Law Enforcement In
Indonesia
Created by :
·
Farid
Hikmatullah
·
Suroto
·
M.
Salim
·
Rahmat
Maulana
·
Sugiarto
·
Bella
Harirah
Lecture : Drs.
Edison Baroes, S.Pd.
Class
: II C (Law)
Jakarta
2013
Kata
pengantar
Puji serta syukur kehadirat tuhan yang maha esa
yang telah melimpahkan karunia dan rahmatnya kepada kami semua sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa ada hambatan.
Dalam
pembuatan makalah ini yang berjudul “law
enforcement in indonesia” kami menggunakan beberapa referensi dari media
elektronik dan juga media cetak yang tentunya isi dan mutunya dapat
dipertanggung jawabkan. Tentunya, kami berharap dengan dibuatnya makalah ini
mahasiswa mampu mendalami dan juga memahami materi pelajaran khususnya materi
bahasa inggris II yang berjudul law enforcement in indonesia.
Pada
akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang ikut membantu
dalam proses pembuatan makalah ini khususnya dari dosen pembimbing bahasa inggris.
Kami sadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi terciptanya pemahaman yang
lebih mendalam terhadap makalah kami. Terima kasih.
Jakarta,
15-Mei-2013
Daftar Isi
Kata pengantar
Daftar Isi
Bab 1
Pendahuluan
Pembahasan
Penutup
Kesimpulan
Daftar pustaka
Bab 1
Pendahuluan
Latar belakang
Kata keadilan merupakan hal yang diinginkan oleh mayoritas manusia
di dunia ini. Akan tetapi ternyata keadilan, yang dalam makalah ini merupakan
keadilan yang dihasilkan melalui keputusan pengadilan. Beberapa kasus
menunjukkan betapa ternyata banyak pihak-pihak yang berperkara menyatakan
sangat tidak puas, dan merasa bahwa keputusan para hakim tidak adil, meskipun
ternyata klaim-klaim seperti ini tidak hanya muncul dari satu faktor saja, akan
tetapi ini merupakan hasil dari perpaduan beberapa faktor.
Peluang untuk munculnya keberpihakan hukum ini muncul dari beberapa
hal baik, hal inilah yang akan kami coba uraikan pada makalah ini, dengan tidak
mengesampingkan beberapa contoh yang akan bisa membantu untuk memahami kondisi
dan peluang keberpihakan hukum tersebut.
Tentu saja dalam melihat bagaimana kondisi peradilan di Indonesia,
khususnya peradilan agama, kita harus lebih memfokuskan analisa kita terhadap
kondisi yang ada dan aktual. Dengan begitu, akan bisa didapatkan faktor-faktor
apa saja yang memberikan peluang untuk munculnya keberpihakan dalam hukum.
Kapan dan bagaimana munculnya keberpihakan hukum tersebut, kepada siapakah
hukum ini berpihak, dan lain sebagainya adalah hal yang akan kami coba uraikan
dalam makalah ini.
Bab 2
Pembahasan
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Faktanya secara substansial, Indonesia telah memiliki undang-undang
yang tergolong lengkap. Namun penegakan hukum masih lemah. Penegakan Hukum di
Indonesia lemah dan lunglai tak lain penyebabnya karena penegak hukum itu
sendiri. Memburuknya kondisi penegakan hukum di Indonesia menimbulkan pesimisme
di masyarakat
Pengertian penegakan hukum adalah proses pemungsian norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku atau hubungan–hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Mahfud MD, masih ada harapan jika masih mau menegakkan
hukum menjadi lebih maju jika penegak hukum memiliki hati nurani dan berkomitmen
untuk bertindak secara adil. Namun apa yang terjadi di dunia nyata, para hakim
yang pakar terhadap pasal-pasal KUHP ataupun KUHAP hafal benar pasal mana yang
siap digunakan untuk memenangkan pihak yang menyuapnya. Tinggal pilih mau
menangkan pihak yang mana antara pihak-pihak yang bertikai.
Kondisi penegakan hukum Indonesia saat ini menghadapi pesimisme
masyarakat terhadap penegakan hukum. Hal ini semakin mendorong sikap apatis
terhadap penegakan hukum. Kalau sudah begitu para pelaku hukum semakin senang
dan bahagia. Lihat saja para pengacara-pengacara ternama di Indonesia hidup
bergelimang harta.
