological wellbeing korban gempa (r =  0,  505;  p<0,05).  Hasil  ini  menunjukkan  bahwa  semakin  tinggi  skor  religiusitas  maka  semakin  tinggi  pula  skor  psychological  wellbeing  korban  gempa.  Sebaliknya semakin rendah skor religiu sitas,  maka  semakin  rendah  pula  skor  psychological  wellbeing  korban  gempa.  Nilai  koefisien  determinasi  (R2)  yang  didapat  dari  hasil  analisis  data  adalah  sebesar  0,255.  Angka  tersebut  mengan dung makna bahwa religiusitas memiliki  pengaruh  terhadap  psychological  well being korban gempa sebesar 25,5 %. 
Diskusi
Hasil  analisis  yang  menunjukkan  adanya hubungan positif dan signifikan  antara  religiusitas  dan psychological  well  being (r = 0, 505; p<0,05) sesuai dengan  hasil  penelitian  Chamberlain & Zika (1992) yang menyebutkan bahwa religiusitas  mempunyai  hubungan  positif  dengan  kesejahteraan  dan  kesehatan  mental.  Hasil  penelitian  ini  juga  mendukung  hasil  penelitian  Ellison  (dalam  Taylor,  1995)  yang  menyatakan  bahwa  agama  mampu  meningkatkan  psychological well-being  dalam  diri  seseorang.  Penelitian  Ellison,  (dalam  Taylor,  1995)  menunjukkan  bahwa  individu  yang  memiliki  kepercayaan  terhadap  agama  yang  kuat,  dilaporkan  memiliki  kepuasan  hidup  yang  lebih  tinggi, kebahagiaan personal yang lebih  tinggi, serta mengalami dampak negatif  peristiwa  traumatis  yang  lebih  rendah  jika  dibandingkan  individu  yang  tidak  memiliki  kepercayaan  terhadap  agama  yang kuat. Hasil penelitian lainnya yang  dilakukan  oleh  Freidman  dkk;  dalam  Taylor  (1995),  melaporkan  bahwa  religiusitas  sangat  membantu  individu  ketika mereka harus mengatasi peristiwa  yang tidak menyenangkan.  
Dalam penelitian ini, bencana alam  seperti  gempa  bumi  menimbulkan  goncangan  mental  yang  hebat  dan  trauma  pada  diri  korban  gempa  bumi.  Perasaan  kehilangan  anggota  keluarga  dan  harta  benda  dalam  waktu  yang  sekejap  membuat  individu  mengalami  perasaan  sedih  yang  mendalam.  Keadaan  ini  merupakan  beban  psikologis  tersendiri  bagi  individu.  Namun  demikian dengan adanya pengaruh dari  religiusitas  yang  mereka  miliki,  para  korban  gempa  dalam  penelitian  ini  masih  mampu  bertahan  di  tengah tengah  kondisi  yang  serba  terbatas  untuk  kemudian  bangkit  kembali  menata  masa  depannya.  Pada  masa  krisis seperti itu, agama memiliki peran  yang besar bagi individu sebagai strategi  coping.  Sesuai  dengan  pendapat  Argyle  (2001),  yang  menyebutkan  bahwa  reli giusitas  membantu  individu  memper tahankan kesehatan psikologis individu  pada  saatsaat  sulit.  Religiusitas  juga  sangat  membantu  individu  ketika  mereka harus mengatasi peristiwa yang  tidak  menyenangkan  (Freidman  dkk;  dalam  Taylor,  1995).  Dalam  hal  ini,  agama  mampu  menyediakan  sumber sumber untuk menjelaskan dan menye lesaikan  situasi  problematik,  mening katkan  perasaan  berdaya  dan  mampu  (efikasi)  pada  diri  seseorang,  serta  menjadi  landasan  perasaan  bermakna,  memiliki  arah,  dan  identitas  personal,  serta  secara  potensial  menanamkan  peristiwa  asing  yang  berarti  (Pollner,  1989). 
Nilai  koefisien  determinasi  (R2)  yang  didapat  dari  hasil  analisis  data  adalah  sebesar  0,255.  Angka  tersebut  mengandung  makna  bahwa  religiusitas  memiliki  pengaruh  terhadap  psycho logical  wellbeing  korban  gempa  sebesar  25,5  %,  sedangkan  74,5  %  merupakan  faktorfaktor  lain  yang  kemungkinan  juga turut berperan dalam menentukan tinggi rendahnya psychological wellbeing  korban gempa.  
Tidak  adanya  perbedaan  psycho logical  wellbeing  pada  korban  gempa  bumi berdasarkan jenis kelamin, tingkat  pendidikan,  dan  status  pernikahan,  menunjukkan  bahwa  gempa  bumi  merupakan  hal  yang  universal  dimana  korban gempa bumi, baik lakilaki atau  perempuan,  tingkat  pendidikan  rendah  atau  tinggi,  dan  menikah  atau  lajang  merasakan hal yang sama, dalam hal ini  persepsi  terhadap  bencana,  sehingga  psychological wellbeing mereka tidak ada  perbedaan. Pengaruh faktorfaktor terse but  mungkin  berbeda  jika  diterapkan  pada kondisi dan situasi yang berbeda.  Misalnya,  status  pernikahan,  tingkat  pendidikan,  dan  jenis  kelamin  akan  memiliki  pengaruh  yang  berbeda  dengan psychological wellbeing jika dite rapkan  pada  situasi  kehidupan  rumah  tangga, atau lingkungan pekerjaan.
Kesimpulan
Tidak  adanya  perbedaan  psycho logical  wellbeing  pada  korban  gempa  bumi berdasarkan jenis kelamin, tingkat  pendidikan,  dan  status  pernikahan,  menunjukkan  bahwa  gempa  bumi  merupakan  hal  yang  universal  dimana  korban gempa bumi, baik lakilaki atau  perempuan,  tingkat  pendidikan  rendah  atau  tinggi,  dan  menikah  atau  lajang  merasakan hal yang sama, dalam hal ini  persepsi  terhadap  bencana,  sehingga  psychological wellbeing mereka tidak ada  perbedaan. Pengaruh faktorfaktor terse but  mungkin  berbeda  jika  diterapkan  pada kondisi dan situasi yang berbeda.  Misalnya,  status  pernikahan,  tingkat  pendidikan,  dan  jenis  kelamin  akan  memiliki  pengaruh  yang  berbeda  dengan psychological well-being jika diterapkan  pada  situasi  kehidupan  rumah  tangga, atau lingkungan pekerjaan.



Kelemahan
Pengaruh factor-faktor tersebut  mungkin  berbeda  jika  diterapkan  pada kondisi dan situasi yang berbeda.  Misalnya,  status  pernikahan,  tingkat  pendidikan,  dan  jenis  kelamin  akan  memiliki  pengaruh  yang berbeda dengan psychological well being jika diterapkan  pada  situasi  kehidupan  rumah  tangga, atau lingkungan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar