Cari Blog Ini

Rabu, 31 Juli 2013

makalah bahasa belanda hukum



Makalah Bahasa Belanda Hukum
“Produk-produk hukum Belanda yang masih digunakan didalam hukum Indonesia”
Disusun oleh : Kelompok 3
·         Farid Hikmatullah
·         Suroto
·         M. Salim
·         Rahmat Maulana
·         Sugiarto
·         Bella Harirah
·         Abdul Jalil
·         Ari Hermawan
Kelas : II C Ilmu Hukum (sore)
Dosen pembimbing : R A Ayu Diah Permatasari, M.Kn




Jakarta 2013

Kata pengantar
Puji  serta syukur kehadirat tuhan yang maha esa yang telah melimpahkan karunia dan rahmatnya kepada kami semua sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa ada hambatan.
Dalam pembuatan makalah ini yang berjudul “produk-produk hukum belanda yang masih digunakan didalam hukum indonesia” kami menggunakan beberapa referensi dari media elektronik dan juga media cetak yang tentunya isi dan mutunya dapat dipertanggung jawabkan. Tentunya, kami berharap dengan dibuatnya makalah ini mahasiswa mampu mendalami dan juga memahami materi pelajaran khususnya materi bahasa Belanda hukum yang berjudul produk-produk hukum belanda yang masih digunakan didalam hukum di indonesia.
Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang ikut membantu dalam proses pembuatan makalah ini khususnya dari dosen pembimbing bahasa belanda hukum. Kami sadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi terciptanya pemahaman yang lebih mendalam terhadap makalah kami. Terima kasih





Jakarta, 13-Mei-2013





Daftar Isi
Kata Pengantar...................................            .................................................................................   2
Daftar Isi.............................................................................................................................    3
Bab 1
Pendahuluan........................................................................................................................   4
            Latar belakang.........................................................................................................   4
Bab 2
Pembahasan.........................................................................................................................   5
            Sistem Hukum Indonesia........................................................................................    5
            Warisan Hukum Belanda........................................................................................    8
            Politik Hukum Belanda..........................................................................................    9
            Peraturan Peninggalan Hindia Belanda Yang masih berlaku Saat ini....................    14
            Dasar Pemberlakuan KUHPerdata dan Pidana......................................................    15
Bab 3
Penutup...............................................................................................................................    17
            Kesimpulan.............................................................................................................    17
            Daftar Pustaka........................................................................................................    18






Bab 1
Pendahuluan
Latar belakang
Hukum merupakan sebagian dari kebudayaan suatu bangsa. Secara de facto bahwa setiap bangsa mempunyai kebudayaan sendiri dan juga mempunyai hukum sendiri yang berbeda dari kebudayaan dan hukum bangsa lain. Perbedaan-perbedaan itulah yang menimbulkan keingintahuan untuk mengerti dan memahami berbagai hukum yang berlaku pada suatu negara dengan negara lain. Sudarto (dalam Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana), kemudian menjelaskan bahwa dalam mempelajari perbandingan hukum, ada tendensi untuk menjurus kepada pembelajaran sistem hukum asing. Setidaknya, ada tiga manfaat dalam mempelajari sistem hukum asing itu, yaitu :
  1. Memberi kepuasaan bagi orang yang berhasrat ingin tahu (sifatnya pedagogis dan ilmiah).
  2. Memperdalam pengertian tentang pranata masyarakat dan kebudayaannya sendiri.
  3. Membawa sikap kritis terhadap sistem hukum sendiri.
Memang, diakui atau tidak dalam halnya mempelajari bagaimana konteks perbandingan hukum itu jelas sekali merupakan studi yang sangat luas dan sulit. Dikatakan seperti itu karena aspeknya yang luas itu kerapkali merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Perbandingan hukum tidak hanya bergerak di bidang empiris saja, akan tetapi juga berusaha untuk mencapai tujuan-tujuannya di bidang hukum itu sendiri, yang menuju kepada perbandingan dan penelitian kritis bahan yang ditemukan.
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara.
Bab 2
Pembahasan
Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum  menurut Subekti adalah suatu susunan atau tatanan yanng teratur, keseluruhan yang berkaitan satu sama lain yang merupakan hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan, yang terpola dan menurut rencana. Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, sistem sebagai sebuah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan dimana dibangunnya tertib hukum. Peraturan hukum di masyarakat merupakan suatu sistem hukum karena terkait dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sistem hukum nasional dipengaruhi oleh 3 sistem hukum, yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Barat, dan sistem hukum Islam.
 Sebelum Belanda datang ke Indonesia, hukum adat menjadi sumber hukum yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Hukum adat umumnya tidak tertulis dan berlaku sesuai norma dan ketentuan-ketentuan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Hukum adat bersifat komunal, dan merupakan cermin kehidupan suatu bangsa dari waktu ke waktu. Hukum adat di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Cornelis Snouck Hoorgronje di Indonesia dari bahasa Belanda “Adatrecht” yang selanjutnya oleh Van Vollenhoven diberikan istilah baru akan hukum adat tersebut yaitu ‘hukum juridis’.
Snouck dalam bukunya menuliskan sebuah teori yang terkenal yaitu Receptie, dimana Snouck menyebutkan bahwa orang Indonesia yang telah diterima oleh hukum adatlah yang dapat dikenakan hukum Islam oleh Belanda pada zaman kolonialismenya. Snouck juga menunjukkan bagaimana hukum yang berkembang di Aceh adalah merupakan hukum adat yang mempunyai konsekuensi hukum. Hukum adat di Indonesia adalah hukum Statutair, yaitu hukum kebiasaan yang mengandung sebagian kecil hukum Islam. Van Vollenhoven kemudian mengelompokkan hukum di Indonesia dalam 19 lingkaran hukum adat yang terbagi menurut letak geografis Indonesia. Namun, hal itu berubah semenjak Belanda datang ke Indonesia dengan status kolonial.

            Pada zaman penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum adat yang dipegang oleh masyarakat setempat, namun juga ditambahkan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Semua orang Indonesia dan orang Asia Timur lainnya yang tinggal di Indonesia dikenakan hukum adat sedangkan bagi golongan Eropa yang tinggal di Indonesia dikenakan hukum Belanda.
            Sistem hukum Barat bersifat individualistik dan berbeda dengan hukum adat. Pada zaman penjajahan Belanda, hukum Barat digunakan hanya untuk masyarakat Eropa yang tinggal di Indonesia. Contoh dari hukum Belanda ini adalah hukum privat atau hukum perdata di Indonesia atau Burgerlijk Wetboek. Berlakunya BW (singkatan Burgerlijk Wetboek) di Indonesia ini tercantum dalam pasal 131 IS yang menyatakan bahwa bagi setiap orang Belanda/Eropa yang menetap di Indonesia akan diberlakukan hukum perdata dari Belanda. Untuk hukum Pidana, pada masa penjajahan Belanda, terdapat 2 hukum pidana yang diterapkan oleh Belanda. Yaitu hukum pidana bagi orang-orang Eropa (Wetboek Van Strafrecht Voor Europeanen) yang diterapkan mulai 1 Januari 1867, dan (Wetboek Van Strafrecht Voor Inlander) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1873. Terdapat perbedaan dalam dua hukum pidana ini. Hukum pidana untuk orang-orang Eropa mempunyai ancaman pidana yang lebih ringan dari hukuman untuk orang-orang pribumi/inlanders pada masa itu. Pada masa pendudukan Jepang, hukum perdata Belanda ini masih digunakan karena Jepang sendiri hanya berada di Indonesia selama 3 tahun.
            Hukum Islam di Indonesia ada semenjak sebelum Belanda hadir di Indonesia dengan bukti adanya kerajaan Islam besar Samudra Pasai dengan  ahli agama Islam Sultan Malikul Zahir. Selain itu masih banyak kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang menggunakan hukum Islam ketika penjajah datang ke Indonesia. Contohnya adalah perlawanan pasukan pangeran Dipenogoro kepada Belanda yang dimaksudkan untuk mempertahankan hukum Islam di wilayahnya. Hal ini didukung oleh teori Receptio in Complexu yang ditemukan oleh pemikir-pemikir Belanda seperti Carel Frederik Winter dkk, yang menyatakan bahwa dalam setiap kehidupan penduduk, berlaku hukum agama mereka masing-masing, hingga akhirnya teradapat teori eksistensi yang menjelaskan posisi hukum Islam didalam hukum nasional Indonesia.
            Dari ketiga sistem hukum diatas, dapat dilihat bahwa ketiganya mempengaruhi sistem hukum nasional Indonesia semenjak kemeredekaannya dalam UUD 1945 hingga kini. Hukum adat mempengaruhi hukum nasional dalam ketatanegaraan, hukum adat mengenai warga (perwalian sanak, tanah, perhutangan dkk) dan hukum adat mengenai delik atau pidana. Sedangkan hukum Barat peninggalan kolonial sangat berpengaruh besar dalam hukum tertulis nasional Indonesia semenjak kemerdekaannya. Terutama dalam hukum perdata yang hingga saat ini masih menggunakan BW peninggalan Belanda dan diatur dalam Aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum Islam juga berlaku di Indonesia dimana tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Karena hukum nasional Indonesia sendiri sangat kental kaitannya dengan kaidah-kaidah Islam yang bersumber kepada Al-Quran, Al Hadist, Ijmadan Qiyas serta mengenal sistem wajib, sunnah, haram, mubah dan makruh.
            Ketiga elemen sistem hukum tersebut kemudian membentuk sistem hukum nasional Indonesia yang berlaku di Indonesia hingga saat ini atau Ius Constitutum. Ius constitutum sendiri merupakan hukum positif yang berlaku pada waktu tertentu dan wilayah tertentu. Hukum positif Indonesia terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
            Menurut TAP MPR RI No.III/MPR/2000, sumber hukum nasional adalah Pancasila dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia antara lain UUD 1945, TAP MPR RI, UU yang dibentuk oleh DPR, Peraturan Pemerintah penganti Undang-Undang (perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah. Namun, hal ini direvisi oleh UU No. 10 Tahun 2004 dimana susunan Hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia menjadi UUD 1945, Undang-undang/ Peraturan pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.
            Sumber hukum formal di Indonesia pun dapat dibedakan menjadi 5 sumber utama, yaitu Undang-undang (Statute), Kebiasaan & Adat (Custom), Traktat (Treaty), Yurisprudensi (Case Law, Judge Made Law), dan Pendapat ahli terkenal (Doctrine).



            Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem hukum yang ada di Indonesia dipengaruhi oleh 3 sistem hukum besar yaitu sistem hukum adat yang merupakan cerminan asli rakyat Indonesia, sistem hukum barat yang merupakan peninggalan Belanda dan penjajah yang masih digunakan hingga saat ini didalam hukum Indonesia, dan sistem hukum Islam yang pengaruhnya amat besar dalam sistem hukum nasional Indonesia dan tidak dapat dipisahkan keberadaannya dari hukum nasional Indonesia saat ini.
Warisan Hukum Belanda
Yang menjadi pokok peraturan pada zaman Hindia belanda adalah:

1.       Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)

Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga diberlakukan antara lain:
·         Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan.
·         Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata (KUHS/KUHP).
·         Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
·         Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara             Perdata.
Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belnda sejak tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.

2.       Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3.       Indische Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Janiari 1926.
Politik Hukum Belanda

Berlakunya hukum dalam suatu negara ditentukan oleh Politik hukum negara yang bersangkutan, disamping kesadaran hukum masyarakat dalam negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan politik hukum hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu arti Politik Hukum. Arti Politik Hukum adalah Suatu jalan (kemungkinan) untuk memberikan wujud sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat pula dilihat pendapat Padmo Wahyono bahwa Politik Hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang akan dibentuk.

Oleh karena itu berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik hukum memiliki tugasnya meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha membuat suatu ius constituendum menjadi ius constitutum atau sebagai penganti ius constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan politik hukum berbeda artinya dengn ilmu politik, sebab ilmu politik memiliki pengertian menyelidiki sampai seberapa jauh batas realisasi yang dapat melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan apa yang dapat dipakai untuk mancapai suatu pelaksanaan yang baik dari cita-cita social itu.

Politik hukum suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang- Undang Dasarnya tetapi dapat pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik Hukum dilaksanakan melalui dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak hukum tertentu.

Bentuk hukum itu dapat:
·         Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu Undang-Undang dan berlaku sebagai hukum positif. Dalam bentuk tertulis ada dua macam yaitu:
·         Kodifikasi ialah disusunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.
·         Tidak dikodifikasikan ialah sebagai undang-undang saja.
·         Tidak tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan. Corak hukum dapat ditempuh dengan:
·         Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
·         Dualistis yaitu berlakunya dua sistem hukum bagi dua kelompok sosial yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
·         Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.

Di atas telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut ini dibahas Politik Hukum bangsa Indonesia. Keberadaan Hukum di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi oleh keberadaan sejarah hukum. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya undang-undang yang dibuat jaman Hindia Belanda sampai sekarang masih berlaku. Selain itu, masuknya hukum Islam juga mempengaruhi hukum di Indonesia, sebagian permasalahan-permasalahan perdata masih menggunakan hukum Islam. Oleh karen itu, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana politik Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami bagaimana Politik Hukum Indonesia. Keberadaan Politik hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan Belanda (sebagaimana dijelaskan diatas) yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.

1.      Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Pada masa berlakunya AB politik hukum Pemerinthan penjajahan Hindia belanda dapat dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya hukum bagi masing-masing golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda di bedakan kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan Pribumi (berserta mereka yang dipersamakan dengannya).

Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur didalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 9 AB
“Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang (yang diberlakukan di hindia belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya”.

Pasal 11 AB
“Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya hukum eropa atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukan diri pada hukum eropa”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi golongan Indonesia.

Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum perdataberdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut pasal 11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam pasal 5 hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan dengan orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra.