Menurut Mahfud MD, penegakan hukum hanya mimpi disiang bolong jika
kemauan untuk mentaati perintah hukum tidak ada di hati para penegak hukum.
Misalnya selama politisi lebih taat terhadap perintah partai, pengacara lebih
taat terhadap perintah klien yang membayarnya, jaksa, hakim lebih tunduk pada
perintah para penyuap daripada perintah hukum. Contoh penegakan hukum dalam
kasus hukum pajak Gayus, dimana Gayus yang sedianya harus dijaga ketat di
penjara tapi nyatanya bisa tamasya nonton pertandingan tenis di Bali.
'Permainan'
dalam kasus Gayus, dimana aslinya, Gayus terlibat dalam kasus pencucian uang
namun nyatanya justru diperkarakan oleh hakim hanya kasus pemalsuan dokumen.
Hal ini apalagi kalau bukan 'permainan' oleh para Hakim dan penegak hukum yang
tak berhati nurani. Harta yang disita negara terkadang hanya sebagian kecil
dari sejumlah harta yang diperoleh dari hasil korupsi.
Penegakan hukum di Indonesia yang tidak memenuhi rasa keadilan di
masyarakat dapat dilihat dan dirasakan faktanya. Contoh pencuri ayam, sandal
terkadang harus lebam dihakimi massa. Namun seorang koruptor hanya dicekal
tidak boleh keluar negeri.
KONDISI HUKUM DAN PERADILAN DI INDONESIA
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia
tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang
terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan
hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam
dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri. Dari
sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati
peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar
biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk
dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah
berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang
putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua
proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan
yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan
selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga
pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat
sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh
dari kebaikan.
Di tahun 2005, kita dapat mengatakan semua institusi penegak hukum
dalam proses pidana mendapat sorotan yang tajam. Dari kepolisian kita akan
mendengar banyaknya kasus penganiayaan dan pemerasan terhadap seorang tersangka
yang dilakukan oknum polisi pada saat proses penyidikan. Terakhir perihal
pemerasaan terhadap seorang tersangka tersebut telah meyeret beberapa perwira
tinggi di kepolisian.
Institusi kejaksaan juga tidak luput dari cercaan, dengan tidak
bisa membuktikannya kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir
muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak
hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima.
Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan
bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan dengan tidak profesional
dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut
disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara
pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu.
Akhirnya proses pidana sampai di tangan hakim (pengadilan) untuk
diputus apakah terdakwa bersalah atau tidak. Hakim sebagai orang yang dianggap
sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput
juga dari cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh
masyarakat telah menyebabkan adanya berbagai aksi yang merujuk pada kekecewaan
pada hukum.
Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan
merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang
pengayoman tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat
menyeret nama pimpinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan.
Meskipun kebenarannya sampai saat ini belum terbukti, namun kasus ini
menunjukkan bahwa pengadilan masuk sebagai lembaga yang tidak dipercaya oleh
masyarakat. Jika kita sudah tidak percaya lagi pada pengadilan, pada institusi mana
lagi kita akan meminta keadilan di negri ini?
Mafia peradilan ternyata tidak hanya menyeret nama hakim semata,
tetapi justru sudah merebak sampai pegawai-pegawainya. Panitera pengadilan yang
tugasnya tidak memutus perkara ternyata juga tidak luput dari jerat mafia suap.
Bahkan kasus suap ini telah menyeret beberapa nama sampai ke pengadilan.
Ironisnya mafia ini juga sampai ke tangan para petugas parkir atau petugas lain
yang aa pada institusi pengadilan. Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita
lihat sampai akhir tahun ini, terkait dengan mafia peradilan. Pengacara
(advokat) sebagai salah satu komponen yang seharusnya ikut menegakkan hukum
ternyata juga ikut andil dalam mafia peradilan yang semakin membuat bopeng
wajah hukum Indonesia. Pengacara sebagai profesi yang biasa dikatakan sebagai
profesi independen juga telah menyeret mantan hakim untuk masuk dalam mafia
peradilan.
Uraian di atas menunjukkan betapa memprihatinkannya hukum di
Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan
karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga
tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam
memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari
kapasitasnya menjadikan nasib nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak
tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah
berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan
yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana.
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang
masih berjalan lambat di tahun 2005 ini, dan belum memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa
yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi
masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat
dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum
(disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law)
serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).[7]
Sejumlah
masalah yang layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara lain:[8]
1.
Sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial
2. Belum
memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial
3.
Inkonsistensi dalam penegakan hukum
4. Masih
adanya intervensi terhadap hukum.
5.
Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
6.
Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum.
7. Belum
meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum.
8.
Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang mengacu pada
kepentingan the powerfull daripada sebuah kebutuhan.
Selain lembaga-lembaga yang telahh disebut di atas masih ada
lembaga lain yang terkait dengan penegakan hokum di Indonesia yaitu Mahkamah
Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hokum dan keadilan. Keberadaan MK yang didasarkan pada UU 24 tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu control atas peran DPR yag
berperan sebagai lembaga legislative. Mekanisme control ini diwujudkan dengan
kewenangannya untuk melakukan uji materil atas Undang-Undang yang dibuat oleh
DPR. Seperti telah disebut di atas bahwa ada kalanya pembuatan Undang-Undang
yang ada di Indonesia tidak dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan,
sehingga perlu adanya suatu kontrol untuk menilai apakah Undang-Undang tersebut
bertentangan dengan UUD 1945. Selama hampir dua tahun menjalankan tugasnya
kiranya MK telah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai garda penjaga
konstitusi. Sebagai penafsir konstitusi yang tertinggi, apa pun yang diputuskan
oleh MK memang harus diikuti, terlepas dari perdebatan yang ada di MK dalam
menilai suatu perkara. Dalam tugas lain juga saya menilai MK dapat berperan
dengan baik, ini karena tugas MK yang senantiasa terkait dengan penafsiran
terhadap UUD 1945 dan selama ini senantiasa berpegang teguh pada pendiriannya
tanpa terpengaruh oleh pihak lain.
Hal yang perlu diperbaiki dalam kaitannya dengan MK adalah terkait
dengan hukum acara MK. Yang belum jelas. Artinya perlu diabuatkan suatu UU yang
mengatur tata cara berperkara di MK, mengingat selama ini pengaturannya masih
menggunakan pedoman dari MK.
PELUANG MUCULNYA KEBERPIHAKAN HUKUM
Di tengah-tengah berbagai pemberantas kejahatan, berbagai
pihak mengeluhkan penegakan hukum di Indonesia. Berbagai media massa
memberitakan aparat penegak hukum yang terkena sangkaan dan dakwaan korupsi
atau suap. Mafia peradilan marak dituduhkan. Hukum seolah dapat dimainkan,
diplintir, bahkan hanya berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.
Tidak terlalu berlebihan bila berbagai kalangan menilai
penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat. Masyarakat
menjadi apatis, mencemooh dan dalam keadaan tertentu kerap melakuan proses
pengadilan jalanan. Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan, “mengapa hukum
sulit ditegakkan?” Bahkan lebih sarkastis masyarakat bertanya “apakah hukum di
Indonesia sudah mati?”.
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum
oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum
oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan
seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh
aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan
hukum ada dan akan tunduk.
Dalam melihat peluang untuk munculnya keberpihakan hukum,
kita bisa menganalisa beberapa faktor terkait, seperti politik hukum, sistem
hukum, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.
I.
Politik Hukum.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa politik hukum
Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan kemakmuran,
ketertiban dan kepastian hukum.[9] Politik hukum juga akan memberikan ruang dan
peluang untuk mengarahkan kepada siapakah hukum akan berpihak.
Tiga fungsi hukum, social enginering, alat justifikasi dan
social control[11] tampaknya perlu juga mendapatkan perhatian. Bagaimanapun
juga, keinginan para pembuat hukum untuk mengarahkan masyarakat kepada suatu
kondisi dengan hukum mungkin akan ternodai dengan kepentingan pribadi atau
kelompok.
II.
Sistem Pembuatan Undang-Undang.
Idealnya pembuatan hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai
yang disepakati oleh rakyat.[12] Akan tetapi ketika hak untuk membuat dan
menetapkan hukum ini ada ditangan para wakil rakyat, maka hukumpun bisa jadi
tidak mencerminkan nilai-nilai yang disepakati oleh rakyat, akan tetapi seperti
pada faktanya di Indonesia, hukum merupakan kesepakatan pembuat hukum yang
berlabel wakil rakyat, meskipun pada sebagian oknum, fungsinya bukan sebagai
wakil rakyat.