Pembagian golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga bagi orangorang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang bumiputra.

Tetapi karena pasal 10 AB memberikan wewenang kepada GubernurJenderal untuk menetapkan peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10, pasal 3 nya Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam lapangan hukum sipil dan hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.
2.      Masa Regering Reglement (R.R.)
Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada asasnya seperti tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings Reglement. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 109 RR
“Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa, Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.

Pasal 75 RR
“Menyatakan tetap memberlakukan hukum eropa bagi orang eropa dan hukum adat bagi golongan lainnya”.

Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement.


Sedangkan politik hukum dalam pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.

3.      Masa Indische Staatsregeling (I.S.)
Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru).

Sedangakan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):

Pasal 163 IS
Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni :
1.      Golongan Eropa
2.      Golongan Bumi Putera
3.      Golongan Timur Asing.

Pasal 131 IS meyatakan beberapa hal yakni :
1.      Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2.      Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda berdasarkan asas konkordansi.
3.      Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4.      Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila masyarakat menghendaki demikian.

Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS.
Peraturan/Produk Peninggalan Hindia Belanda yang masih berlaku saat ini adalah :
  1. Wet, peraturan perundang-undangan yang dibentuk dinegeri belanda yang berlaku untuk wilayah Belanda dan Hindia Belanda. Beberapa Wet yang masih berlaku di Indonesia diantaranya, Wetboek van Strafrecht (WvS) yang diterjemahkan dengan KUHP, Wetboek van Koophandel (KUHD), dan Burgerlijk Wetboek (KUH Perd.). Wet yang masih berlaku saat ini di Indonesia dalam pemakaiannya disetingkatkan dengan Undang-Undang, sehingga perubahan dan pencabutannya dengan Undang-Undang.
  2. AMvB, Algemene Maatregel van Bestuur adalah  peraturan perundang-undangan yang dibentuk di  Belanda oleh Kroon (Raja) dan Menteri-menteri serta mendapatkan nasehat (advies) dan Raad van State, berlaku untuk negeri Belanda dan Hindia Belanda. Peraturan  ini disetingkatkan dengan Undang-Undang, sehingga perubahan dan pencabutannya dengan Undang-Undang.
  3. Ordonnantie, adalah  peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Gouverneur Generaal (Gubernur Jenderal) dan Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta, dan berlaku diwilayah Hindia Belanda. Kedudukaannya disetingkatkan dengan Undang-Undang.
  4. Regeringsverordening (Rv),   adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Gouverneur Generaal (Gubernur Jenderal) di Jakarta, dan berlaku diwilayah Hindia Belanda. Pada masa Hindia Belanda Rv merupakan peraturan pelaksanaan bagi Wet, AMvB dan Ordonnantie. Kedudukaannya disetingkatkan dengan Peraturan Pemerintah, sehingga perubahan dan pencabutannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.
Keempat jenis peraturan perundang-undangan jaman Hindia Belanda ini masih berlaku berdasarkan ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 (sebelum perubahan)  yang berbunyi :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.






Dasar Pemberlakuan KUHPerdata dan Pidana

Hukum Perdata

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

Hukum Pidana

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945,untuk mengisi kekosongan hukum pidana  yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia.

Dalam pasal VI Undang-undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi Bala tentara Hindia Belanda.

Oleh karena perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.

















Bab 3
Penutup
Kesimpulan
Setidaknya, ada substansi positif dalam relasi antara Belanda dengan Indonesia yang tidak selalu dilihat dari sisi negatifnya saja. Adalah sistem pendidikan lokal termasuk sistem dan pendidikan hukumnya di negara kita telah mengalami reformasi dalam hal perbandingan dan pembaharuan sebagai akibat dari interaksi bangsa ini dengan sistem kolonial Belanda. Di sini juga, hendaknya perspektif mengenai istilah “penjajah” jangan hanya berkutat di situ saja (level penyebutan) walau kenyataannya bisa saja seperti itu. Mereka sebetulnya beragam.. Kita tentunya ini harus bisa melihatnya secara komphrensif. Mungkin inilah yang disebut modernisasi perkembangan zaman dalam dunia ilmu pengetahuan khususnya pendidikan dan hukumnya dewasa ini. Mari kita terus mengenal dan mencoba membandingkan sistemnya antara satu negara dengan negara yang lain dengan lebih bijak tanpa harus terus-terusan menjustifikasinya secara negatif.









Daftar Pustaka
Sumber referensi literatur :
  • Arief Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, 2000
  • Nicolaaa Huls, Social Yurisdische Beschouwingen, 1981
  • Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, 1979
  • M. Van Praag, Rechtwetenschep en gerechtigheid, 1980
  • Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, 1957
Referensi internet :













Tidak ada komentar:

Posting Komentar