Dengan begitu, peluang untuk munculnya keberpihakan hukumpun
muncul dalam proses ini. Kepentingan-kepentingan individual ataupun kelompok
pembuat hukum bisa jadi memunculkan hukum yang pandang “bulu”.
Dalam pemilihan nilai-nilai ini, akan sering terjadi konflik
antara pembuat hukum. Dalam hal ini, menurut Chambliss, ada beberapa
kemungkinan yang akan terjadi dalam pembuatan hukum:
1.
Pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, dimana negara
merupakan senjata ditangan lapisan yang berkuasa.
2.
Sekalipun terdapat pertentangan nilai, mungkin saja mereka yang berpartisipasi
dalam hal ini bisa tetap dipandang sebagai seorang yang netral.[13]
Bila dalam proses pembuatan hukum ini muncul peluang
keberpihakan hukum, maka mereka yang ingin menyelewengkan hukum bisa mendekati
dan mempengaruhi tim pembuat hukum agar hukum yang ditetapkan nantinya sesuai
dengan kepentingannya.
Selain itu juga ternyata pada faktanya, suatu penetapan
hukum belakangan bisa menjadi peluang untuk munculnya keberpihakan hukum. Bila
seseorang diputus menjalani hukuman penjara selama 20 tahun, akan tetapi
beberapa tahun setelah keputusan itu ditetapkan, diaturlah undang-undang yang
menetapkan bahwa terpidana penjara akan mendapatkan keringanan hukum bila
berlaku baik. Apakah undang-undang ini tidak dibuat untuk kepentingan seseorang
saja?[14]
III.
Sistem Peradilan.
Dalam hal ini, kami lebih cenderung untuk mengangkat sistem
peradilan pidana, karena dalam peradilan inilah keberpihakan hukum lebih banyak
disorot.
Peradilan adalah tiang teras dan landasan negara hukum.
Sistem peradilan pidana merupakan sistem penanggulangan kejahatan, yang berarti
usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat. Selanjutnya terbaca dengan jelas bahwa sistem peradilan pidana
merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana
sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun
hukum pelaksanaan pidana.
Pada
umumnya, penerapan kebijakan/kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakikatnya
juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) sesuai
sumber bacaan: "Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana", dilakukan melalui empat tahap/proses sebagai berikut:
(1)penerapan kebijakan/kewenangan penyidikan; (2)penerapan kebijakan/kewenangan
penuntutan ;(3)penerapan kebijakan/kewenangan pemidanaan; dan (4) penerapan
kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana.
Keempat tahap/proses ini merupakan satu kesatuan sistem
penegakan hukum pidana yang integral. Keseluruhan sistem/proses/kewenangan
penegakan hukum pidana itu pun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan
legislatif yang integral.
Kenyataannya,
peradilan pidana sebagai suatu sistem, terdapat juga empat komponen yang telah
diketahui umum bekerja sama satu sama lain, yaitu
kepolisian-kejaksaan-pengadilan dan lembaga) pemasyarakatan. Keempat komponen
ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu "integrated criminal justice
administration".
Sistem penunjukan hakim atau majlis hakim oleh ketua
pengadilan di setiap tingkat pengadilan juga merupakan salah satu peluang untuk
munculnya keberpihakan hukum.[15] Hak absolut untuk menunjuk hakim atau majlis
hakim yang akan mengadili sebuah perkara ada di tangan ketua pengadilan, maka
dengan begitu, mereka yang ingin melakukan penyimpangan-penyimpangan prilaku
peradilan bisa memanfaatkan momen ini. Bila polisi dan jaksa tidak mau bersikap
koperatif terhadap tindak pidana yang akan diajukan ke meja hijau, maka peluang
yang muncul untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan peradilan, seperti
menyogok, bisa meminta ketua pengadilan bagaimnapaun caranya agar menunjuk
hakim yang kemungkinan berpihak kepadanya.
Bila hak absolut penunjukan hakim ada di tangan ketua
pengadilan, maka begitu juga dengan penunjukan jaksa penuntut umum yang ada di
tangan ketua kejaksaan di setiap tingkatnya. Peluang keberpihakan hukumpun akan
muncul di sini.
IV.
Aparat Penegak Hukum.
1.
Polisi.
Peluang untuk munculnya keberpihakan hukum kemungkinan besar
pertama-kalinya muncul ketika sebuah perkara ada ditangan polisi. Ada banyak
contoh dan fakta yang sering kita dengar dimana aduan masyarakat yang tidak
mempunyai uang tidak mendapat perhatian serius.
Selain itu, instansi polisi, yang dalam kehidupan
sehari-seharinya tentu saja berinteraksi dengan masyarakat luas. Interaksi ini
sedikit banyaknya akan berpengaruh kepada kekuatan polisi untuk menegakkan
keadilan yang tidak berpihak.
Beberapa kelas masyarakat yang terpandang akan mencoba untuk
memberikan pengaruhnya kepada polisi untuk memuluskan kepentingan-kepentingan
individu, kelompok ataupun masyarakatnya.
2.
Jaksa.
Kejaksaan ini merupakan instansi yang lebih ditakuti oleh
tersangka. Kedua instansi ini, baik polisi dan kejaksaan adalah dua lembaga
yang sangat urgen dalam memakaikan hukum kepada pelanggar.
Dalam proses pra-peradilan suatu perkara, kejaksaan sebagai
penuntut dalam peradilan sangat rentan sekali menjadi ruang untuk munculnya
keberpihakan. Sering terjadi penyuapan kejaksaan agar perkara tidak dilayangkan
ke pengadilan, atau agar tuntutan yang diberikan jauh dibawah tuntuan layaknya.
Cara ini bisa dengan menyatakan kasus tidak cukup bukti, atau pengalihan kasus
kepada pasal yang lebih ringan dan sebagainya.
3.
Advokat.
Lembaga ke-advokatan ini tidak lagi bernaung dibawah
instansi pemerintahan. Akan tetapi dengan begitu, ternyata peluang untuk
munculnya keberpihakan semakin besar. Peran para penasehat ataupun kuasa hukum
dalam peradilan sangatlah signifikan. Sebuah alur kasus bisa dimodifikasi untuk
membentuk keyakinan para hakim dalam memutuskan perkara.
Honor para pengacara yang terkenal dan lihai sungguh jauh
diatas honor apra jaksa bahkan hakim sekalipun. Dengan begitu sumber daya
manusia hukum akan lebih condong kepada advokat daripada ke kejaksaan ataupun
sekalipun menjadi hukum.
Sering terjadi kesalah-pahaman dalam peran pengacara dalam
peradilan. Apakah bisa dikatakan para pengacara memutarbalikkan fakta? Meskipun
kemungkinan itu bisa terjadi, akan tetapi peran pengacara itu adalah
mendudukkan porsi hukum pada tempatnya. Apabila klien tidak mengaku bersalah,
maka pengacara akan berjuang untuk membela, apabila tuntutan yang diberikan
berlebihan, maka pengacara akan berusaha untuk mendudukan tuntutan pada
tempatnya. Singkatnya pengacara dan jaksa merupakan lembaga pembantu hakim
untuk menemukan kebenaran dalam peradilan.
4.
Hakim.
Bagaimanapun usaha aparat penegak hukum yang lain, tetap
saja keputusan akhir ada ditangan hakim. Dalam hal ini ternyata para hakim juga
sering terbukti mendapat uang suap dari para pihak yang berperkara.[16]
Pendidikan dan pengalaman hakim dalam membentuk kemampuannya
untuk melahirkan keputusan-keputusan yang benar sangat perlu mendapat perhatian
besar. Hakim tentu saja harus bisa tetap berinteraksi dengan masyarakat umum
dalam lingkungan sosialnya, sementara itu ia juga harus bisa menjaga agar
interaksi itu tidak berdampak negatif terhadap keputusan yang akan ia ambil
nantinya.
5.
Lembaga Pemasyarakatan dan Eksekutor.
Setelah pengadilan mencapai keputusan dan keketetapan
berkekuatan hukum, maka yang berperan kemudian adalah eksekutor dalam hal ini
bisa jadi lembaga pemasyarakatan dalam kasus pidana ataupun ekskutor baik juru
sita dalam perkara perdata.
Peluang untuk munculnya keberpihakan hukum juga muncul di
sini. Kita mungkin telah banyak mendengar bahwa para terpidan korupsi, atau yag
lainnya yang mempunyai banyak uang ataupun kekuasaan tetap bisa hidup “enak” di
penjara. Uang sogokan kepada para sipir memang sangat berpengaruh dalam
mengadakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan di penjara.
Penjara sudah tidak menjadi alternatif yang efektif untuk
membuat para pelaku kejahatan pidana untuk jera. Dalam kasus-kasus pidana umum,
seperti pencurian, di berita kita sering melihat bahwa kebanyakan mereka yang
tertangkap adalah para residivis.
Sementara, memang dalam kasus penyitaan, tidak terdengar
keberpihakan sebanyak keberpihakan hukum di penjara, mekipun tentu saja ada
peluang dan peristiwa keberpihakan hukum di sini.
V.
Pers, Lembaga Sosial dan Masyarakat.
Mereka inilah yang diharapkan akan bisa menjadi pengawas dan
pengontrol adanya keberpihakan umum dalam teori maupun praktek. Pers dengan
segala medianya mampu memakasakan sebuah opini baik benar atau tidak kepada
masyarakat. Dengan penyiaran pers pengontrolan keberpihakan hukumpun dapat
diharapkan.[17]
Akan tetapi pengontrolan ini tentu saja tidak semata-mata
berada di tangan pers saja, mahasiswa, masyarakat dan lembaga-lembaga sosial
lainnyapun bisa berperan sama.[18] Demonstrasi penuntutan untuk mengadili
sebuah kasus atau seorang terdakwa yang digelar merupakan paksaan moral bagi
instansi yang terkait. Akan tetapi meskipun begitu, ini hanyalah sebuah paksaan
moral saja, tidak ada sanksi bila ternyata instansi terkait tidak mendengarkan
apa yang dipaksakan oleh mereka.
PROBLEM DALAM MENEGAKAN HUKUM TANPA
KEBERPIHAKAN
Ada
beberapa problem yang akan dihadapi oleh masyarakat dalam mewujudkan hukum
tanpa keberpihakan. Beberapa diantara problem tersebut kami uraikan sebagai
berikut:
Pertama, sulitnya penegakan hukum berawal sejak peraturan
perundang-undangan dibuat. Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung
pernyataan ini. Pertama, pembuat peraturan perundang-undangan tidak memberi
perhatian yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan atau
tidak. Di tingkat nasional, misalnya, UU dibuat tanpa memperhatikan adanya
jurang untuk melaksanakan UU antara satu daerah dengan daerah lain.
Konsekuensinya UU demikian tidak dapat ditegakkan di kebanyakan daerah di
Indonesia bahkan menjadi UU mati. [19]
Kedua, peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak
realistis. Ini terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang
merupakan pesanan dan dianggap sebagai komoditas. Peraturan perundang-undangan
yang menjadi komoditas, biasanya kurang memperhatikan isu penegakan hukum,
sepanjang trade off telah didapat.
Selanjutnya, problem muncul karena masyarakat Indonesia terutama
yang berada di kota-kota besar merupakan masyarakat pencari kemenangan, bukan
pencari keadilan. Sebagai pencari kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan
dilakukan, baik yang sah maupun yang tidak.
Tipologi masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi
penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang berintegritas dan
rentan disuap. Masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan kekuasaan dan
uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman.[20]
Problem selanjutnya sebagai penyebab keberpihakan hukum adalah
pengaruh uang. Di setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat
penegak hukum, sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktek korupsi atau suap.
Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan penyidikan perkara. Dengan
uang, pasal sebagai dasar sangkaan dapat diubah-ubah sesuai jumlah uang yang
ditawarkan. Pada tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh terhadap diteruskan
tidaknya penuntutan. Apabila penuntutan diteruskan, uang dapat berpengaruh pada
seberapa berat tuntutan.
Di institusi peradilan, uang berpengaruh pada putusan yang akan
diterbitkan oleh hakim. Uang dapat melepaskan atau membebaskan seorang
terdakwa. Bila terdakwa dinyatakan bersalah, dengan uang, hukuman bisa diatur
agar serendah dan seringan mungkin. Bahkan di lembaga pemasyarakatan uang juga
berpengaruh karena yang memiliki uang akan mendapat perlakuan yang lebih baik
dan manusiawi.
Reformasi Hukum: Menuju Hukum dan Peradilan
Tanpa Keberpihakan.
Dari semua uraian diatas, akhirnya kami menyimpulkan bahwa dunia
hukum Indonesia membutuhkan reformasi hukum, atau meluruskan dan menjalankan
reformasi yang telah digagas sebelumnya. Ada beberapa konsep dan gagasan
reformasi hukum dalam menuju hukum tanpa keberpihakan. Gagasan dan konsep ini
kami simpulkan dari berbagai sumber.
Pada
dasrarnya, hukum memiliki tujuan untuk mewujudkan tertib masyarakat yang damai
dan adil. Jika ketertiban umum harus merupakan ketertiban hukum, maka ketertiban
umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil, sesuai pengertian
keadilan sebagai substansi dari tertib hukum dan ketertiban hukum, sehingga
fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk menegakkan keadilan. Adil
tidak adilnya hukum ditentukan oleh sikap yang diambil terhadap hubungan antara
hukum dan keadilan. Pelaksanaan hukum dan penerapan hukum yang adil mengandung
arti yang sama bagi setiap orang dan yang berjalan sesuai dengan peraturan dan
asas-asas hukum, ini tergantung pada struktur sosial yang adil, yaitu
masyarakat yang ciri khasnya tidak terdapat perbedaan kekuasaan yang besar dan
yang tidak diatur oleh hukum, dalam aneka ragam bentuk dan variasinya.
Kita mungkin menghendaki adanya suatu penegakan hukum di Indonesia
yang betul-betul berpihak kepada rakyat kecil. Namun, ternyata kita mengetahui
bahwa penerapan hukum di mana pun di dunia ini selalu tidak berpihak pada
rakyat kecil yang miskin, "Laws grind the poor, and rich men rule the
law" - Hukum melindas yang miskin, sementara yang kaya mengatur hukum-dan
"Laws like spider's web; if some poor weak creature come up against them,
it is caught; but a bigger one can breakthrough and get away" - Hukum
seperti sarang laba-laba; bila yang miskin dan lemah datang melawan, maka akan
terjaring; tetapi yang besar dapat menerobos dan lolos.
Konsep Reformasi Hukum
Setelah
melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain
terus mengedepankan reformasi hukum yang telah digagas oleh bangsa ini.
Kegiatan reformasi Hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum
yang berkeadilan. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain:[23]
1.
Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh
aparatur negara
2.
Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
3.
Aparatur penegak hukum yang profesional.
4.
Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan
5.
Pemajuan dan perlindungan HAM.
6.
Partisipasi publik.
7.
Mekanisme kontrol yang efektif.
Pada
dasarnya reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen hukum yang meliputi:[24]
1.
Struktur Hukum
Struktur
hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang
terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses
serta kinerja mereka.
2.
Substansi Hukum.
Substansi
hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus
merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan
dalam masyarakat.
3.
Budaya Hukum.
Budaya
hukum ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan
tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.
Kiranya
dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang harus
dilakukan antara lain:[25]
1.
Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber
daya manusianya yang berkualitas.
2.
Perumusan kembali hukum yang berkeadilan.
3.
Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
hukum.
4.
Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum.
5.
Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum.
6.
Penerapan konsep Good Governance.
Bab 3
Penutup
Kesimpulan
Keinginan untuk mewujudkan hukum dan perangkatnya telah muncul
sejak lama, karena memang hukum pada esensinya haruslah adil, dilakukan, dan
ditaati. Hukum yang tidak dilaksanakan dan tidak ditaati pada dasarnya telah
berhenti menjadi hukum. Keinginan mewujudkan hukum tanpa keberpihakan mengalami
pasang surut dalam sejarahnya.
Kondisi hukum Indonesia saat ini menggambarkan keberpihakan hukum
yang begitu kental. Hal ini memang mungkin adalah sebuah warisan budaya
penjajahan. Meskipun begitu tetap saja ada usaha untuk mengikis keberpihakan
hukum ini.
Dalam mengikis peluang untuk munculnya keberpihakan hukum, kita
harus benar-benar memperhatikan beberapa faktor dan bidang-bidang tertentu,
seperti politik hukum, sistem hukum, asas-asas hukum, aparat penegak hukum,
masyarakat dan pers.
Di Indonesia, peluang untuk munculnya keberpihakan hukum ini paling
rentan muncul pada aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, advokat, hakim
hingga lembaga pemasyarakatan. Dengan meperhatikan faktor dan bidang-bidang
diatas, dengan menekankan moral yang baik, niscaya hukum tanpa keberpihakan
akan dapat diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar